Publikasi

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

Perdamaian diri penting bagi seorang relawan inklusi yang banyak berhadapan dengan kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan disabilitas. Sebab dengan perdamaian diri maka  tidak mudah mengalami burnout, tidak lelah fisik dan bisa menyeimbangkan antara pikir dan rasa. Mendampingi itu dengan tidak menyerap semua luka dan sebagai pendamping/relawan sangat dihindari terjadinya  secondary trauma.

Secondary trauma adalah tekanan emosional atau psikologis yang timbul akibat terpapar secara tidak langsung terhadap pengalaman traumatis orang lain, seperti melalui cerita, gambar, atau kesaksian langsung. Kondisi ini berbeda dari trauma langsung karena tidak melibatkan pengalaman pribadi yang traumatis, tetapi justru muncul karena empati dan paparan terhadap cerita atau bukti trauma orang lain, dan sering dialami oleh profesional seperti pekerja sosial, petugas pertolongan pertama, dan tenaga kesehatan.

Menjadi diri yang utuh, menjadi pendamping, apa yang dilakukan untuk teman disabilitas dan korban, yang mungkin relawan mengerti bahwa hanya mendampingi. Padahal harus ada di tahapan empati bukan simpati, begitu yang disampaikan oleh Dorkas Febria, fasilitator dari Yayasan YAPHI pada sesi pertama di  pelatihan  ke-3  Relawan Inklusi (Relasi), atau disebut Kelas Relasi yang dihelat oleh Yayasan YAPHI bersama Jaringan Visi Solo Inklusi di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, Selasa (28/10).

"Jika kita tidak memiliki batas diri, mungkin akan larut dalam luka. Sering merasakan dan mempertanyakan diri, sehingga perlu ada batasan yang kuat.  Bisa hadir secara penuh, dimana dalam melakukan pendampingan teman disabilitas dengan memberikan yang terbaik, "terang Dorkas.

Jika seorang relawan inklusi masuk kepada tanda  tidak berdamai dengan diri seperti terus menyalahkan diri sendiri, merasa tidak layak, mudah marah, frustasi, menyimpan dendam, sulit fokus, ketika mendampingi sulit tidur, gelisah, merasa lelah terus-menerus hingga menceritakan pengalaman korban kekerasan, sampai terbawa mimpi, bangun tidur segar tapi ternyata malah capek. Jadi ketika tidak bisa membatasi, maka akan merasa lelah terus-menerus.

Dorkas kemudian menyampaikan terkait perlunya  prinsip  ruang aman, bahwa setiap orang diterima artinya tanpa penilaian, pengalaman, dan perasaan semua dihargai. Ruang aman adalah orang yang aman, fasilitas yang aman, dan aktivitas yang aman. Relasi yang aman berarti bebas dari relasi kuasa, dan  hadir dalam semangat saling menghormati tanpa paksaan untuk berbagi karena setiap manusia semestinya setara. Bahkan bahasa juga harus dengan bahasa yang aman, dimana terbebas dari stigma dan candaan yang seksis.

 

"Perspektif saya langsung saya ubah, ketika mendapatkan pengetahuan tentang perdamaian diri"kata Adnan.

 

Selain memberikan pemaparan terkait perdamaian diri, sesi pertama pelatihan juga mengajak 22 peserta untuk berpraktik  mindfulness dengan hening sejenak difasilitasi oleh Vera. Vera mengajak peserta melakukan meditasi dan kemudian kembali kepada kesadaran.

Adnan, salah seorang peserta Kelas Relasi dalam forum saat sesi diskusi menyampaikan bahwa banyak manfaat yang ia peroleh ketika mendapatkan pengetahuan tentang kerelawanan. Sebab ia berterus terang, sejak beberapa waktu lalu  telah menyediakan dirinya menjadi relawan teman curhat di media sosial. Ia menceritakan pengalamannya tatkala mendampingi orang yang ingin menyakiti dirinya sendiri. Adnan kemudian mengalihkan  perhatian si orang tersebut dan kemudian lebih  mendengarkan cerita-ceritanya.

Menurut Adnan,  dengan diberinya sesi perdamaian diri, ia lantas bisa menggeser perspektifnya, alias mengubah paradigma bahwa menjadi seorang relawan harus tahu batas dan banyak hal lagi yang bisa ia pelajari. Maka dengan itu ia kemudian mempunyai waktu lebih untuk mempersiapkan diri dengan diri yang penuh terlebih dahulu. "Ada tenaga yang besar yang saya butuhkan maka saya bisa menanggapi curhat satu persatu dan siap melakukan volunteer, " ungkap Adnan. (Renny Talitha/Ast)

Add a comment


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

UU nomor 1 Tahun 2023 akan berlaku dan salah satu yang jadi poin adalah banyak hal harus disesuaikan dengan UU nomor 1 tahun2023 maka RUU ini merupakan landasan penting bagi kita bagaimana menyesuaikan ketentuan-ketentuan pidana di UU nomor 1 tahun 2023 maka Kementerian Hukum lewat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan melakukan webinar untuk membahas hal tesebut pada Selasa (21/10). 

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Lembaga riset ekonomi dan hukum Center for Economic and Law Studies (Celios) merilis hasil survei terbaru yang menggambarkan penilaian publik terkait jelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Peneliti Celios, Galau D. Muhammad mengatakan,  hasil survei ini sebagai rapor merah bagi pemerintahan. “Warna merah melambangkan rapor merah. Jadi tidak ada cara lain untuk Pak Prabowo tidak berhenti di titik ini, maka harus melakukan evaluasi total, melakukan reshuffle kabinet, melakukan nomenklatur kementerian ini pangkas, dan merefleksikan dari data ini sebab publik menunggu,” katanya saat paparan, Minggu (19/10). Ia juga menilai, Presiden Prabowo perlu melakukan langkah nyata untuk memulihkan kepercayaan publik dengan melakukan reshuffle kabinet besar-besaran dan pemangkasan nomenklatur kementerian.

Saat ini ada sekitar 140 pejabat publik yang terdiri dari menteri, wakil menteri, utusan presiden, hingga penasihat presiden di Kabinet Merah Putih. Jumlah ini dinilai terlalu gemuk dan tidak efisien. “Tidak bisa tidak, pemerintah harus melakukan pemangkasan nomenklatur kementerian. Hal ini tergambar dari survei yang kami lakukan pada ekspert. 96 persen sepakat harus ada pergantian Menteri, dan 98 persen sepakat harus ada pemangkasan nomenklatur kementerian," ungkap Galau. Terkait sepuluh pejabat yang dinilai harus di-reshuflle versi survei Celios adalah 1. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia 2. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana 3. Menteri HAM Natalius Pigai 4. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni 5. Menteri Kebudayaan Fadli Zon 6. Menteri Pariwisata Widiyanti Putri 7. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan 8. Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan Budiman Sudjatmiko 9. Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto 10. Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid.

Hasil survei menunjukkan,  rata-rata nilai yang diberikan adalah  3 dari skala 10. Hasil ini  jauh menurun dibanding survei serupa saat 100 hari pemerintahan. Saat itu Prabowo masih memperoleh nilai 5 dan Gibran 3. “Ibarat rapor nilai sekolah, angka 3 dari 10 ini jelas berada jauh di bawah standar kelulusan yang biasanya ada di kisaran 6 atau 7,” ujar Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar. Ia menambahkan bahwa memilih analogi sederhana menggunakan kata “rapor”.

Survei melibatkan dua kelompok yakni 1.338 responden masyarakat umum dan kelompok pakar dengan melibatkan 120 jurnalis dari 60 lembaga pers mewakili berbagai desk pemberitaan, mulai dari ekonomi, sosial-politik, hukum dan HAM, hingga lingkungan.  Responden tersebar secara nasional, dari perdesaan hingga perkotaan, dengan beragam latar sosial dan demografis, menggunakan metode teknik pengumpulan data dengan cara sampling, teknik analitis, instrumen survei, validitas, jumlah responden, cakupan wilayah, output data, waktu pengambilan data, dan kelebihan. Survei berlangsung pada 30 September hingga 13 Oktober 2025. Dari hasil agregasi,  29 persen responden memberi nilai 1 dari 10, menandakan kinerja dianggap sangat buruk. Sebagian lainnya memberi nilai 2 sebanyak 14 persen, dan nilai 3 sebanyak 20 persen. Sementara hanya 2 persen yang memberi nilai 8, dan 1 persen memberi nilai 9. Tidak ada yang memberikan nilai sempurna.

Survei yang dilakukan oleh Celios   adalah  bagian dari partisipasi publik dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan. Pada sistem demokrasi, presiden dan jajaran pemerintah adalah penyelenggara negara yang harus terbuka terhadap kritik dan semua masukan dari rakyat. Kritik bukanlah bentuk menentang, melainkan cermin agar pemerintah dapat melihat kekurangan dan memperbaiki arah kebijakan. Sedangkan sektor dianggap paling tidak tertangani dengan baik adalah penegakan hukum dan HAM sebanyak 19 persen, disusul lingkungan adalah 17 persen,  ekonomi 14 persen, pendidikan 14 persen, serta sektor kesehatan dan sosial masing-masing 11 persen. Sisanya menyatakan bahwa  infrastruktur dan pertanian masing-masing adalah 7 persen. Media Wahyudi menyebutkan, hasil tersebut merupakan cerminan agregasi dari suara publik.  “Agregasi rangkuman dari suara masyarakat yang kami lakukan lewat metodologi penelitian berkaitan dengan evaluasi kinerja ini,” paparnya. (Ast)

 

 

 

 

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perkara 130/PUU-XXIII/2025 telah memasuki sidang ke-5 dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh  Pemohon. Sidang  lanjutan dari perkara tersebut kembali digelar pada Selasa, (21/10/2025). Sidang terkait permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang diajukakan oeh Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, dua penyintas penyakit kronis karena merasa hak-hak mereka tidak dijamin akibat tidak diakuinya penyakit kronis secara eksplisit dalam definisi disabilitas.Meski tak terlihat secara kasat mata, seharusnya juga diakui sebagai difabel.

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Shinta Barasa, pendiri gerakan Indonesia Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus  saat menjadi narasumber webinar yang dihelat oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) bertema “How to Support of Children with Special Needs," Kamis (16/10), mengajak para peserta untuk mengedepankan kesadaran sosial dan kekuatan mental sebagai faktor utama dalam pendampingan anak. Ia menekankan bahwa orang tua tidak hanya membutuhkan panduan teknis, tetapi juga dukungan emosional. Ia juga bercerita tentang pengalaman bagaimana orangtua di Tanjung Selor, Kalimantan harus naik speedboat selama dua jam setiap hari untuk mengakses layanan, hal yang akan sama dilakukan oleh para orangtua anak berkebutuhan lainnya yang tinggal di pelosok.

Shinta juga menyampaikan  beberapa tantangan orangtua ABK untuk pemenuhan hak-haknya : 1. Mendapatkan akses layanan diagnosa, 2. Mendapatkan layanan kesehatan, 3. Mendapatkan layanan pendidikan, 4. Mendapatkan layanan terapi, 5. Jaminan lifelihood anak dengan mendapatkan kesempatan pelatihan dan bekerja. Menurutnya, yang jadi masalah adalah selama ini tidak  ada  satu pintu untuk melakukan sosialisasi, artinya masing-masing dinas melakukan sosialisasi sendiri-sendiri. Sehingga beberapa orangtua dapat mengikuti sosialisasi dan hanya mereka saja yang bisa menyempatkan hadir, sedangkan yang tidak hadir, tidak bisa mendapatkan sosialisasi.

Sisi terakhir webinar menghadirkan narasumber ketiga Ran Wenas, dosen Pendidikan Anak Usia Dini dari Victoria University, Australia. Dalam paparannya, ia memperkenalkan pendekatan inklusif khas Australia yang mengusung konsep “whole image of the child”, yakni melihat anak sebagai pribadi anak yang utuh, bukan sekadar label seperti “Autis”.Menurutnya, pendidikan perlu beralih dari pelabelan menuju penghargaan terhadap keberagaman cara berpikir dan belajar. Wenas menekankan dukungan utama yang dibutuhkan orang tua dari guru.

Penting bagi pendidik untuk memiliki informasi yang akurat.  Ran Wenas  mengingatkan agar guru tidak sembarangan menyebutkan diagnosis kepada orang tua, seperti mengatakan “Anak ibu mungkin mengalami spektrum autis” tanpa pengalaman yang utuh, mengenai apa itu autis dan bagaimana dampaknya terhadap proses belajar anak. Ia menyampaikan strategi layanan Pemanfaatan Artifisial Intellegence – WhatsApp dan Gemini/Chat GPT, 2. Pengenalan assistance technology – two tech and high  tech, 3. Snow Ball training  untuk orangtua, guru dan terapis, agar terbentuk tanggung jawab dan keterlibatan., 4. Annual training dan supervisi pada kader posyandu dan puskesmas sebagai preventif dan intervensi dini., 5.Terapi dengan pendekatan penggunaan inventory/resources lingkungan sehingga terapi lebih fungsional dan efektif., 6.Endowment fund yang dikelola oleh pemerintah atau Lembaga terpercaya untuk jaminan keluarga ABK  dan 7.Penyediaan Handbook sebagai guide orangtua ABK. (Ast)

 

 

Add a comment