Optimalisasi strategi dan kebijakan pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap Perempuan dan anak, penting dilakukan, oleh karena itu DP3AP2KB memberikan edukasi terkait Psikoedukasi Peran Organisasi Wanita dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak dan diselenggarakan di Gedung Sekretariat Bersama lantai 4, Surakarta Kamis (10/7).
Dalam pertemuan ini, hadir 50 Lembaga dan organisasi wanita yang menjadi jejaring dari DP2P3AKB. Dalam sambutannya, Dyah Saraswati, S.STP, M.A.P selaku Sekretaris DP3AP2KB mengungkapkan bahwa pertemuan kali ini lebih kepada menguatkan lembaga dan organisasi wanita, yang merupakan informan yang handal dan lebih efektif untuk memberikan sosialisasi baik kepada keluarga maupun kelompok PKK. Harapan bahwa fenomena kasus kekerasan yang seperti gunung es bisa teratasi dengan adanya pertemuan.
DP2P3AKB dalam Komitmen untuk Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Siti Dariyatini, S.Sos., M.M., Kabid Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak (PHA & PKA) DP3AP2KB Surakarta memaparkan terkait kebijakan-kebijakan yang sudah ada di Indonesia, dimana salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan mandat dari presiden terdahulu, yakni Joko Widodo yang memerlukan untuk penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Siti pun mengajak bahwa perlindungan Perempuan dan anak merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Kebijakan-kebijakan perlindungan Perempuan dan anak pun sudah ada di Surakarta seperti Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pelindungan Anak, Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perlindungan Perempuan, dsb. Siti juga menjelaskan bahwa DP3AP3AKB juga menginisiasi serta menguatkan jejaring untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan melakukan kesepakatan bersama/MoU antara pemerintah kota Surakarta dengan 28 lembaga, termasuk Yayasan YAPHI yang masuk didalamnya. Siti juga menjelaskan mengenai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang sudah terbentuk sejak 2017, dimana UPTD PPA berkomitmen untuk memberikan pelayanan dan pendampingan terhadap Perempuan korban kekerasan yang juga berjejaring dengan Lembaga pemberi layanan. UPTD PPA pun bisa menerima aduan dan laporan yang mencakup korbannya adalah warga Surakarta atau tempat kejadiannya ada di Surakarta dan merupakan peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak, secara gratis.
SPEKHAM dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Korban Kekerasan
Fitri Haryani dari SPEKHAM memaparkan terkait definisi dari kekerasan, jenis kekerasan, dampak dari kekerasan seperti apa hingga menjelaskan UU TPKS lahir untuk menjawab terkait kasus kekerasan yang berkembang dan semakin banyak.. Kekerasan seksual juga masih sangat tinggi dan kebanyakan meninggalnya korban kekerasan, dimana korban kebanyakan adalah perempuan.
Hal ini bisa diungkapkan sebagai salah satu pemicu femisida terjadi, Dimana menurut data tempo, pemicu terbesar dari femisida adalah emosi, kekerasan seksual, hingga ekonomi. Fitri juga memaparkan mengenai data korban kekerasan di jawa Tengah per-2024 ada 1.019 kasus dan yang ditangani oleh SPEKHAM adalah kasus.bahkan angka dispensasi kawin di Surakarta di pertengahan tahun 2025 sudah mencapai 41 ajuan. Fitri juga menekankan terkait karakterisitik umum kekerasan adalah pelaku memiliki niat menyakiti korban, adanya ketimpangan kekuasaan, memberikan kerugian kepada korban, kekerasan dilakukan berulang/sistemik, hingga kejadiannya dilakukan secara tersembunyi maupun terbuka. SPEKHAM pun dalam pengalamannya menangani kasus kekerasan, Dimana korban mendapat kekerasan lebih dari satu bentuk kekerasan, sehingga diperlukan pendampingan bagi korban baik proses hukum maupun psikologinya hingga melindungi korban. Kerja-kerja SPEKHAM tidak hanya pendampingan korban saja, namun juga pencegahan seperti membentuk layanan, melakukan edukasi, hingga melahirkan paralegal. “Kerja-kerja penanganan dan pencegahan kekerasan bukanlah menjadi superhero semata, namun tidak bisa penanganan dan pencegahan kekerasan untuk bekerja sendirian sehingga perlu melakukan Kerjasama yang kolaboratif guna menciptakan keadilan” ucap Fitri.
Peran UPTD PPA dalam Perlindungan Korban Kekerasan
Tika selaku konselor psikologis UPTD PPA mengajak untuk melihat bagaimana kasus yang sudah ditangani oleh UPT TPAS sejak tahun 2017, dimana di tahun 2017 sudah menerima 33 kasus kekerasan terhadap Wanita dan 54 kasus kekerasan terhadap anak. Penanganan kasus yang sudah diterima oleh UPTD PPA hingga Juni 2025 sebesar 65 kasus (25 kasus kekerasan terhadap anak dan 40 kasus kekerasan terhadap Perempuan). UPTD sendiri menerima aduan kasus baik dari korban, masyarakat, maupun dari tenakes, yang nantinya aduan dan informasi akan di jejaringkan kepada Lembaga jaringan maupun polri untuk memenuhi hak-hak korban. Tidak hanya memaparkan data dan bagaimana UPTD PPA bekerja, namun juga terkait hak-hak yang harus diterima oleh korban adalah dengan hak memperoleh perlindungan, hak memperoleh layanan kesehatan, hak kerahasiaan identitas, hak memperoleh pendampingan, hak memperoleh fasilitas rumah aman (dengan batas waktu 14 hari), dan hak memperoleh bantuan hukum.
Sakroni selaku perwakilan dari Satgas PPK UNS menanggapi dalam sesi tanya jawab, bahwa satgas PPKS UNS berubah menjadi PPK saja karena satgas tidak hanya menyasar kekerasan seksual saja namun kepada kekerasan lainnya juga. Edukasi-edukasi seperti ini diperlukan tidak hanya kepada universitas juga namun menyasar juga kepada lingkungan SMP dan SMA, dimana remaja pontensial sekali dalam melakukan kekerasan. Perlu adanya kolaboratif antar elemen untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan.
Adi dari Yayasan YAPHI ikut menanggapi dalam sesi tanya jawab, bahwa sangat pengapresiasi UPTD PPA, namun UPTD PPA ini bergerak tidak mulai tahun 2017, namun embrio sudah ada di tahun 2002 dengan nama PTPAS dan Solo merupakan kota pertama yang memiliki gerakan tersebut. Ada cerita baik yang dilakukan kelurahan Tipes dengan Yayasan YAPHI, dimana ada elaborasi dalam membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap Perempuan dan anak, sehingga mengharapkan bahwa edukasi hingga tercapainya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini bisa dilakukan di tingkatan masyarakat. “perlu adanya kolaborasi dan koordinasi bersama bagi 28 lembaga yang sudah melakukan MoU maupun jejaring, dengan harapan untuk menjadikan Solo kota yang lebih nyaman tanpa ada kekerasan” ucap Adi. (Renny Talitha Chandra)