Publikasi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

KETERANGAN PERS

Nomor: 01/HM.00/I/2023

 

Sikap Komnas HAM atas Pernyataan Presiden mengenai Laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM)
 

 Komnas HAM RI telah mencermati Pernyataan Presiden RI terkait Laporan Tim PPHAM yang disampaikan pada 11 Januari 2023, yang secara garis berisi:

 

a. Pengakuan terjadinya Pelanggaran HAM yang Berat dalam 12 peristiwa (Peristiwa 1965/1966, peristiwa Misterius 1982/1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Statis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997/1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Semanggi I dan II 1998/1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998/1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001/2022, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003).

b. Komitmen pemulihan terhadap korban Pelanggaran HAM yang Berat tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

c. Komitmen agar peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat tidak terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.

d. Menugaskan Menkopolhukam untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah dalam menindaklanjuti kedua komitmen tersebut di atas.

 

Menyikapi pernyataan tersebut, Komnas HAM :

a. Menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM;

b. Pengakuan tersebut memperlihatkan adanya komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam pemulihan hak korban, untuk memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, dan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu;

c. Mendukung jaminan ketidakberulangan peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat dengan membangun pemajuan dan penegakan HAM yang efektif, diantaranya dengan mendorong

ratifikasi semua instrumen HAM Internasional, perubahan kebijakan di berbagai sektor dan tatanan kelembagaan pada institusi negara, dan peningkatan kapasitas penegak hukum dan aparat sipil negara melalui pendidikan dan pelatihan HAM;

d. Meminta Menkopolhukam untuk memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait tugas dan kewenangan dalam menjalankan penyelidikan dan penyidikan guna menyelesaikan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui mekanisme yudisial;

e. Berpandangan bahwa hak korban atas pemulihan juga berlaku bagi korban peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang telah disidangkan melalui Pengadilan HAM, namun hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas pemulihan, yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014;

f. Meminta berbagai institusi, seperti TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian/Lembaga lain, serta pemerintah daerah/provinsi/kabupaten/kota untuk turut mendukung kebijakan pemerintah terkait tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM;

g. Membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban Pelanggaran HAM yang Berat kepada Komnas HAM. Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat;

h. Meminta Menkopolhukam untuk merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM;

i. Demi pemenuhan Hak-hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; Komnas HAM mendukung dan mendorong tindak lanjut dari Laporan Tim PPHAM sebagaimana komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden.

 

 

Jakarta, 11 Januari 2023

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA RI
 

Atnike Nova Sigiro

Ketua

 

 

Narahubung :
Atnike Nova Sigiro (0812-9401-766)

Abdul Haris Semendawai (0895-3964-27682)

Add a comment


Penilaian: 4 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Yayasan YAPHI dalam upaya melakukan sosialisasi dan advokasi pencegahan tindak kekerasan pada perempuan dan anak melakukan siaran melalui podcast  NGO-PHI dan YouTube Yayasan YAPHI  bersama Host Yosi Krisharyawan dengan menghadirkan Lalli Nur Anisah dan perwakilan Suara Perempuan Alor. Laili Nur Anisah adalah pengajar hukum pidana dan perlindungan perempuan dan anak di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, sedangkan Mariam dan Novi dihadirkan mewakili Suara Perempuan Alor.

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Konsep dan definisi kelompok rentan yang ada di Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 meliputi orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Aturan kelompok rentan juga termaktub dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,Pasal 55 yakni bayi, balita,anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga memua kelompok rentan yakni : Ibu, bayi, Anak Remaja, Lanjut Usia, Penyandang Cacat. Aturan terbaru tentang kelompok rentan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang RAN HAM 2021-2025 yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat adat.

Kategori kelompok rentan dan dampak eksklusi  sosial juga masuk dalam  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Sosial Eksklusi menggambarkan keadaan di mana individu tidak dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan/atau berpartisipasi dalam kehidupan komunitas dapat secara langsung memiskinkan kehidupan seseorang (Sen,2000).

Ada 26 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dan masuk 7 kategori menurut Permensos Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Maasalah Kesejaheraan Sosial (PMKS) yakni : Kesmiskinan, terpencil, keterlantaran, korban bencana, tuna sosial, korban kekerasan, disabilitas.Sedangkan 13 PMKS  dengan 7 kategori yang berhak mendapat Rehabilitasi Sosial  menurut Permensos Nomor 16 Tahun 2019 adalah Anak Terlantar, Tuna Sosial, Korban Tindak Kekerasan, Disabilitas, Korban Perdagangan Orang, Lansia dan Korban NAPZA.

Catatan tentang profil penduduk rentan di Indonesia, yang tidak memiliki jaminan sosial,dari kelompok disabilitas, laki-laki 41,7% dan perempuan 48,4%, anak laki-laki 45% dan anak perempuan 44%, lansia laki-laki 42% dan lansia perempuan 46%. yang tidak memiliki BPJS Kesehatan lansia laki-laki 16,1% lansia perempuan 18%, anak laki-laki 24,1% dan anak perempuan 23,2% serta disabilitas laki-laki 16,1% dan difabel perempuan 19,2%. yang tidak memiliki kartu keluarga sejahtera anak laki-laki 18,9% anak perempuan 18,3%, lansia laki-laki 15,3% dan lansia perempuan 17,3%. Serta difabel laki-laki 17,1% dan difabel perempuan 18,9%.

 Belum lama ini Bappenas melakukan pemanfaatan data Regsosek-Silani untuk difabel sebagai langkah upaya penjangkauan dan sistem rujukan. Registrasi sosial ekonomi dalam reformasi perlindungan sosial adalah  perlindungan sosial yang adaptif yakni integrasi perlinsos penguatan penyaluran, inovasi pendanaan. Reformasi perlindungan sosial dengan integrasi program perlindungan sosial dengan pemberdayaan sosial ekonomi, kolaborasi lintas program, dan kerja sama dengan bukan pemerintah melalui pengembangan registrasi sosial ekonomi.    

 

Urgensi Kebutuhan Difabel Sebagai Kelompok Rentan

Beberapa urgensi kebutuhan kelompok rentan di Indonesia :1. Pendidikan dan kesehatan. Belum semua fasilitas pendidikan aksesibel dan memiliki kurikulum vokasional yang diperlukan termasuk Sumber Daya Manusia (SDM) pengajar masih terbatas. Kebutuhan akan biaya tambahan untuk terapi dan alat bantu termasuk Perawatan Jangka Panjang (PJP), cek kesehatan rutin dan pemberi rawat. 2. Keuangan inklusi,ketenagakerjaan dan pemberdayaan : upah dan jenjang karir yang tidak diatur dengan jelas dan difabel cenderung sebagai pekerja informal, jaminan ketenagakerjaan dan pensiun yang rendah, akses keuangan yang terbatas akibat minim informasi dan infrastruktur yang memadai, jenis dan cakupan program masih rendah.3. Habilitasi dan rehabilitasi. Program habilitasi dan rehabilitasi yang terbatas dan belum terintegrasi, sistem rujukan tidak terpadu sehingga mempersulit akses. 4. Fasilitas publik, seni dan hiburan. Fasilitas publik minim akses bagi kelompok rentan, akses ke tempat rekreasi, wisata, dan hiburan lainnya tidak akses khususnya bagi difabel. Semua itu ada prasyarat yakni dokumen kependudukan (pendataan).

Yanu Endar Prasetyo dari BRIN dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Penabulu di akhir September 2022 memaparkan  riset. Berdasar pada temuan BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021, Catatan Media monitoring pemberitaan terkait bansos dari tahun 2020s.d 2022, Hasil Riset systematic review (32 artikel jurnal dari 150 artikel pertama di Google Advanced Scolars dengan kata kunci “COVID-19”and “Bantuan Sosial”, dan Catatan Webinar Indonesia Timur, Webinar Indonesia Tengah dan Webinar Indonesia Barat. Ada lebih dari 18 bantuan sosial yang tergolong baru, yang diberikan oleh Kementerian selama 2020-2022.

Sedangkan permasalahan klasik bansos adalah tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak tepat sasaran, tidak tepat mutu, dan tidak tepat administrasi. Temuan BPK RI tahun 2021 di Kementerian Sosial adalah penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Bantuan Sosial PKH dan Sembako /Bantuan Sosial Tunai tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 6,93 triliun. Hal ini disebabkan antara lain karena terdapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi dan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan  nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp. 1,11 triliun. (Astuti)

 

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Sebagai refleksi akhir tahun pasca enam bulan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS),  Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan webinar “Implikasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Penyandang Disabilitas” .

Add a comment

Penilaian: 3 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Saat ini masih saja ditemukan media yang melanggar kode etik jurnalistik atau kurang tepat dalam menggunakan kata atau diksi dalam penulisan kasus-kasus kekerasan sesksual pada perempuan dan anak. Beberapa pemberitaan bahkan masih menstigma korban. Penting juga bagi para jurnalis mencantumkan informasi erkait dengan bantuan yang bisa diperoleh oleh perempuan dan anak korban kekerasan.

Add a comment