Publikasi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Film itu tontonan, tapi juga tuntunan. Dalam hal ini diartikan bahwa film adalah hiburan. Tapi juga dapat membawa pesan sebagai bahan informasi mengenai berbagai masalah dan melalui film dapat menyampaikan pesan yang bersifat mendidik untuk memperluas wawasan berpikir. Oleh karena itu diupayakan agar film yang penuh arti dan sarat pesan itu sampai ke sasaran yang dituju, yaitu masyarakat segala lapisan. Dengan kata lain, film diusahakan agar beredar di seluruh wilayah. Tetapi film sebagai hiburan hendaknya dibeli oleh penontonnya. (Mengenal Bioskop Keliling Lebih Jauh, DPP Persatuan Pertunjukan Film Keliling Indonesia (Perfiki), 1993).

Add a comment


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada 16 pemuda yang datang dari organisasi kemasyarakatan pemuda di antaranya yakni dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pemuda Katolik, Girl Up UNS, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Gusdurian, Pusat Kajian Perempuan Solo  (PUKAPS), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang mengikuti acara nonton bareng (nobar) dan diskusi film “Kartini” besutan Hanung Bramantyo dan diproduksi tahun 2017. Nobar dan diskusi diselenggarakan di Ruang Anawim Yayasan YAPHI, Rabu (30/4). Diskusi dipantik oleh Renny Talitha dari Yayasan  YAPHI.

Dalam sesi diskusi, Jasmine dari Girl Up UNS mengatakan bahwa Kartini menentang feodal dengan kerebelan. Berangkat dari rebel itulah, sebenarnya Kartini lebih ke sosok kiri tapi secara image, saat  Orde Baru diarahkan ke Ibuisme. Padahal secara image, Kartini inginkan perubahan.

Fatahillah dari  KNPI menyampaikan di Film “Kartini” terlihat  bukan hanya Kartini sosok perempuan yang memperjuangkan pendidikan tetapi itu juga dilakukan ayah, kakak,  suami, dan Kyai Soleh Darat. “Konteks Hari ini Kartini bisa dipahami bisa dipahami tentang perayaan yang identik dengan domestifikasi perempuan,”ujarnya.

Nola, dari PMKRI menyoroti upaya dari kakak Kartini yakni Kartono  yang memberi kunci yang memberi kesempatan sehingga sebagai pejuang dan pantang menyerah. “Saya menyadari apakah sebagai perempuan bisa bersekolah yang dimulai dari mengenalkan huruf sampai membacanya. Dari situ saya menyadari denga kehadiran Kartini mampu mengubah perempuan dan di  sini laki-laki sama. Meski akhinya dia tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi,”ucap Nola.

 

Harapan-Harapan

Anastasia dari GMKI menyampaikan bahwa  perempuan mampu dan bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Dan sebagai perempuan patut bersyukur karena  tahu setara. Baik perempuan atau laki laki bisa mengerti apa kesetaraan gender. Perempuan punya hak belajar dan tidak dibanding-bandingkan.

Ahmad Makruf dari  Permahi berpendapat bicara pendirian dan hak perempuan sudah clear saat ini tetapi yang masih  dihadapi sekarang adalah tradisi atau kebiasaan tentang perjodohan  atau budaya aturan weton (hitung angka kelahiran dalam budaya Jawa). “Tetapi kita menonton film ini menyelesaikan masalah tanpa membikin masalah. Bahwa di Jawa masih kental dengan aturan itu. Yang dihindari weton. Tanpa mengurangi rasa hormat orang tua dan tetap membangun pembangunan di Indonesia dan masyarakat miskin. Ini kalau kita melihat dalam persepsi budaya.”

Siti Mutmainah dari PUKAPS berharap  ke depan sesama perempuan harus saling mendukung. Sebab di film ada yang  tidak mendukung. Ia juga berharap laki laki menghargai perempuan dan saling mendukung. “Masih banyak kita temui laki -laki memandang sebelah mata.”

Ida dari IPPNU berpendapat Kartini itu menggunakan privilise dengan sangat baik dan membawa perubahan yang lebih baik. Harapannya, untuk perempuan saat ini masih ada orang terdekat dan masyarakat bilang 'kenapa perempuan sekolah tinggi-tinggi" padahal saat ini sudah tidak ada kendala. Tapi stigma masih ada di masyarakat. Artinya kesetaraan gender ada tapi di masyarakat sepertinya.dikondisikan pemimpin itu sebaiknya laki laki.

Renny  menanggapinya dengan mengatakan bahwa konstruksi budaya patriarki masih tinggi. Dan mengubah budaya sangat susah. Untuk itu bisa dimulai dari sendiri. Jika bisa memberi pengaruh untuk mengubah budaya maka harus mengubah sendiri.

Laurensia  dari Pemuda Katolik mengharapkan ke depan, setelah melihat film Kartini terutama para perempuan bisa lebih tangguh lagi dalam memperjuangkan cita-citanya. “Sekarang masih ada stigma laki- laki harus yang memimpin,”katanya.   

Sura Aji dari Gusdurian  menutup sesi diskusi dengan menyoroti permaisuri Bupati Jepara yang menunjukkan salah satu contoh perjuangan kelas. “Ada banyak peristiwa, sama-sama perempuan yang menghambat perjuangan. Hak-hak diperjuangkan ya karena feodalisme. Maka harapannya adalah kita sama-sama orang kalah, maka harus bersatu,”pungkas Sura.  (ast)

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Brigjen.Pol.Purn DR. Achmadi, S.H, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hadir dan menyerahkan secara langsung bantuan psikososial kepada 6 orang korban HAM Berat 65 di Kantor Yayasan Yaphi, Jumat (25/4). Dalam  sambutannya ia  menyatakan dalam bentuk jumlah bantuan psikososial ini masih jauh dari harapan. Namun ia berjanji  para korban akan diprioritaskan karena telah  berkomitmen dan tidak pernah ragu.

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Momen hari lahir  Kartini yang setiap tahun diperingati, seringkali dirayakan dengan gegap-gempita bersamaan perlombaan fashion show perempuan berkebaya atau pakaian tradisional lainya. Namun tidak kali ini dengan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera). Komasipera adalah komunitas yang terdiri dari masyarakat sipil pemerhati isu perempuan di Kota Surakarta.

Add a comment