Suara Pekerja dan Perppu Cipta Kerja
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 921
Menurut Konde.co, sedikitnya ada sembilan inti permasalahan terkait perburuhan yang ada dalam Perppu Cipta Kerja yakni pengaturan upah minimum, outsourcing, uang pesangon, buruh kontrak, pemutusan hubungan kerja,waktu kerja dan pengaturan cuti.
Add a commentKekerasan Seksual di Kalangan Aktivis
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1071
Persoalan kekerasan seksual adalah persoalan serius tetapi saat ini jarang orang berbicara Kekerasan Berbasis Gender, KDRT dan Kekerasan dalam Pacaran (KDP).
Sebuah situasi paradoks ditunjukkan di kalangan aktivis sebab pelakunya aktivis, misalnya seorang dosen, tokoh masyarakat di institusi agama dan lain-lain. Sebenarnya ada beberapa aktivis yang tahu atau "tahu sama tahu" ada perlakuan kekerasan dalam berbagai bentuk. Juga kekerasan berbasis gender yang tidak tampak atau tidak secara langsung mereka lakukan misal olok-olok seksis kepada minoritas gender melalui candaan. Orang yang melakukannya biasanya berdalih "saya kan bercandaan". Termasuk perilaku KDRT salah satunya poligami yang dilakukan oleh tokoh. Juga perilaku romantic relationship padahal sudah punya istri.
Di kalangan aktivis sering terdengar aktivis HAM pelaku perselingkuhan. "Saya sering kaget. Kenapa kita kritis kepada pelaku tetapi ketika aktivis menjadi pelaku kita biarkan. Seringkali juga institusi atau lembaga melindungi untuk menyelamatkan gerakan atas nama baik institusi HAM tersebut," demikian kata Diah Irawati founder LettsTalk Sexualities di IG Live yang menghadrikan Eko Bambang Subiantoro, founder Aliansi Laki-Laki Baru , Sabtu (11/2)
Lalu apakah ada mekanisme kontrol misal.SOP atau kode etik di kalangan aktivis? Eko Bambang memgatakan bahwa seorang aktivis bekerja dengan nilai. Selama nilai ada mestinya itu harusnya jadi kontrol. Ia berharap diperbanyak narasi seperti ini sehingga bisa digunakan sebagai kontrol. Ruang kerja aktivis itu bukan tidak ada yang kontrol karena terkait kepercayaan masyarakat. Masyarakat menaruh harapan pada aktivis. Kalau tidak bisa diharapkan terus bagaimana sebab bagaimanapun masyarakat menaruh harapan. Ruang KDRT dan Kekerasan lainnya menurut Eko Bambang layaknya ruang labirin yang tidak mudah. Tapi hal itu tidak mungkin untuk diungkapkan. Tema LettsTalk_Sexualities kali ini menurutnya relevan dan harusnya seterusnya bisa dilakukan apalagi aktivis adalah harapan masyarakat karena mereka membawa prinsip HAM. Aktivis bertugas membawa nilai kemanusiaan. Sudah seharusnya mereka jadi bagian dari orang yang mengadvokasi. Harusnya ada intergitae yang harus dijaga komitmen dan dedikasi. Eko bilang bahwa ini autentikasi.
Termasuk Kode Etik Politisi
Diah Irawati menambahkan bahwa kita harusnya tahu dan internalisasi dilakukan sehari-hari baru disyiarkan (disampaikan kepada masyarakat). Bukan hanya aktivis tahu lalu tanpa menginternalisasi lalu mensyiarkan. Lalu siapa yang bisa dikategorikan aktivis? mereka yang berjuang dan terlibat aktif dalam perjuangan-perjuangan nilai. Bisa dalam satu organisasi maupun individu. Setiap orang sekarang bisa jadi aktivis dengan kemajuan media. Akses publik bisa langsung ke masyarakat. Lembaga-lembaga sosial apapun termasuk lembaga HAM, ketika individu atau kelompok yang diperjuangkan adalah nilai. Mereka bisa dianggap aktivis juga.
Para aktivis baik individu maupun di organisasi termasuk politisi mesti memperketat rambu-rambu. Para aktivis harus aktif bahwa mereka yang setiap hari bicara gender, apakah dia pelaku atau tidak.
Termasuk acara LetssTalk adalah bagian yang sudah disebut di atas yakni aktivis. Diperlukan juga adanya kesepakatan sebab kita tidak bisa mengontrol. Misal pada individu yang bergerak, aktif memperjuangkan nilai. Misalnya isu tersebut sudah melenceng dan kita mengetahui namun dalam aktivitasnya dia melakukan pelanggaran. Kita bisa memberi hukuman misal ia tidak layak bicara gender.
Diah Irawati menekankan kenapa ia menambahkan waktu ia membuka percakapan supaya ada kampanye kesetaraan gender yang banyak diomongkan orang. Apakah ini kemudian jadi fenomena. Ira menanyakan selama 20 tahun lebih sebagai aktivis apakah Eko Bambang alami peningkatan.
Eko bercerita waktu menjadi edotor.di Jurnal Perempuan dalam satu sesi diskusi mengundang narasumber tak berapa lama terbongkar bahwa dia pelaku poligami. Dan itu mengecewakan baginya. Yang ia tahu bahwa jika di antara teman-teman sebagai pelaku maka dikeluarkan/dipecat. Tidak diaktifkan lagi di organisasi. Namun berapa persennya ia tidak punya data lengkap. Beberapa kali ia bertemu aktivis HAM dan aktivis perempuan yang bicara tentang hal itu tetapi ia tidak punya data dan hanya memiliki satu catatan.
Baginya sebagai seorang aktivis, mestinya membangun relasi di kalangan keluarga sendiri adalah urgen dan itu include serta saling support. Autentifikasi aktivis ada disitu. Jadi jika ada seorang istri aktivis yang merasa diabaikan dalam keluarga itu juga bagian dari kekerasan. Diakui bahwa tidak ada data juga kajian terkait kekerasan seksual. Ada sebuah kasus dillakukan banyak oleh aktivis justru aktivis yang membikin Ruang Aman
Banyak aktivis HAM di dalam rumah lakukan kekerasan misalnya psikis. Termasuk hubungan romantis dengan aktivis lain.Mengapa ini tidak terkekspos?
Mengapa mereka melakukan paradoks?
Eko menjawab bahwa masyarakat menganggap hal aneh dan masih berkembang persepsi tentang aib keluarga. Jadi akar persoalan tidak hanya di kalangan aktivis. Juga adanya relasi yang tidak seimbang. Kalau masyarakat umum sebagai target sosialisasi itu nyata tetapi kalau pelaku aktivis ini yang menjengkelkan. Sehingga muncul istilah "HAM hanya di depan pintu". Harusnya HAM juga di kamar tidur bagi suami dam istri isehingga tidak terjadi marital rape. Dan pelakunya sebagian besar adalah laki-laki yang konstruksinya dibentuk sebagai orang yang punya privilese. (Ast)
Add a comment
Refleksi Reforma Agraria dalam Temu Nasional
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 948
Ada satu pernyataan menarik dari Busyro Muqqodas, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah dalam Temu Nasional Reforma Agraria yang diselenggarakan akhir Januari lalu. Busyro selain memberi apresiasi kepada Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ia juga mengambil data dari KPA bahwa ada penguasaan bisnis kalangan swasta di sektor Sawit seluas Pulau Jawa. Lalu hal ini mau disikapi bagaimana?
Add a commentDiskusi Pubik ICW : DKPP Harus Tindak Penyelenggara Bermasalah
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1096
Ada beberapa catatan dari gelaran diskusi Indonesia Corruption Watch (ICW) jelang diselenggarakannya sidang oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 8/2. Diskusi publik yang dihelat pada Selasa (7/2) menghadirkan beberapa narasumber.
Evi Novida Ginting, Komisioner KPU RI (2017-2022) mengatakan bahwa supaya proses menjadi bebas dan mengikuti prosedur yang ada. Pemeriksaan bisa dilakukan DKPP dengan mengedepankan netralitas. Sehingga para pengadu dan saksi-saksi bisa menjelaskan dengan mudah dan tidak merasa diintimidasi atau terpojok dengan pertanyaan sehingga mereka tidak mau menjelaskan dengan jelas dan detail sebab besok penting untuk pengadu melaporkan dengan bukti yang mereka bawa.
Termasuk bukti pemeriksaan. Evi berharap DKPP berhati-hati dan cermat, menggali penjelasan yang mungkin disampaikan sehingga secara komprehensif DKPP mendapat informasi yang benar dan bukti bisa dicek secara langsung sehingga kemudian jadi pertimbangan dalam DKPP untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan dalam persidangan berikutnya. DKPP jangan cukup puas dengan penjelasan yang akan disampaikan besok. Secara adil dan fair untuk mendengarkan semua pihak. Apa yang terjadi intimidasi kepada pelaku hingga akan mengurungkan laporannya. Jangan sampai pihak lain menekan para penyelenggara pemilu. "19 tahun saya sebagai penyelenggara pemilu menghargai KPU sebagai lembaga yang independen dengan sepenuh hati mempertahankan asas pemilu," ungkap Evi Novida Ginting.
Ia berharap sidang yang akan berlangsung sehari sesudahnya akan jadi pertimbangan bagi teman yang belum masuk, bisa maju, melaporkan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cara ini harapannya dapat mengembalikan kepercayaan publik.
Terkait intimidasi terhadap pelapor, narasumber lainnya, Prof. Ramlan Surbakti, Komisioner KPU (2001-2012) mengatakan jika betul ada intimidasi berarti membuktikan kalau ada pelanggaran seperti yang dilaporkan oleh pelapor. Ia pernah memiliki kasus di Sumatera Utara, calon anggota DPRD kota, tapi tahun 2004 ia tidak memenuhi syarat. Mulai tahun itu ada aturan bahwa anggota dewan harus luus SMA, sedangkan yang bersangkutan adalah lulus SMP. KPU kabupaten/kota tidak berani, begitu pula provinsi. Akhirnya problem ini dibawa ke pusat. "Orang itu menghubungi saya, saya ajak dia ngopi lalu saya diancam. Dia emosi lalu saya lapor ke teman. Teman saya lapor mabes. Tiga bulan saya dikawal polisi. Undang-undang bilang syarat ijazah SMA. Saya alami tiga kali tapi baru itu saya diancam,'"katanya.
Begitu juga saat dia menjabat komisioner ada kasus di Pesantren Al Zaitun Indramayu. Waktu itu KPU kabupaten tidak berani. KPU Jabar juga tidak berani sebab backingnya Pak Wiranto. Prof Ramalan kemudian bilang kepada biro hukum, sanskinya pemungutan suara ulang.
Prof Ramlan berharap DKPP menjunjung nilai kejujuran. Ia menegaskan tidak ingin mendikte DKPP apakah anggota KPU, pegawai KPU kabupaten dan kota jujur atau tidak. Kalau tidak jujur risikonya kredibilitas proses dan pemilu. Pemilu yang tidak kredibel maka hasil pemilu tidak legitimasi. Ia berharap agar dalam keputusan DKPP ada pertimbangan hukum, prinsip etik apa, seberapa berat pelanggaran itu.
Selain jujur juga harus akurat. Transparansi penting untuk melihat jujur atau tidak, akurat atau tidak. Setelah itu akuntabilitas. Prinsip kode etik pemyelenggaraan pemilu, sekarang banyak perkembangan. Jujur, akurat transparan dan akuntabel itulah asas dan prinsip pemilu.
Kalau akuntabilitas diragukan maka harus ada pertanggungjawaban kepada publk. Kalau prinsip ini diabaikan menurut Ramlan ini tingkat pelanggaran berat karena memengaruhi proses dan hasil pemilu. "Saya ingin mengatakan apapun hasil sidang DKPP, saya pikir mungkin ada tindak lanjutnya," harap Ramlan.
Ia menambahkan bahwa 3 pasal UU nomor 7 yang tidak dilakukan yakni pasal 185, pasal 187 ayat 3, pasal 188 ayat 2 huruf (g). Mestinya jumlah anggota DPRD 100, tapi KPU hanya menetapkan 85 orang. Kalau itu masuk prinsip menghormati hukum, misalnya ini bisa diajukan DKPP.
KPU tidak berada di bawah lembaga apapun. Tidak dalam tekanan apapun. Menyelengarakan pemilu semata amanat UU. Kalau KPU takut pada anggota DPR daripada undang-undang maka menurut Ramlan indeks demokrasi akan anjlok turun.
Hadar Gumay, Komisioner KPU (2012-3017) mengatakan bahwa ia baru saja berkomunikasi dengan pengadu yang keesokan bersidang. Dia didatangi dari intel dan sengaja bertemu dikatakan kekeliruan informasi. Kepolisian ingin mengikuti dugaan kecurangan ini dalam proses persidangan dan warga yang mungkin pengadu, yang sedikit orang ini akan aman.
Bahwa apa yang sedang diupayakan menegakkan kejujuran ini dapat berjalan lancar. Terkait adanya intimidasi upaya untuk mencabut memang terjadi, di dalam KPU sendiri. Pihak KPU provinsi itu sendiri yang melakukan. Hadar Gumay khawatir empat itu tidak dipenuhi semua. Apakah DKPP kita berani? Apalah galau? Bisa dibuktikan untuk menghentikan. Harapannya peran ini harus diambil dan harus berani. DKPP harus koreksi. Karena ini akan berdampak pada pemilu kita. Disinilah ruang DKPP memastikan dan mengambil persn. Karena toh harus diganti dan proses pergantian ada. Kalau sudah pastikan terbukti bersalah berarti bagaimana hasil kerjaan kemarin? Gak perlu ragu tapi bicara proses, fokusnya adalah perilaku penyelenggara. Kalau ditemukan jangan ragu menjatuhkan sanksi.
Justru kalau mengelak ini bisa menyambung karena yang sering didengar saat ini adalah "tunda pemilu' tetapi itu hal.yang tidak diinginkan jadi mestinya dibenahi. Janganlah para pengadu kita ini diintimidasi. Salah satu cara mengkoreksi justru dengan menyuarakannya. Tempuh jalur hukum meski pengadu adalah penyelenggara, saksi juga penyelenggara, yang dilaporkan yakni penyelenggara. "Mudah-mudahan besok sidang lancar, pihak pelapor sendiri adalah koalisi masyarakat sipil," ungkap Hadar.
Ketika pada sidang seluruh kecurangan terbukti maka DKP harusnya tidak ragu memberi sanksi pada saat pendaftaraan partai politik. Penting untuk mengawal sidang yang digelar tanggal 8/2 dan perlu dimitigasi upaya intimidasi pada saat persidangan.
Bambang Eka Cahya, Ketua Bawaslu (2010-2012), narasumber dalam webinar ini juga berharap ingin menarik hal yang justru sering diiyakan bahwa pemilu itu bukan hanya urusan KPU,, Bawaslu dan DKPP, tetapi juga masyarakat sipil. ia justru heran mengapa laporan tidak dari Bawaslu dan tidak ada satu gerakan pun. Bawaslu tidak mengambil peran penting untuk menjaga integritas. Ini cahaya pelangi yang muncul di balik hujan karena masyarakat sipil sudah terkotak-kotak. Kali ini masyarakat sipil bersuara. Penyelenggaraan pemilu tidak bisa dibuat down grade terus-terusan. Kalau DKPP tidak bereaksi juga maka sandyakala demokrasi benar-benar terjadi.
Menurut Bambang saat isu ini terjadi harusnya ada laporan dari Bawaslu. Kalau sekarang masih ada intimidasi. Maka itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa ditunda maka ia melihat sidang DKPP adalah hal penting untuk orang percaya pemilu. Dari integritas pemilu ada 4 elemen seperti di atas itu yang dipertahankan. Lalu mengapa ada sesuatu dan Bawaslu tidak memproses. Aneh saja jika ada peristiwa besar tapi didiamkan oleh Bawaslu. Disini tarik-menarik kepentingan kentara sekali. Ada kabar bahwa anggota KPU dari partai dilindungi oleh partai ini.
Kegelisahan Bambang sama yang dirasakan oleh senior di koalisi masyarakat sipil bahwa masalah ini akan lebih besar lagi kalau tidak dilakukan oleh forum DKPP. Harapannya DKPP menjaga etik. (Ast)
Add a commentDampak KUHP Terhadap Hak Informasi dan Berekspresi serta Pasal Multitafsirnya (1)
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1374
KUHP akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-Undang setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2023. Sejumlah akademisi dan sebagian masyarakat menyuarakan kritik atas pengesahan KUHP baru dengan alasan masih memuat pasal-pasal antidemokrasi. Pasal-pasa tersebut juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Demikian pula pernyataan Dewan Pers bahwa jurnalis rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal yang multitafsir. Lalu apa dampak KUHP bagi komunitas jurnalis dan media serta apa dampaknya bagi publik yang memiliki hak atas informasi dan berekspresi?
Dalam siaran radio KBR yang disiarkan lewat YouTube @BeritaKBR, host Naomi menghadirkan Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers, Towik Manajer Program Sejuk, dan Lutfiana Dwi Mayasari Kontributor Mubadalah.id. Sebagai media yang didirikan oleh para jurnalis dengan misi membumikan jurnalis dengan pemberitaan tentang toleransi, Towik menyayangkan terbitnya KUHP yang baru yang masih memuat pasal-pasal multitafsir. Menurutnya ini kemunduran demokrasi. Sejuk bersama kawan jaringan sebenarnya sudah mengadvokasi KUHP sejak rancangannya. “Ini matinya kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat karena KUHP sangat membatasi, kalau dilihat pasal-pasalnya yang selama ini didorong untuk bisa direvisi oleh DPR RI tapi ternyata pasal-pasal itu masih tetap disahkan,”ungkapnya.
Towik menambahkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi terutama bagi kelompok minoritas menjadi semakin terbatas karena sebetulnya mereka membutuhkan ruang aspirasi yang banyak karena sering tidak mendapatkan ruang terbuka. Karena ini di era digital maka termasuk mencederai demokrasi digital. Hak-hak yang berkaitan dengan kebenaran, fakta dan kritik, tidak bisa leluasa disampaikan dan bebas diungkapkan dan ini terus menjadi alat bagi mayoritas dan penguasa untuk membungkam prinsip-prinsip yang seharusnya bisa didapatkan oleh siapapun termasuk kelompok minoritas. Lagi-lagi targetnya bisa mengkriminalisasi kelompok minoritas terutama agama dan kepercayaan yang harusnya mereka dilindungi ekspresinya, pendapatnya termasuk aktivitas keagamannya.
Lalu bagaimana KUHP memengaruhi kerja-kerja jurnalistik? Towik menjawab yang menjadi kekhawatiran bersama karena diksi penodaan atau penistaan tidak eksplisit disampaikan di KUHP tetapi semua tahu bahwa kebencian, permusuhan, yang terkait agama adalah diksi yang sangat karet. Jadi ketika media mengangkat isu ini dan jurnalisnya mau menuliskan isu yang berkaitan dengan agama yang mungkin kontennya mengkritik, bisa pimpinan agama yang menyampaikan khotbah saat pengajian atau teolog yang menyampaikan dogma-dogma yang ingin dikritisi bisa menjadi sulit dimunculkan sebab ada sensor atau swasensor dari KUHP ini. Jadi sangat berbahaya untuk kebebasan dalam pers.
Lain lagi pendapat Lutfiana Dwi Mayasari kontributor Mubadalah.id yang berbasis di Cirebon yang tulisan-tulisannya pada perspektif Islam dan membuka ruang pada masyarakat untuk mengirimkan tulisannya. Terbitnya KUHP menurutt Lutfiana sangat berpengaruh sebab di Mubadalah ada dua kontibutor yakni tetap dan lepas. Sejak KUHP masih rancangan, kontributor ini harus mengalami atau melalui proses review lebih panjang dari biasanya untuk memastikan konten tidak ada unsur-unsur yang menyalahi KUHP. Karena konten kegamaan, memang ada perpsektif lain yang akan dimunculkan maka ketika perspektifnya dianggap tidak umum akan berpotensi untuk diserang.
Untuk para kontributor tetap, mereka ada review bertahap dan reviewer-nya ada yang dari Dirjen Kemendagri apakah konten mereka bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak karena amanatnya seperti itu.Apakah rujukan yang dijadikan konten menulis kredibel atau tidak. Apakah tulisan tersebut mengandung ujaran kebencian atau tidak. “Ini seperti dua sisi mata pisau karena di satu sisi kita ingin melindungi kontributor seperti di pasal 263, 241, tapi di sisi lain kita tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan. Kami pernah "ramai" atas normalisasi pelecehan seksual yang dilakukan APH terhadap anak,”jelas Lutfiana. Bahkan menurut Lutfiana, upaya yang dilakukan dengan mengubah judul agar lebih soft misalnya dengan judul "Dear Polisi, Pelecehan Seksual itu Bukan Delik Aduan."
Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers menyatakan bahwa di KUHP yang saat ini disahkan lebih banyak mengadopsi/mengambil pasal-pasal lama yang ada di KUHP lama misalnya pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan informasi bohong. Dan ada satu pasal baru terkait merendahkan martabat presiden dan wakil presiden yang cukup keras ditentang juga oleh para aktivis. Dari banyaknya pasal-pasal yang multitafsir sudah banyak yang bersuara baik itu Dewan Pers atau asosiasi pers terkait dengan pasal-pasal pers, sebab disitulah potensi kriminalisasi akan terjadi. Kekhawatirannya dengan swasensor, bagaimanapun nanti jurnalis akan takut melakukan kritik untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya padaahal tugas jurnalis melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan.
Lalu apa pengaruhnya bagi kerja jurnalis? Ade menilai bahwa jurnalis itu adalah yang dia memiliki badan hukum, dan yang berbentuk perusahaan. Tetapi jurnalistik harus dipandang sebagai produknya. Dalam konteks ini misalnya media yang belum memiliki badan hukum, disinilah potensi kriminalisasi besar akan terjadi. Bagi jurnalis dari media yang punya badan hukum misalnya PT, mungkin dia masih punya UU Pers sebagai perlindungan. Di luar itu banyak jurnalis warga, pers kampus yang secara karir bagus tetapi disitulah sebenarnya dia tidak dilindungi.
Pasal Multitafsir KUHP Bayangi Kebebasan Jurnalis
Bahwa jurnalistik di Mubadalah sudah direview dan banyak reviewer terlibat termasuk aparat. Ini sudah diasumsikan sebenarnya ancaman kepada jurnalis sudah ada. Menurut Towik, ancaman KUHP pun di isu sangat sensitif sehingga misalnya jurnalis di tingkat editor bahkan pemilik media pasti akan sangat hati-hati bahkan menghindari persoalan-persolan yang mengkaitkan agama terutama ketika pandangannya atau yang akan ditulisnya itu kritis terhadap agama mayoritas atau pimpinan agama. Ini kemunduran besar bagi jurnalis media sebab seharusnya ruang ekspresi mereka yang ketika reformasi dibuka itu kebebasan persnya. Hak publik mendapatkan informasi dan fakta yang sebenarnya menjadi terbatasi berkaitan dengan kelompok minoritas . Misalnya baru saja kita dikagetkan dengan satu kelompok agama yang katanya datang dari Malaysia yang hadir sini.
Ini karena informasi yang disampaikan tidak baik di media sosial dan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini. Negara, FKUB, MUI dan ulama-ulama dari agama dominan akhirnya memberika stigma dan stempel kepada komunitas itu tanpa didahului bagaimana melakukan tabayun atau klarifikasi. Media ketika mau masuk ke dalam isu-isu seperti ini pasti akan khawatir. Misalnya dalam beragama dan berkeyakinan sesuai dengan konstitusi atau sama dengan varian muslim yang lain itu pasti tidak berani karena tekanan mayoritas akan besar terhadap media itu.
Hal sama diakui oleh Lutfiana. Sebagai kontributor di Mubadalah ia dihadapkan dengan dua pasal yang sama-sama karet. Yang satu pasal tentang jurnalistik dan kedua pasal tentang keagamaan jadi bisa kena kanan kiri (kedua-duanya). Di Mubadalah sendiri saat ini review-nya agak terbuka, maka kontributor lebih memilih menulis yang aman. Mereka tidak punya kebebasan misalnya akan membahas tentang childfree. Karena childfree lumayan ramai pembahasannya. Nah ketika pemahaman keagamaan yang diambil tidak sesuai dengan publik maka bisa dijerat pasal 24 dan di satu sisi kena pasal 301 karena jurnalis menulis agar tulisan dinilai umum melalui sarana teknologi informasi.Jadi memang akhirnya di Mubadalah modelnya kajian. Tapi judul dan tagline, orang hebat. “Jadi memang kita selalu dibayangi dua pasal tersebut,”ungkapnya.
Dewan Pers mengatakan ada 11 pasal yang mengancam kerja-kerja jurnalistik. Pasal 218 sampai 220. Ini tentang tindak penyerangan kehormatan presiden dan wapres. Pasal 241 mengatur penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara Ade menambahkan bahwa pasal yang disebut di atas adalah pasal yang keras mereka tentang. Pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi dipaksakan kembali masuk. Terkait dengan penghinaan terhadap lembaga negara, ini pun mendapat kritikan masyarakat sipil karena ini digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat bahkan jurnalis. Misalnya kasus orang ketilang yang waktu itu melakukan perekaman video kemudian diupload itu dianggap sebagai penghinaan sebuah lembaga. Akhirnya dia dilaporkan menggunakan pasal itu. Potensi-potensi itu akan terjadi karena pasalnya masih ada. Kalau di penghinaan itu harusnya dia terhadap orang. Tapi ini terhadap lembaga, badan hukum yang seharusnya dalam konsep hukum ini tidak dikenal. ‘Di sini saya pikir pemerintah ingin sekali mengkriminalisasi masyarakatnya. Harusnya ekspresi itu menjadi hak yang konstitusional sebagai warga negara,” ujar Ade.
Terkait Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan salah satu fungsi dan peranan pers adalah pengawasan dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan sehingga bentuk-bentuk karya jurnalistik yang keluar dari media dan perusahaan pers itu harus dianggap atau di bawah Undang-undang Pers itu. Artinya ketika seseorang menjalankan amanat Undang-undang Pers, harusnya ia dilindungi tetapi kemudian dalam beberapa kasus terkadang pejabat dan APH terlalu kaku melihat UU Pers ini. Mereka melihat sebuah tataran administratif ketika memang yang mempublikasikan tidak memiliki badan hukum misalnya, dia langsung ini dikeluarkan dari ranah UU Pers. Padahal substansi UU Pers adalah sebuah karya jurnalistiknya. Harusnya diuji dalam konteks substansinya. Kekakuan melihat ini terlihat dalam proses hukum terutama kriminalisasi dalam kasus pers.
Terkait pasal 300-302 yang mengatur tindak pidana terkait agama dan kepercayaan, menurut Towik mungkin penodaan agama tidak secara eksplisit dicantumkan dalam KUHP, tetapi di pasal itu, termasuk juga 304 bisa mengenai terhadap pimpinan, orang yang sedang menyampaikan hatespeech dalam khotbahnya. Umpamanya pihak yang merasa dirugikan dalam hatespeech itu menyampaikan pandangannya, nanti bisa kena juga terutama kelompok minoritas. Jadi pasal 300,. 301, 304 adalah bentuk lain dari penodaan agama yang dalam nomenklatur hukum di internasional itu sudah tidak seharusnya dipakai oleh negara-negara penganut demokrasi. Ini menjadi landasan konsepnya.
Akan menjadi kemunduran karena kalau melihat hukum atau pidananya, tentang penodaan agama atau pertentangan, kebencian, penodaan terhadap agama/keyakinan, bisa kena 5 tahun termasuk menyiarkan dan bukan hanya kelompok minoritas, termasuk jurnalis , termasuk media. Pers sudah ada mekanisme sendiri. Harusnya tidak ke kepolisian tetapi lewat Dewan Pers tetapi karena ada pasal seperti ini maka jurnalis pun bisa kena, yang tadi disebut disensor, bisa alami tidak mengangkat isu-isu yang berkaitan ajaran keagamaan atau pandangan pimpinan keagamaan tertentu yang perlu dikritisi. Karena selain fungsi media untuk mengawasi, mengontrol kekuasaan juga untuk mengedukasi publik. Jadi fungsi edukasi menyampaikan kebenaran,informasi yang seimbang, itu bisa tereduksi karena pasal KUHP pasal 300,301 dan 304.(ast)
Add a comment