Diseminasi Hasil Kajian tentang Ratifikasi Konvensi ILO 189 oleh Komnas HAM
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 2264
Komnas HAM menggelar diseminasi hasil kajian tentang Ratifikasi Konvensi ILO 189 terkait pekerjaan yang layak bagi Pekerja Rumah Tangga, Rabu (21/9). Kajian dilakukan oleh tim Komas HAM dan serikat pengajar HAM sesuai dengan mandat Komnas HAM terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam hal ini kaitannya penting tidaknya ratifikasi Konvensi ILO 189. Menurut Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, menyatakan bahwa ratifikasi ini sebagai rujukan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang saat ini ada di Komisi IX DPR RI. Instrumen undang-undang yang melengkapi karena ada mekanisme internasional. “PRT marjinal sejak puluhan tahun hingga berabad. Banyak hak mereka diabaikan, sehingga ketika ada ratifikasi akan lebih humanis,”ungkap Sandrayati Moniaga.
DR. Joeni Kurniawan, salah seorang tim peneliti dalam paparan tentang Kajian Ratifikasi ILO 189 “Pekerjaan yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga” menyatakan bahwa penelitian ini lebih dari 40 halaman. Menurutnya, ada poin-poin penting saat ini ada RUU PPRT. Rumusan masalah yang dikaji antara lain problematika yang dihadapi PRT, pengaturan konvensi ILO 189, pengaturan perlindungan PRT di Indonesia dan Permenaker 2/2015 serta RUU PPRT.
Apakah Konferensi ILO 189 perlu diratifikasi Indonesia? Pekerja Rumah Tangga adalah pekerja. Sedangkan definisi pekerja : “Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan lainnya “ (vide pasal 1 angka 3 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Adapun relasi/hubungan kerja antara PRT dan Pemberi Kerja: Pemberi Kerja membutuhkan tenaga kerja dan PR, dan PRT membutuhkan upah atas pekerjaannya, sama persis seperti relasi kerja pada umumnya. Sehingga secara normatif, PRT seharusnya termasuk subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan setara status serta hak dan kewajibannya dengan pekerja pada umumnya.
Problematika yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga : PRT cenderung dianggap sebagai “pekerja rendahan” oleh karenanya dianggap tidak setara (berada di bawah) dengan pekerja pada umumnya. Beberapa latar belakang yang berpengaruh pada kecenderungan di atas yakni kecenderungan PRT yang berlatar pendidikan dan keahlian yang rendah , PRT cenderung memiliki bargaining position yang rendah di hadapan Pemberi Kerja, nature pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan domestik -informal dalam lingkungan privat, membuat pekerjaan rumah tangga dan PRT cenderung terisolasi dari pihak luar, pekerjaan rumah tangga cenderung dianggap bukan pekerjaan sesungguhnya,faktor budaya masyarakat Indonesia yang sebagian masih bercorak patriarki dan feodal/hirarkis.
Ada Urgensi Mendesak untuk Ratifikasi Konvensi ILO 189 (KILO 189)
Poin-poin perlindungan PRT yang diatur dalam KILO 189 antara lan : hak-hak dasar PRT, jam kerja dan waktu istirahat, pengupahan, keamanan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, usia minimum, opsi tinggal di rumah Pemberi Kerja, standar mengenai mengenai PRT migran, standar agen swasa penyalur pekerja rumah tangga dan, mekanisme penyelesaian sengketa.
KILO 189 vis a vis Permenaker 2/2015 vis a vis RUU PPRT, beberapa poin penting yang perlu dicatat terkait Pengupahan (1).Pada KILO 189 , pasal 11: Jika di suatu negara terdapat pengaturan tentang upah minimum, maka upah PRT harus sesuai dengan ketentuan upah minimum tersebut. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 oleh RUU PPRT. Hanya diatur bahwa upah PRT didasarkan pada kesepakatan (vide: Pasal 7 Permenaker 2/2015 dan Pasal 11 RUU PPRT).
Terkait waktu kerja, pada KILO 189, Pasal 10 angka 1 dan 2: PRT memiliki waktu kerja yang tidak berbeda dengan waktu kerja pekerja pada umumnya, dan harus memiliki hak istirahat minimal 1x24 jam dalam satu minggu.
Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT hanya diatur bahwa PRT berhak atas waktu kerja yang manusiawi dan Pemberi Kerja wajib memberikan waktu istirahat kepada PRT, tanpa informasi yang lebih rinci.
Terkait HAK atas Kebebasan, pada KILO 189, Pasal 9 huruf a dan b: PRT berhak untuk menentukan apakah akan tinggal di rumah si Pemberi Kerja (live-in) atau tidak, dan berhak untuk tidak berada di tempat kerja/rumah si Pemberi Kerja di saat waktu istirahat. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT.
Terkait batasan usia minimum, pada KILO 189, Pasal 4 angka 1: Usia minimum PRT tidak boleh lebih rendah dari usia minimum pekerja pada umumnya yang diatur oleh aturan hukum di negara yang bersangkutan. Pada Permenaker 2/2015, Pasal 4 huruf b: Usia minimum PRT adalah 18 tahun. Tidak ada pengaturan sebagaimana demikian di RUU PPRT.
Joeni Kurniawan kemudian memberikan kesimpulan pada penelitannya bahwa pengaturan dalam peraturan nasional tentang perlindungan PRT,baik itu Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT, cenderung masih di bawah standar minimal yang ditetapkan dalam KILO 189. Beberapa hak fundamental dari PRT seperti upah minimum dan sistem pengupahan, batasan waktu kerja, hak atas kebebasan dan batasan minimum bagi PRT justru masih belum diatur dalam peraturan nasional yang ada (Permenaker dan/atau RUU PPRT).
Ada urgensi yang cukup mendesak untuk meratifikasi KILO 189. Ratifikasi KILO 189 ini tidak untuk menggantikan peraturan nasional yang ada, tetapi untuk melengkapi peraturan -peraturan tersebut. Fungsi KILO 189 adalah sebagai meta norma yang akan menjadi acuan standar minimal bagi pengaturan di tingkat nasional. Sehingga, pengaturan di tingkat nasional melalui peraturan perundang-undangan tersendiri masih diperlukan. Contoh atas praktik ratifikasi KILO 189 dan sekaligus pengaturan dalam perundang-undangan di level nasional telah dilakukan oleh Philipina (melalui Domestic Worker Act/DWA, yang disahkan Januari 2013 setelah Philipina meratifikasi KILO 189 pada September 2012).
Beberapa rekomendasi digulirkan antara lain : Meratifikasi KILO 189 yang bertujuan sebagai meta norma kerangka acuan dan standar minimal terkait hak-hak PRT, mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KILO 189: dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya khususnya kepada PRT serta kelompok advokasi hak-hak PRT dan umumnya kepada masyarakat luas terkait penyusunan kebijakan perlindungan hak-hak PRT.
Tanggapan dari Kemenlu dan Kemenaker dan NGO
Syahda Guruh dari Kemenlu menanggapi bahwa instrumen hukum internasional yang akan diraifikasi dalam hal ini KILO 189 adalah upaya kontributif yang baik dalam menyampaikan rekomendasi untuk memperluas perlindungan pada PRT. Dalam konteks global upaya SDGs ada pada tema Gold ke8, tema yang sudah diadopsi oleh ratifikasi. Terkait instrumen hukum internasional, pihaknya melihat bahwa konferensi ILO adalah bagian instrumen hukum internasional mendorong penanganan reformasi hukum inernasional. Kalau dilihat dari konvensi tersebut misal di pasal awal, konvensi ini dilihat lebih bersifat values. Artikel dua konvensi ini memerintahkan negara membuat kategorisasi, mana kategori yang dieksplor dari konvensi ini. Dalam studi 4 juta PRT, 600 ribu di antaranya yang live-in dan apakah studi ini juga menulis terkait dampak? Mana yang lebih impacfull? Mana yang paling di-addresss? Lalu bagaimana isu peran dari agensi/penyalur? Yang bekerja di rumah ini ada yang dari agensi atau tidak? Apakah ada eksklusion mana yang dari agensi mana yang tidak. Mana yang lebih impactfull untuk proteksinya.
Syahda Guruh kemudian menyatakan dalam rangka memajukan ini, K/L terkait perlu posisi yang sama untuk pengajuan masuk ke pemerintah. Untuk melengkapi studi ini, juga perlu ke ranah sosiologi dan ekonomi.
Dari Kemenaker memberi tanggapan kurangnya kajian PRT yang direkrut dari agensi terkait Permenaker 2/2015. Pihak Kemenaker melihat dari agensi/lembaganya karena kesulitan jika perlindungan dari mulut ke mulut. Harapannya dengan proteksi kepada agensi,perlindungan kepada pekerja akan mudah jika terjadi kekerasan, feodalisme, dan pekerja di bawah usia.Menurutnya pemerintah sudah konsen dalam pembahasan (tahap awal) RUU PPRT.
Lita Anggraini, dari JALA PR memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa Konvensi ILO 189 didasarkan empat pilar hak dasar. Menurutnya konvensi ini konvensi yang longgar. Ada 35 negara yang sudah meratifikasi dan di Asia baru satu yakni Philipina. Hal yang memprihatinkan, jumlah PRT Indonesia nomor dua setelah China, nomor tiga adalah India. Konvensi ini harus jadi kerangka acuan untuk undang-undang baik PRT dalam dan luar negeri . Perjanjian MoU RI dengan negara lain harusnya juga mengacu kepada konvensi ILO 189 ini. Waktu kerja adalah 40 jam/seminggu. Di Philipina, ada tunjangan karena diikutkan jamsosek. Libur tidak hanya mingguan tapi tahunan. Akomodasi dipertegas dan K3 harus diatur. Kebebasan juga harus diatur,termasuk kebebasan berserikat, mekanisme sengketa juga harus diatur dalam Undang-Undang. Soal pengawasan, di Philipina melalui kelurahan soalnya ada pendataan via kelurahan. Kalau di Afrika Selatan mereka datangi rumah-rumah, juga di Amerika latin ada inveksi terkait pajak. Di Philipina budaya politiknya lebih egaliter,mereka pemberi kerja adalah kelas menengah dan menengah atas. Juga di Afrika,mereka sudah punya undang-undang sebelum konvensi. Afrika selatan sudah sejak tahun 1997, juga di Amerika Latin. Ada yang memenuhi konvensi ada, yang 80% dari konvensi. “Di Indonesia semua mempekerjakan PRT. PRT di Indonesia masih berbasis kepemilikan dan bias itu ada di DPR, juga di pemerintah. Itulah inkonsistensi di Indonesia. RUU PPRT baru membahas PRT dalam negeri. 50% hak-hak PRT sudah dicakup namun yang belum diatur salah satunya hak berserikat. Yang jadi persoalan,resistensi terhadap masalah ini lebih besar dari konvensinya sendiri.” ungkap Lita Anggraini. (Ast)
Add a comment
Refleksi UU TPKS di Sekolah Pemikiran Perempuan
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1077
Sekolah Pemikiran Perempuan seri ketiga sudah berlangsung di 22-24 Juli 2022. Salah satunya serialnya adalah Etalase Pemikiran Perempuan, Panggung Refleksi UU TPKS yang menghadirkan Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, seperti yang termuat dalam Youtube Sekolah Pemikiran Perempuan.
RUU TPKS menempuh perjalanan panjang sejak diusulkan secara formal pada 2012. Para pejuang HAM dan gerakan perempuan telah melakukan beragam cara dalam mengadvokasi pengesahan RUU ini. Salah satunya melalui budaya. Melalui panel etalase pemikiran perempuan, para peserta tidak hanya diajak merayakan pencapaian tetapi juga merefleksikan kerja-kerja yang telah dilakukan, terutama bagaimana merawat semangat, kekuatan, kerja sama, dan tindak lanjut pasca disahkannya UU TPKS pada 13 April 2022 lalu.
Andy menyelesaikan pendidikan di Fisipol UI dan magister program media and communication dari Goldsmiths University or London, Inggris. Salah satu ketertarikannya adalah mendokumentasikan cerita mengenai perempuan Indonesia, permasalahan dan perjuangannya bertahan. Ia juga merupakan salah satu pengelola Sekolah Pemikiran Perempuan sekaligus Etalase Pemikiran Perempuan.
Andy Yentriyani menyatakan harapan dan memberikan apresiasi kepada sahabat peretas yang menjadi mitra penyelenggaraan, juga alumni Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) dan semua pendukung. Menurutnya UU TPKS ini banyak sekali terobosan berarti dalam upaya memutus kekerasan seksual. Di dalam undang-undang ini banyak ditemui pengakuan TPKS yang semula tidak dikenali atau diatur secara parsial dalam sistem pidana kita seperti pelecehan seksual, fisik dan non fisik.Pemaksaan sterilisasi, kontrasepsi dan pemaksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual,kekerasan seksual berbasis elektronik, juga ada terobosan hukum acara pidana yang kerap jadi penghalang untuk akses keadilan bagi korban, serta kewajiban pemenuhan hak korban yang diatur dalam undang-undang ini.
Sebagai salah satu inisiator UU TPKS, Andy di Komnas Perempuan menyimak bahwa undang-undang ini secara intrinsik memuat seluruh reformasi dan semangat gerakan perempuan di mana gerakan perempuan setidaknya ada lima penandanya yaitu : Pertama : UU TPKS merespon salah satu rekomendasi utama dan pertama salah satu dari Tragedi Mei 98 yakni untuk merombak hukum pidana tentang kekerasan seksual. Kedua ; Rumusan UU TPKS merujuk pada paradigma pemenuhan HAM sebagai mandat konstitusi di mana tanggung jawab pemenuhan ada pada negara terutama pemerintah. Ketiga : rumusan yang berangkat dari pembelajaran pengalaman perempuan korban kekerasan termasuk menerapkan konsep sistem peradilan terpadu penanganan terhadap perempuan yang terus dikembangkan sejak 1998. Keempat proses perumusan ini berangkat dari bawah atau bottom-up. (Ast)
Add a comment
Dialog Interaktif Pro 1 RRI Surakarta Bersama Yayasan YAPHI dan UPT PTPAS : Angka Kekerasan Meninggi
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1361
Data tentang kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di kota Surakarta pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini dikemukakan oleh Siti Dariyatini, Kepala UPT Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) pada dialog interaktif Pro 1 RRI Surakarta, Jumat (26/8). Pada acara dialog yang bertema tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut menghadirkan pula Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI.
Data kekerasan yang ditangani oleh UPT PTPAS disampaikan oleh Siti Dariyatini pada 3 tahun terakhir yakni pada 2020 ada 54 kasus, tahun 2021 sebanyak 79 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 53 kasus menimpa anak, serta data terbaru tahun 2022 (hingga Agustus) adalah 72 kasus. Data itu terkumpul salah satunya berasal dari satgas atau Pos Pelayanan Terpadu (PPT) yang ada di kelurahan-kelurahan.
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelaku KDRT biasanya orang dekat atau keluarga. Angka tertinggi kedua adalah kekerasan berbasis online. Kekerasan yang dilakukan berawal dari online lebih mengarah pada kekerasan seksual.
Data kekerasan terhadap perempuan dan anak juga bisa dibaca pada aplikasi SIMFONI yang dimiliki oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Namun menurut Siti Dariyatini, beberapa waktu terakhir, aplikasi sedang ada masalah.
Haryati Panca Putri mengutip data SIMFONI hingga Agustus di tahun 2022 di Surakarta hanya ada 17 kasus, yang jelas dipertanyakan validasinya sebab aplikasi saat ini sedang bermasalah. Di kabupaten Boyolali 28 kasus, Kabupaten Sukoharjo 44 kasus , dan Kabupaten Wonogiri sebanyak 21 kasus. Angka kekerasan secara nasional ada 14.000. Sedangkan data statistik Jateng 1.300 kasus. Haryati menyatakan bahwa meningkatnya kasus kekerasan ini sangat luar biasa.
Yayasan YAPHI sendiri pada tahun 2021 menangani 3 kasus, dan kasus KDRT yang berakhir dengan perceraian sebanyak 13 kasus, dan kekerasan seksual pada anak 1 kasus. Dan pada tahun 2022 hingga Agustus ini menangani kasus 3 anak. JIka di Surakarta saat ini ada 36 lembaga, jika dikumpulkan, seperti fenomena gunung es. Dalam.pendampingan kasus yang pertama dilakukan adalah investigasi, pemetaan kebutuhan, berupa apa saja yang dibutuhkan korban. Juga akses hak korban berupa pembelaan, pendampingan psikologi, kesehatan, pendidikan, dan reintegrasi. Reintegrasi pada korban adalah bagaimana korban kembali dan dihargai.
Menjawab pertanyaan Arfin Muhammad, Host pada dialog interakif terkait pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempan dan anak, Haryati mengatakan bahwa mayorias adalah karena alasan: ekonomi, budaya, sosial, keterbukaan informasi, dan hambatan komunikasi. Menariknya, fenomena kekerasan terhadap perempuan ini juga saat ini banyak dijumpai pada kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP).
Untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Yayasan YAPHI selama ini melakukan satu proses penguatan pada korban supaya peristiwa tidak terulang. Keberanian dari korban untuk berbicara dan menghubungi pengada layanan atau lembaga pendampingan hukum menjadi poin tersendiri karena hal itu artinya ada peningkatan kesadaran.
Saat ini sering djumpai masih adanya aparat penegak hukum dan masyarakat awam yang malah menyalahkan korban. Untuk itu Yayasan YAPHI melakukan pendidikan kepada masyarakat dalam upaya pencegahan di beberapa kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakara. YAPHI juga lakukan sosialisasi bagaimana anak harus terlindungi dengan melakukan kerja sama dengan dinas pendidikan. Hal ini untuk mengantisipasi angka perkawinan anak dengan dispensasi yang juga cukup tinggi di Kota Surakarta. (Ast)
Penyandang Disabilitas Psikososial Masih Terdiskriminasi
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1258
Siaran Pers STH Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat
Pengakuan kapasitas hukum penyandang disabilitas piskososial atau seseorang dengan gangguan jiwa kerap terabaikan. Hal itu menghasilkan stigma negatif sampai tindakan diskriminatif, sebut saja tindakan perundungan, pemasungan, sampai kehilangan harta benda karena proses pengampuan yang mengambil alih pengambilan keputusan atas diri penyandang disabilitas psikososial kepada orang lain tanpa persetujuan. Praktik-praktik itu harus dihilangkan dengan memperkuat jaminan hukum, khususnya dalam pelindungan hak kesamaan di hadapan hukum, serta membangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa memberikan dukungan penuh kepada penyandang disabilitas psikososial untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri atas dirinya sendiri.
Dalam diskusi yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikososial adalah bagian dari warga negara yang memiliki hak yang sama. Dalam hal itu, negara memiliki tugas untuk memastikan pelindungan penghormatan, dan pemenuhannya. Fajri juga menekankan bahwa UUD 1945 sudah menjamin kesamaan kesempatan dan hak di hadapan hukum bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas psikososial, termasuk hak dalam pelindungan harta benda pribadi untuk tidak diambil alih oleh orang lain. Namun begitu, masih ada berbagai peraturan perundang-undangan yang memandang penyandang disabilitas psikososial secara diskriminatif, misalnya ketentuan mengenai syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi calon angota DPD, DPR, dan DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; dan ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memungkinkan pemberi kerja memberhentikan pegawainya dengan alasan disabilitas.
Dalam perspektif hak asasi manusia, Asfinawati menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikosial merupakan subyek hukum, sehingga penyandang disabilitas psikososial tidak boleh didiskriminasi sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi oleh hukum, dan tidak boleh didiskriminasi di depan pengadilan atau badan-badan lain. Hak persamaan di hadapan hukum merupakan sifat dasar, sehingga tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apapun. Asfin menutup dengan memaparkan kewajiban negara dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia, secara prinsip dasar negara tidak boleh melakukan pembedaan apapun berdasarkan alasan apapun, disamping itu negara juga harus menjamin pemenuhan hak dalam sebuah legislasi dan berbagai kebijakan, dan negara harus bisa menjamin pelaksanaan putusan atau keputusan atas pemulihan hak asasi manusia.
Yeni Rosdianti kemudian menegaskan bahwa Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) telah menjamin bahwa negara-negara pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan. secara historis diungkapkan bahwa penyandang disabilitas telah ditolak haknya atas kapasitas hukum di banyak bidang dengan cara yang diskriminatif, termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni menegaskan bahwa praktik-praktik ini harus dihapuskan untuk memastikan bahwa kapasitas hukum harus diberikan kembali kepada penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Yeni menyampaikan bahwa negara harus memberikan akses terhadap dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum penyandang disabilitas psikososial, dukungan tersebut dapat berbentuk formal maupun informal dengan menghargai perbedaan. Dukungan ini juga harus tersedia bagi semua penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni memberikan catatan bahwa dukungan yang akan diberikan tidak dikaitkan dengan penilaian kapasitas mental sebab akan mengakibatkan penyandang disabilitas dinilai tidak memiliki kepasitas hukum.
Dalam diskusi ini Ati Maulin menyatakan bahwa penyadang disabilitas psikososial termasuk ke dalam disabilitas yang tidak kasat mata yang bisa pulih dan tetap memiliki kapasitas berpikir yang baik serta bisa melakukan aktivitas seperti biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ati Maulin mengungkapkan berbagai permasalahan yang masih menimpa kepada penyandang disabilitas psikosial diantaranya stigma terhadap penyadang disabilitas psikososial masih dipukul rata, penyandang disabilitas psikosial dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja, penyandang disabilitas psikososial dianggap tidak mampu mengelola keuangan, dan adanya masalah pemantian berdasarkan keputusan keluarga bukan kondisi orang yang dipantikan. Ati Maulin menutup paparan dengan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus seharusnya pengambil keputusan harus mendukung dan mengupayakan agar penyandang disabilitas psikososial bisa mengambil keputusannya sendiri.
Dari diskusi itu diharapkan dapat terinformasikan dengan baik bagaimana masyarakat perlu bertindak dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas psikososial. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah juga perlu memastikan apa yang sudah baik sebagai jaminan dalam UUD 1945 dijadikan jiwa dan prinsip dalam menghasilkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, praktik pemasungan, pengurungan di panti, sampai pengambilan alihan harta benda secara sepihak tidak terjadi lagi terhadap para penyandang disabilitas psikososial seperti layaknya warga negara dan manusia lainnya.
Narahubung:
- Fajri Nursyamsi (STHI Jentera) 0818100917
- Richard F. Kennedy (PJS) 085790509333
Add a commentDifasilitasi TAD Surakarta, PT KAI Meminta Maaf atas Penolakan Calon Penumpang KRL
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 1084
Aldi Hakim, Manajer Sektor DAOP Wilayah Yogyakarta-Surakarta PT KAI Commuter menyatakan permintaan maaf atas perlakuan petugas PT KAI kepada salah seorang penumpang yang terjadi pada 25 Juli. Di hadapan perwakilan komunitas difabel dan wartawan, pertemuan yang diadakan di Gedung Sekretariat Bersama Jl Damar Surakarta, Selasa (2/8) Aldi juga menyatakan bahwa pihaknya telah bertemu secara langsung dan meminta maaf secara khusus kepada Ilham, difabel warga Yogyakarta, calon penumpang KRL yang ditolak dan termuat dalam video yang viral di masyarakat. Pertemuan berlangsung pada hari Senin (1/8) dan difasilitasi oleh Triyono, pendiri Difa Bike.
Aldi berharap bahwa setelah bertemu dengan Ilham pada Senin (1/8) dan perwakilan komunitas difabel yang difasilitasi oleh Tim Advokasi Difabel (TAD) Kota Surakarta, pihaknya jadi lebih peduli dan akan meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat difabel. Ia mengakui bahwa kesalahan terletak kepada kurangnya pemahaman petugas KRL tentang kebutuhan difabel terkait dengan alat bantu yang digunakannya. Petugas tersebut tidak paham jika Ilham memiliki alat bantu berupa kursi roda modifikasi roda tiga dengan mengoptimalkan gerakan kaki sebab kedua tangannya tidak bisa mengayuh karena kondisi cerebral palsy, sehingga ketika ada tawaran untuk berganti alat bantu kursi roda yang disediakan oleh PT KAI, Ilham menolak.
Aldi menambahkan bahwa pihaknya meminta saran dan masukan terkait pengetahuan beberapa macam bentuk kursi roda dan apakah ada standar acuan dan jenisnya seperti apa, panduannya seperti apa. Dan jika ada pedomannya pihaknya butuh sehingga petugas yakin dan akan dijadikan bahan edukasi kepada petugas KRL. Termasuk mengetahui berbagai macam ragam disabilitas.
Pertemuan yang juga dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi difabel di Surakarta juga memberikan berbagai catatan masukan seperti bahwa masih dibutuhkan beberapa sarana aksesibilitas bagi Tuli seperti penanda berupa LED atau teks berjalan setiap kereta turun di stasiun. Sebab penanda yang sudah ada hanya suara (voice) yang tentu tidak akses bagi Tuli. Sedangkan untuk mereka menghafalkan satu per satu bentuk gedung stasiun yang dilewati selama perjalanan, ada yang mampu menghafal dan ada yang tidak. Masukan juga datang dari perwakilan difabel mental psikososial yang mengharapkan para petugas PT KAI memiliki kepedulian terhadap difabel mental psikososial yang secara visibilitas, mereka tidak terlihat/tampak kedisabilitasannya. kepedulian itu untuk mengantisipasi apabila mereka mengalami anxietas/kecemasan atau relaps/kekambuhan saat naik kereta.
Sri Sudarti, Ketua Pengurus Harian (PH) TAD sebagai fasilitator pertemuan menyatakan bahwa dengan duduk bersama antara komunitas difabel dengan PT KAI kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi. “Saya tekankan dan tegaskan PT KAI wajib punya SOP dalam melayani difabel berkursi roda termasuk modifikasi. PT KAI tidak boleh menolak difabel dengan alat bantu yang melekat pada tubuhnya. Untuk teman difabel kita wajib tahu mencari tahu naik KRL SOP-nya seperti apa termasuk kursi roda memungkinkan tidak untuk naik kereta api,” pungkasnya. Ia juga berharap ke depan ke depan para petugas perlu diberi pelatihan sensitivitas disabilitas. (Ast)
Add a comment
- Gerakan Masyarakat Sipil yang Kuat Bisa Untuk Mengontrol Kebijakan Pemerintah
- JLPAK2S Gelar Workshop Membangun Perspektif Penanganan dan Pemberian Layanan Korban Kekerasan
- Banyak PR Membangun Kesadaran dan Kepekaan dalam Disabillitas Berhadapan dengan Hukum
- Pentingnya Dibentuk KPAD di Setiap Desa untuk Pemenuhan Hak Anak