FGD Partisipasi Publik Terkait RUU Kesehatan
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1059
Pada akhir Maret 2023, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kolegium Juris Institute dan Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan FGD partisipasi publik terkait RUU Kesehatan.
Narasumber Dr. Hasrul Buanamona, pakar hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta di hadapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan empat poin gagasan yaitu : 1. Integrasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan pelayanan kesehatan, 2. RUU Kesehatan harus mempermudah pengangkatan tenaga profesi medis dan tenaga profesi kesehatan untuk ASN dan PPK untuk menjawab kurangnya tenaga medis di wilayah terpencil (3 T), 3. Mengatur norma terkait Kedudukan Rekam Medis sebagai alat ke dalam RUU Kesehatan, 4. RUU Kesehatan harusnya membuat peradilan profesi medis yang keududukannya di bawah Mahkamah Agung demi terwujudya acces for justice.
Seperti diketahui bersama bahwa dalam proses pembentukan hukum terdapat empat aspek penting : yaitu : 1. aspek regulasi, 2. Aspek Sumber Daya Manusia, 3. Aspek Kelembagaan dan infrastruktur, 4. Aspek Budaya.
Hasrul menyatakan bahwa wajah politik hukum kesehatan di Indonesia penuh dengan konflik pembentukan norma, tumpang tindih aturan, sampai berebut kewenangan. Hal ini disebabkan politik hukum peraturan perundang-undangan dalam pelayanan kesehatan tidak saling terintegrasi. Contoh kecil ada pada : Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), dalam konsiderannya tidak memuat sama sekali UU Nomor 36 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) sehingga menjadikan mundur karena menjadikan industri perumahsakitan.
Ini juga terjadi di UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS). Konsiderannya sama sekali tidak memuat UU Kesehatan sehingga jelas menampakkan internal pemerintah belum memiliki kesatuan paradigma pelayanan kesehatan yang baik sebagai hak konstitusional masyarakat. Harusnya keempat UU itu terintegrasi. Sebagai payung hukum UU BPJS, UU Praktik Kedokteran, UU Kebidanan, UU Keperawatan, UU BPJS, UU Kesehatan.
Pelayanan sebagai Hak Ekosob HAM, sebagai politik hukum tidak bisa melepaskan intervensi kebijakan hukum pemerintah sebaliknya pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya pada masyarakat. Beberapa poin yang bisa dicatat kembali adalah : 1. Kehadiran RUU ini untuk menghitung lagi berapa biaya pendidikan kedokteran yang saat ini masih sangat mahal., 2. Memberi subsidi atas pembiayaan pendidikan. Tersebut, 3. Bencana COVID-19 , pemerintah harus mengangkat tenaga kesehatan (nakes) honorer untuk jadi ASN untuk menjamin kepastian hidup. Sebab para nakes menerima beban kerja yang luar biasa dari para nakes yang berstatus ASN., 4. Esensi hukum dalam rekam medis agar tak bertentangan dengan UU Perundungan Data Pribadi, 5. RUU ini mengatur pembentukan peradilan profesi medis/ kesehatan di bawah Mahkamah Agung (MA). (ast)
Add a comment
Gerakan Perempuan Lintas Iman, Keadilan Gender, dan Toleransi Berkeyakinan di Indonesia
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1234
Wiwin Siti Aminah Rohmah, Co Founder Srikandi Lintas Iman dan Direktur Direktorat GESI UNU/Gender Equality and Social Inclusion Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dalam siaran IG Live @letsstalk_sexualities yang dipandu oleh Renvi Liasari menyatakan bahwa Indonesia memiliki deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/Kepercayaan PBB tahun 1981 Pasal 1 menyatakan,”Setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama/kepercayaan, dan memanisfestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengalaman, maupun pengajarannya.”
Tetapi hingga kini masih terus-menerus banyak kasus intoleransi beragama dan berkeyakinan. Ini yang kemudian menurut Wiwin menjadi keprihatinan bersama,
Wiwin tertarik dengan gerakan perempuan dan isu keberagaman dan itoleransi yang menurutnya bukan sesuatu hal baru, ketika masuk universitas ditahun 1995. Ketika itu mulai ada pengkaderan dan ia dikenalkan isu gender. Menurutnya itu menarik karena erat hubungannya hak perempuan.
Ia kemudian menggeluti isu lintas iman di tahun 1997 menjelang terjadinya reformasi. “Kita punya potensi cukup besar terjadinya konflik jadi kalau tidak diantisipasi akan berpotensi muncul kembali,”ujarnya. Sama keyakinannya bahwa masyarakat punya peran atau kontribusi bagi terwujudnya toleransi di Indonesia.
Terkait sebanyak apa atau kuantitasnya, para aktivis yang fokus ke isu intoleransi lintas iman dan agama menurut pengamatan Wiwin sejauh ini belum banyak, baik personal atau organisasi. Wiwin juga bertanya kepada teman pun terkait dan peneliti melihat isu toleransi dan lintas agama bukan sebagai prioritas.
Ada prioritas lain yang dipandang mendesak dibanding isu ini. Padahal tantangan di Indonesia cukup besar terkait isu toleransi sebab budaya patriarki belum memberi ruang cukup besar. Isu ini masuk di crosscutting isu dan irisannya cukup besar dan kalau terjadi kasus intoleransi, korbannya adalah perempuan dan anak-anak, juga terkait kasus terorisme.
Contohnya kasus Ambon dan Poso yang paling menderita perempuan dan anak. Perempuan di dalam konflik maupun tidak di konflik selalu sebagai pioner.
Di Ambon banyak penelitian menemukan mama di Ambon justru membuat ruang netral, komunitas Kristen dan muslim berjumpa di pasar. Perempuan, bagaimana bisa survive terkait kehidupan itu sendiri, mereka harus menembus batas-batas.
Namun begitu masih banyak yang belum melihat bahwa perempuan sebagai agen perdamaian.
Berdasarkan riset Wahid Foundation masih banyak terjadi kasus intoleransi di masyarakat terkait Suku, Agama dan Ras (SARA).
Juga sumber dari Kementerian Agama menyatakan bahwa indeks toleransi beragama belum seperti yang diharapkan sebab tidak semua daerah memiliki meindeks yang diharapkan. Nusa Tenggara Timur (NTT) indeks tertinggi.
Situasi-situasi di NTT atau Kupang belum tentu terjadi di semua daerah.Ini menjadi persoalan serius baik dibanding jumlah daerah terkait otonomi daerah. Jadi sebaiknya isu ini diinisiasi di tingkat lokal dan tidak menunggu pusat sehingga daerah bisa menjadi basis. Serta bagaimana mereka bisa mengeluarkan kebijakan yang mendukung toleransi.
Lalu faktor lain apakah yang membuat kasus intoleransi tetap terjadi? Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa digali mengapa kasus itu masih terjadi sampai saat ini di antaranya pemahaman yang masih belum terbuka sebab orang tidak akan melakukan intoleransi kalau dia memiliki cara pandang inklusif.
Kedua adalah Law Enforcement praktik penegakan hukum atau sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan dan menghukum sangatlah penting. Kalau ada kasus diselesaikan dengan baik, maka tidak akan terulang. Kalau sampai pengadilan mengambang, maka berpotensi peristiwa kembali berulang.
Ketiga, penting terkait tokoh agama harus menjadi tokoh yang benar-benar teladan misalnya kyai dalam konteks Islam.
Keempat berkaitan faktor regulasi. Di Indonesia satu sisi mendukung di satu sisi kurang mendukung misalnya terkait rumah ibadah. Kasus tertinggi saat ini adalah pelarangan atau persulitan pendirian rumah ibadah misalnya soal keharusan ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kenyataan ada dukungan sekian puluh orang misalnya harusnya itu sudah menjadi prasyarat. Konteks Indonesia terkait lokalitas ada perbedaan jumlah penduduk dan aturan itu belum tentu diaplikasikan di Indonesia. Faktor ini dari dulu sampai sekarang ada yang sama ada yang berbeda.
Sekarang ini ada gejala over relijiusitas/ beragama secara berlebihan sehingga sedikit-sedikit dikaitkan dengan syariah.
Ada kasus terkait keadilan gender dan intoleransi beragama dan bagaimana hal tersebut ada keterkaitannya. Misalnya kasus Medan yang mempersoalkan azan, perempuan budhis yang dia sebenarnya tidak protes dalam pengertian keras, namun karena isu ini sensitif kemudian berkembang.
Dalam konteks kasus ini perempuan mendapat beban ganda yakni dia sebagai perempuan dan dia dibully. Perlu diakui bahwa kasus intoleransi tidak melulu dilakukan laki-laki. (ast)
Add a comment
Catatan Jejak Langkah Gerakan Perempuan
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1110
Saskia Wieringa, seorang peneliti dan juga dosen dalam siaran diskusi publik memperingati Hari Perempuan Sedunia dan disiarkan YouTube bertanya mengapa gerakan perempuan dihancurkan? Dari dulu ia tertarik tentang ini. Saksia bercerita waktu masuk gerakan perempuan Belanda yakni di tahun 1968, saat itu gerakan perempuan di Belanda baru dimulai. Sedangkan gerakan perempuan Indonesia sudah hancur. Di tahun 50-an gerakan perempuan di Belanda hampir tidak ada, lemah sekali. Tetapi sampai tahun 1965, gerakan perempuan di Indonesia sangat kuat, termasuk paling kuat di dunia. "Kita betul-betul harus sadar bahwa Gerwani waktu itu nomor tiga jumlah terbanyak di dunia, setelah China dan Rusia. Padahal kita bukan negara komunis," ujar Saskia.
Maka dari itu timbul pertanyaan yang terkuat, terbesar kok bisa kalah. Itu yang jadi bahan thesis S3 Saskia karena ia mau memahami. Saskia menulis buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan, dan itu memang terjadi. Sekarang ia ingin menganalisis beberapa hal yang semestinya lebih mendalam. Satu hal yakni terkait konsep, konseptual, buku 'penghancuran' belum sampai pada itu. Sekarang zaman lebih maju. Yang kedua adalah apa yang terjadi dan mengapa organisasi Gerwani yang begitu kuat, bisa lemah. Dan perlu untuk dimengerti kelemahan Gerwani. Ia belajar dari pemilu presidensial di Indonesia pada tahun 2019, bahwa gerakan perempuan lemah.
Buku 'penghancuran' melihat dari sisi politik. Saat pemilu 2019 gerakan perempuan terpisah dan lemah padahal banyak perempuan memiliki kecerdasan. Kelemahan itu secara politis dan simbolis.
Gerakan perempuan mulai dari Indonesia merdeka, perempuan ikut serta bukan hanya sebagai penjaga dapur umum tetapi juga sebagai kurir untuk tugas utamanya. Waktu itu tidak ada internet atau pos. Kelompok gerilya saling menghubungi perlu peranan perempuan. Tapi sesudah itu peranan perempuan musnah. Membaca buku 'pergerakan', dimana peran perempuan? Saskia mengatakan jika Ben Anderson selalu menulis tentang pemuda, para laki-laki. Peranan perempuan hilang dalam buku sejarah, juga dalam kesadaran novel, dan puisi. Artinya yang jago-jago adalah laki-laki. Perempuan tidak diperhatikan. Kelemahan lainnya, ia membaca lagi buku penghancuran gerakan dan merasai buku itu lagi. Itu adalah gerakan perempuan muncul dari gunung, dari tempat gerilya. Mereka sangat feminis, sangat sadar ada perempuan yang sosialis, yang bekerja sama dengan gerakan-gerakan sosialis. Dari dulu sudah bekerja banyak tentang perkawinan, poligami, dan mereka yang betul-betul berjuang tentang itu. Itulah yang penting untuk perempuan.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Perempuan dari diri sendiri tidak bisa untuk mengikuti garis perjuangan mereka sendiri. Mereka langsung ditangkap dan disuruh ikut serta program PKI.
Kata Soekarno waktu itu, nanti kalau ada sosialis Indonesia, itu istilah Soekarno, itu perempuan sudah bebas. "Itu bohong. Itu harusnya bisa belajar, di Rusia, di China yang sama sekali tidak sampai itu. Perjuangan perempuan tidak akan berhasil kalau perempuan sendiri tidak punya program sendiri maka dari itu kalau perempuan biarkan program mereka diambil oleh PKI atau oleh Soekarno, mereka akan kalah. Itu persisnya yang terjadi,"ujar Saskia.
Oleh karena Gerwani kuat sekali, gagah sekali dan tidak ada satu organisasi pun pergi ke desa manapun, pergi untuk membantu buruh petani, tetapi karena mereka ikut program laki-laki atau mengikut janji Soekarno, mereka kehilangan cita-cita mereka sendiri. Lama-lama sudah tahun 1951, sudah kongres pertama.
Karena untuk PKI, perempuan itu penting. Tetapi bukan untuk kepentingan perempuan, tentang monogami atau perjuangan anak, atau prostitusi atau pembagian kerja di rumah tangga, itu PKI sama sekali tidak peduli. Aidit tahu dan mengerti, tanpa perempuan revolusi tidak akan terjadi sebab yang dia mau hanya jumlah perempuan. Bahwa perempuan menjadi satu juta, dua juta tetapi Gerwani tidak sampai satu juta, dan dia kecewa.
Gerwis, perkumpulan pertama itu sangat feminis. Tetapi dalam perjuangan untuk memperoleh anggota-anggota baru yakni pelatihan kader tidak bisa lagi dilakukan. Kalau tahun pertama mereka melakukan pelatihan, mereka tidak bisa melaksanakan lagi karena terlalu banyak orang, terlalu banyak anggota. Mereka banyak terlibat praktik sehari- hari. Mereka kalah. Saskia merasa contoh yang Indonesia adalah contoh dimana bisa belajar bagaimana negara bisa hancur.
Menurut Saskia, kita bisa belajar dari peristiwa 65 itu sebagai salah satu contoh terpenting Indonesia tentang politik seksualitas.. Bagaimana negara bisa hancur dan gerakan perempuan, gerakan sosial pada umumnya bisa hancur dan dihancurkan oleh politik seksualitas para jenderal. "Saya lama tidak tahu, siapa yang mengarang Gerwani memotong alat kelamin tentara?" tanya Saskia.
Ia baru membaca buku bahwa di kelompok Soeharto disebutkan untuk menghancurkan negara dilakukanlah semua gerakan perempuan dengan politik seksualitas. Semua bisa belajar dari Indonesia dan Saskia menulis banyak tentang itu dan banyak orang percaya bahwa itu bisa terjadi
Mereka mengarang dan menguasai koran, radio, semua media. Itu merupakan program dari Soeharto. Merek lama menyembunyikannya lalu kemudian sekarang semua tahu. Itu yang kemudian dinamakan heteronormativitas.
Heteronormativitas adalah sistem beberapa perilaku dianggap sah dan diterima oleh masyarakat dan perilaku yang lain tidak diterima. Itu masuk dalam berkenaan moralitas dan masuk dalam agama. Jadi agama lebih luas dari agama yang biasanya dilihat dari agama yang dipakai politik.
Selain itu kita bisa belajar bagaimana kita bisa menentang itu semua dengan kuat, bangun- bangun wacana, untuk kuat. Untuk tidak jadi korban politik seksualitas militer maka Saskia membangun beberapa konsep. Yang pertama bukan heteroseksualitas yang penting tetapi heteronormalitas karena heteronormativitas adalah dua mata pedang yang bisa membunuh siapa saja di luar norma dan itu mengancam semua orang di dalamnya.
Kedua kita mesti mengerti bagaimana subversinya. Bagaimana kita bisa mensubversi heteronormativitas bukan hanya aksi di jalan. Meskipun demonstrasi ke jalan penting seperti saat ini ada aksi dukung pengesahan RUU PPRT. Tetapi ada dari kita yang memakai heteronormativitas tapi tidak melakukan aksi keras yakni aksi subversi simbolis.
Saskia sedang menulis LBT, transeksual. Itu adalah bentuk hubungan antara lesbian, banyak yang "seolah' heteroseksual tetapi bukan heteroseksualitas. Menurutnya Feminisme dan maskulinitas tidak tergantung kepada tubuh, itu konstruksi sosial.
Saskia mengulangi bahwa kita mesti tahu bagaimana menentang sistem heteronormativitas yang begitu kuat. Dan kita mesti punya agenda sendiri. Kita belajar dari pemilu 2019. Ada kelompok perempuan yang ikut Jokowi dan ada yang ikut Prabowo, daripada mereka memiliki program bersama. Itu yang terjadi juga sebelum tahun 65, ada organisasi yang sudah tidak punya program sendiri lalu hanya melihat kepentingan parpolnya laki-laki, maskulinitas dari maskulin. "Kita harus keluar dari sejarah itu. Gerakan perempuan Indonesia menanti untuk pemilu mendatang dan tidak lagi terpecah. Bangun program sendiri dan tuntutan sendiri. Bukan dari partai," seru Saskia.
Jejak Langkah Gerakan Perempuan : Kita Menentang Politik Nativisme Pribumi dan Non Pribumi
"Saya temui Ibu Sulami yang kulit tangannya keriput seperti kulit tangan nenek-nenek di kampung saya. Sambil bergetar, ia memberi saya buku catatan saat di penjara.".
Apa yang kita catat dalam konteks reformasi? Yuniyanti Chuzaifah, purna komnas perempuan, melihat bahwa reformasi itu adalah ujung atau titik mula dan jangan dilihat hanya sebagai turunnya Soeharto. Proses demonstrasi berhari-hari saat itu adalah akumulasi panjang dari gerakan perempuan Indonesia melakukan delegitimasi terhadap Soeharto.
Yuni ingat Bu Sulami, penyintas 65, keluar dari penjara keadaannya sangat miskin. Para perempuan saat itu melakukan delegitimasi Soeharto gagal dalam mengelola negaranya dengan adanya kemiskinan. "Kita juga melakukan delegitimasi yang dilakukan Soeharto. Kita mulai membikin serikat-serikat. Kalau ada demo, gerakan perempuan itu ada di depan. Tidak takut meski ada tentara. Kita berkacak pinggang dan yang kita lakukan pendekatan feminin dan feminis. Kita pakai bunga . Kita kasih para militer dan kita kasih bunga. Bukan karena kita takut. Kita menentang dan bilang bahwa yang kita angkat adalah ini," demikian kata Yuni. Yuni membangun Solidaritas Perempuan (SP), waktu itu bukan dengan mengumpulkan perempuan atau memperbanyak massa. SP ke Makassar, Palembang, dan Sulawesi tidak dengan massa tetapi kita mentraining.
Untuk mendapat tempat di hati perempuan setempat mereka bertarung dengan maskulinisme. Itulah yang menjadi konektor saat mereka membangun perserikatan dengan memberikan training kepada para kader. Untuk membangun Solidaritas Perempuan (SP) di daerah mereka izin ke CSO setempat. Nah, kemudian menurut Yuni, yang terjadi dari reformasi adalah mereka merawat grassroot dengan menerjemahkannya misalnya ia diajak pergi menemui buruh-buruh.
Setelah melakukan pengorganisasian kemudian mereka melakukan pembelajaran hukum kepada buruh-buruh itu. Ada peristiwa tak terlupakan waktu itu mereka harus memasukkan sandal di dalam ruang sebab ketua RT RW merangkap jadi intelejen. Mereka memasukkan sandal agar tidak terlihat dari luar sehingga terhindar dari penangkapan.
Yuni pada saat mahasiswa bahkan ingin belajar tentang feminisme. Waktu itu ia bergabung dengan Yayasan Perempuan Mahardhika. Menurutnya apa yang terjadi dengan Mei 98 dan peristiwa perkosaan massal pada perempuan Tionghoa dirasakan oleh semua aktivis perempuan hingga mereka berkata, "ini bukan tubuh mereka. Ini tubuh kita " dan politik seksual digunakan untuk mentarget perempuan. Yang kedua adalah merawat persaudaraan. "Kita menentang rasisme. Kita menentang politik nativisme pribumi dan non pribumi," ujar Yuni. (ast)
Add a comment
Zakat untuk Keadilan Gender
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 977
Pada sebuah kesempatan IG Live @letsstalk_sexualities mengundang narasumber Yulianti Mutmainah, Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Yulianti adalah Penulis Buku "Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Ia juga mengembangkan Teologi Al-Ma'un yakni pemikiran berkenaan dengan pelayanan terhadap masyarakat yang didasarkan kepada QS.al-ma’un. Al-ma’un memberi cakupan pada layanan sosial, kesehatan dan pendidikan.
Bersama Host Diah Irawati, siaran IG live tersebut ingin mendalami persoalan zakat dalam keadilan gender, termasuk praktik zakat yang konvensional dan mainstream itu. Dan apakah ada potensi atau kemungkinan program lainnya? Serta mendalami perbedaan zakat dan sumbangan.
Zakat adalah harta yang wajib kita keluarkan kalau sudah nasab yakni Emas 86 gr. Ada dua jenis zakat yakni zakat fitrah dan mal. Zakat fitrah dikeluarkan di bulan ramadhan dan tidak ada batasan usia yakni sebesar 2,5 kg beras, bisa gandum atau kurma.
Zakat mal butuh waktu satu tahun dan yang wajib berzakat datang dari berbagai profesi seperti dokter, dosen, atau orang yang punya giro atau emas. Lalu bagaimana dengan rumah tinggal dan kendaraan? tidak wajib dizakati. Yang wajib adalah rumah kontrakan, sawah, dan emas. Zakat adalah jumlah dari harta kumulatif yang kita punya lalu dihitung semua dan diambil 2,5%
Yulianti yang berlatar belakang aktivis isu kekerasan pada perempuan dan anak memiliki perspektif tentang zakat yakni membersihkan jiwa karena mungkin waktu mengumpulkan bercampur dengan yang subhat atau yang tidak bersih.
Menurut Host Diah Irawati, di dalam Islam, zakat adalah sumberdaya lalu bagaimana kita menkontektulisasi dalam program pemberian kepada korban?Sebab sering ada dilema zakat atau pajak? Di samping itu ada kebijakan bukti bayar zakat bisa mengurangi jumlah pajak yang dibayarkan.
Yulianti menjawab bahwa posisi antara penerima zakat dan pembayar zakat sama. Berzakat bagian dari konsep ibadah. Ada ruang kosong ketika kita bayar zakat. Potensi zakat berdasar baznas di Indonesia lebih dari 300 T. Ada ruang kosong untuk memaknai tentang riqab yakni orang yang berusaha membebaskan diri dari perbudakan. Hal ini yang membuat Yulianti memaknai orang sebagai korban kekerasan adalah riqab.
Ada pula tafsir orang-orang yang terkena bencana, orang-orang yang mengungsi atau homeless itu masuk sebagai penerima zakat misalnya 'orang gerobak' yang beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial. Termasuk orang yang membebaskan diri dari perang misalnya orang Palestina.
Delapan golongan penerima zakat itu tidak harus pakem. Termasuk orang yang bekerja di kapal, perkebunan yang kehidupannya tidak manusiawi. Termasuk fakir dan miskin yang umumnya menjadi korban lalu miskin sehingga keluar sekolah dan tidak mendapat akses. Mereka berhak dapat zakat.
Zakat untuk korban sangat berkaitan dengan kehidupan saat ini di mana bisa dibuktikan atau mungkin segelintir saja lembaga yang zakat yang memberikan. Lalu timbul pertanyaan apakah ini patriarki? Mungkin saja.
Terkait keadilan dan gender, kalau ada pilihan lembaga Amil Zakat apakah mereka membantu non muslim? Yulianti menjawa Iya, pernah ada pengalaman saat bencana alam misalnya Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) membantu para korban dengan tidak mempertanyakan agamanya apa.
Namun dari delapan golongan tersebut yang kurang besar perhatiannya adalah korban kekerasan. Korban kekerasan yang paling banyak adalah memiliki stigma atau ada anggapan sebagai orang yang kotor, najis bahkan itu juga dikatakan oleh pejabat negara dan tokoh agama. Bahwa yang bersih dan kotor tidak dapat bersatu. Mereka menganggap zakat sesuatu yang bersih.
Buku Yulianti mengubah paradigma itu. Mereka yang dalam keadaan lemah, bertahan. Orang lemah dan korban dianggap lebih lemah. Kita bisa berempati kepada homelless dan fakir miskin.
Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak mencoba mengubah itu, bahwa mereka menjadi korban karena lingkungan dan perspektif, bukan kesalahan korban.
Buku zakat ini juga berkontribusi dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menyebutkan di satu pasal bahwa dana untuk korban bisa diambil dari dana fillantrofi Islam. Hal ini menjadi jawaban bahwa Islam Rahmatan Lilaalamin. Buku ini terbit tahun 2020, sebagai yang pertama di Indonesia.
Buku ini didukung Ketua Tarjih Muhammadiyah juga dari NU yang sifatnya personal dan juga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Dana zakat dimulai 2021 dan yang pertama sekali adalah LazisMu. Baznas Kota Tangerang Selatan (Tangsel) juga sudah melaksanakan. (ast)
Add a commentPenanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1301
Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa diharapkan menjadi payung hukum yang komprehensif dan memastikan dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak difabel sebagai korban. Namun begitu, pada layanan pengaduan, penjangkauan dan penampungan sementara (shelter/rumah aman) serta layanan dasar lainnya. Dalam kesempatan webinar yang dihelat oleh Yayasan Sapda pada Kamis (16/3), Ratna Susianawati, Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bahwa kementerian tidak bisa melakukan sendirian sehingga diperlukan sinergitas pusat dan daerah. Kementerian juga berharap setiap layanan berperspektif disabilitas hadir di setiap layanan oleh lembaga lainnya.
Ratna juga memastikan bahwa perlindungan dari berbagai macam kekerasan harus diminimalisir bahwa Zero Violence bisa diwujudkan. Saat ini data masih menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk disabilitas masih sangat tinggi. Pada 2016, ditemukan bahwa 1 dari 3 perempuan mendapat kekerasan dalam hidupnya. Lalu mengalami penurunan 1 : 4 di tahun berikutnya. Menurutnya meskipun sudah ada berbagai regulasi dan kebijakan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan, tetapi akses keadilan hukum dan pendidikan harus terus diupayakan.
Pada kesempatan yang sama, Nurul Saadah, Direktur Sapda menyatakan bahwa lembaganya menangani kasus perempuan dan anak difabel bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL), Woman Crisis Center (WCC), pengada layanan dari pemerintah serta kerja sama Aparat Penegak Hukum (APH) serta profesi yang lain. Menurut Nurul, banyak cerita atau kisah suka duka dalam proses penanganan tetapi jarang dipublikasikan. Dan setiap pihak mengambil peran sesuai kedisiplinan masing-masing karena Sapda tidak bisa bekerja sendiri. "Kami sudah bersama dengan FPL mencoba menulis catahu. Kami punya komitmen luar biasa. Dan ini yang kami catat, apa yang sudah kami lakukan," pungkas Nurul.
Catatan Kekerasan yang Dialami oleh Perempuan dan Anak Disabilitas
Mengutip pers rilis yang dikeluarkan oleh Sapda, dari 81 kasus kekerasan yang terlaporkan, sebagian besar terjadi kepada ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, kemudian ragam disabilitas intelektual 22 kasus serta ragam disabilitas mental 14 kasus. Sementara berdasarkan bentuk kekerasan, jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi paling tinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual perkosaan 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga 15 kasus. Setiap penyintas/ survivor mengalami dua hingga enam bentuk kekerasan sekaligus.
Upaya pencatatan ini juga menghasilkan temuan tentang adanya hambatan berlapis yang menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mulai dari hambatan individu, keluarga, lingkungan, regulasi, hingga sarana dan pra sarana.
Pada hambatan di level individu, kondisi kedisabilitasan dan kendala komunikasi menjadi temuan kunci yang menyulitkan penyandang disabilitas mengakses layanan. Minimnya sumber daya ekonomi dan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan juga membuat mereka kurang memahami cara mendapatkan dukungan-dukungan yang diperlukan. Hal ini terbukti dari temuan data kasus yang menunjukkan mayoritas kekerasan menyasar penyintas tanpa pekerjaan (29 kasus) dan penyandang disabilitas yang sama sekali belum pernah mengakses pendidikan (14 kasus).
Pada hambatan di level keluarga, proses pendampingan kepada korban sering kali tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Lingkungan terdekat justru menjadi rintangan terbesar bagi sebagian penyintas untuk melapor, lantaran pelaku kekerasan adalah orang-orang yang seharusnya memberikan ruang aman, seperti keluarga (20 kasus) atau pasangan (14 kasus). Situasi ini dipertegas kembali pada data ranah kasus yang menunjukkan bahwa mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat (46 kasus).
Pada hambatan di level lingkungan, penyandang disabilitas terlanjur mengalami peminggiran dan diskriminasi akibat stigma negatif yang melekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya.
Terakhir, pada hambatan di level regulasi, berupa aturan-aturan yang mendukung pemenuhan hak penyintas kekerasan belum bisa terimplementasikan dengan optimal serta masih belum menyentuh penyintas penyandang disabilitasekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya. (Ast)
Add a comment