Publikasi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Lutfiana dari Mubadalah.id,masih dalam siaran terkait KUHP di YouTube @Berita KBR, menyatakan bahwa di medianya menggunakan istilah kontributor dan di Undang-undang Pers istilah kontributor juga masih menimbulkan polemik karena kontributor tidak memiliki kontrak dan tidak memperoleh pembelaan saat menghadapi masalah. Mereka  menjadi kontributor karena keinginan mereka yang ingin menyampaikan inspirasi  melalui media.

Terkait  kaidah jurnalistik, menurut Lutfiana di Mubadalah ada perbedaan sedikit terutama di hak-haknya. Salah satu yang dilakukan Mubadalah untuk melindungi para kontributornya yakni dengan melakukan proses review yang panjang. Selama di Mubadalah dari tahun 2020 belum ada yang sampai dituntut lewat hukum. Tetapi banyak hatespeech dan yang diserang adalah website Mubadalah. Mubadalah pernah di-takedown beberapa kali dan input sebagai kontributor hampir seluruhnya diambil alih Mubadalah. “Kami sebagai kontributor dilindungi dengan tidak menyebutkan nama meskipun tulisan kami ada dan kami sering pakai nama samaran tapi ada yang sampai nemu instagramnya dan itu terus dibuntuti dan malah kontributor yang kena hatespeech,”ujar Lutfiana.

Lalu bagaimana cara masyarakat tetap bisa berekspresi tanpa melanggar KUHP yang baru? Ade Wahyudin dari LBH Pers menjawab betul bahwa saat ini ada aturan yang sangat membatasi kebebasan berekspresi tetapi kita juga memiliki aturan umum bahwa menyampaikan fakta bukanlah sebuah tindakan pidana. Artinya kita harus serius dan yakin bahwa yang kita sebarkan adalah fakta. Fakta yang kemudian bukan dengar dari kawan tetapi fakta yang kita yakini sebagai kebenaran. Kalau yang kita sebarkan adalah kebenaran, mau pasal apa pun itu harusnya tidak bisa menjerat secara hukum. “Artinya PR-nya adalah bagaimana kita bersama-sama mendorong literasi media dan informasi dengan benar agar masyarakat tidak menyebar informasi yang tidak pasti dan bukan informasi-informasi bohong. Itu hal yang paling sederhana kita lakukan,’terang Ade.

Pertanyaan mencuat lagi apakah hanya jurnalistik yang dibatasi dan media sosial tidak dibatasi? Menurut Ade karena internet cukup banyak menimbulkan kebaruan sehingga ada media dan media sosial yang secara konteks berbeda. Kalau media, dia pasti dilindungi UU Pers. Kalau media sosial ruang lingkupnya misalnya internet yang ternyata di dalamnya ada media, ini serupa dengan media offline. Kalau offline kita bisa apa pun bisa berekspresi, berniaga, sehingga kalau dalam hukum internasional secara narasi manusia, hak yang paling dilindungi secara offline juga dilindungi secara online. Tidak ada pembedaan itu semestinya. Meskipun praktiknya karena anonimitas di internet itu sangat memungkinkan sehingga ungkapan-ungkapan atau ujaran kebencian itu sangat terlihat jelas di dunia maya dibanding offline. 

Jadi mengapa DPR menganggap sanksi dipidana untuk tindak pidana di online lebih berat? Menurut Ade karena keduanya tidak dibedakan dan karena sama-sama hak yang harus dilindungi.

Di atas disebut jurnalisme warga dan pers kampus merupakan titik lemah KUHP, lalu bagaimana cara mereka bisa melindungi? Apa semua harus lewat sensor? Menurut Towik soal kerentanan justru di teman-teman di luar pers yang punya badan hukum seperti jurnalisme warga, komunitas dan jurnalisme alternatif. Menurutnya justru yang rentan berkaitan dengan agama, kelakarnya kan begini kalau misal kelompok mayoritas mengkritik agama minoritas itu dianggap kebenaran dan itu harus didukung dan akan disupport oleh pandangan mainstream. Tetapi bagaimana jika yang menyampaikan adalah dari kalangan minoritas maka kelakarnya kalau yang mayoritas menyampaikan kebenaran yang minoritas terkait dengan kritis keagamaan maka akan dianggap sebagai memusuhi atau membenci. Itu   kalau menggunakan pasal KUHP karena menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan yang dominan keagamaan.

Untuk itu, ungkap Towik, tidak ada cara lain ketika kita menyampaikan informasi kritis terkait isu-isu keagamaan maka sumbernya harus valid dan kredibel jadi tidak menggunakan asumsi-asumsi. Dari sana kita bisa menyampaikan ketika ada kriminalisasi bahwa itu ada dasarnya. Tentu ini tidak bisa lepas dari KUHP. Diskusinya adalah jika di pasal 263 terutama yang menyiarkan, menyebarluaskan, pemberitahuan atau hal-hal berkaitan dengan kritik, itu bisa dianggap sebagai kebohongan. Atau di pasal 264 sebagai informasi yang tidak lengkap, yang tidak pasti atau berlebih-lebihan. Pasal ini yang memang bukan buat teman-teman jurnalis atau media, tapi media alternatif, jurnalisme warga, termasuk Persma menjadi sangat rentan.

Sebenarnya ada upaya dari Dewan Pers sebelum KUHP disahkan dengan membangun komunikasi dengan Kemendikbudristekdikti, bagaimana melindungi persma/jurnalis kampus dengan kebebasan pemberitaannya agar kementerian pendidikan yang harus menjamin karena kampus di bawah Kemendikbudristekdikti sementara Dewan Pers tidak bisa masuk ke dalam lebih jauh ke dalam lingkungan kampus.

 

Jurnalis Harus Jalankan Kode Etik

Dari sisi agama, cara-cara yang bisa dilakukan supaya dapat menghindar pasal multitafsir tetapi pesannya tetap sampai dijelaskan oleh Lutfiana, salah satunya adalah swasensor, dengan menimbang apakah tulisan yang dikirim  di dalamnya itu referensinya kredibel apa tidak karena kritik dengan hatespeech tipis jaraknya. Misalnya menulis tentang cara beragama, itu bukan kritik. Misalnya menulis ke kelompok agama tertentu menanggapi kelompok agama tertentu. Yang mau dikritisi adalah kelompok agama itu dalam mengkritisi cara beragama  seseorang. Yang membedakan itu kritik atau hatespeech itu sebenarnya narasi kontributor. Karena pembaca akan menafsirkan yang lain maka swasensor itu akan lebih ketat lagi. Apalagi kalau akan menyampaikan isu-isu yang di luar dipahami oleh masyarakat umum.

Cara kedua adalah penggunaan referensi harus benar dan bisa dirujuk pembaca. Seperti dulu Mubadalah pernah dikritik karena menulis tentang puasanya orang yang menstruasi. Sebenarnya intinya ajakan untuk mengajak perempuan menstruasi berpuasa tetapi dalam konten itu Mubadalah id menulis oh ada lho ulama yang punya pendapat seperti ini dengan dasar seperti ini. Waktu itu hujatannya luar biasa kepada Mubadalah. Mungkin pemakaian bahasa lebih shoft lagi karena bidang kajian jadi jangan sampai kajian bisa menimbulkan polemik. ‘Kita dalam kajian supaya mudah dibaca dan dipahami. Ini bendanya tulisan ilmiah dan populer,” jelas Lutfiana.

Lain dengan ada yang memberikan tips, menahan jari kalau memang belum terklarifikasi. Sepanjang bisa mengontrol jari maka pasal di atas terhindarkan tetapi jangan menjadi ketakutan untuk membuat kritik, yakni ketakutan menyebarkan kebenaran. Meskipun tubuh kita dikepung oleh pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi, bagi seorang jurnalis, media atau publik, skriningnya adalah dari kita masing masing.

Bagi jurnalis tentu kode etik jurnalistik itu hal yang tidak bisa ditawar . Mengapa? Karena saat karya dipermasalahkan, pembelaan secara hukum tidak terlalu sulit ketika karyanya bermasalah. Begitu pun dengan masyarakat umum/luas. Sepanjang yang disebarkan itu adalah informasi benar dan tetap dikriminalisasi tentu pembelaan secara hukumnya itu tidak sesulit ketika yang disebarkan adalah informasi bohong. Artinya kedua-duanya memiliki kriminalisasi tetapi secara pembelaan akan lebih menguntungkan bagi yang memang taat kode etik dan bisa menyebarkan informasi yang benar. 

Lewat Towik dijelaskan bahwa Sejuk beserta kawan AJI dan lewat Dewan Pers dan seluruh konstituen Dewan Pers seperi PWI, SMSI dll, sudah ada panduan. Panduan meliput isu keberagaman dari penggunaan diksi , judul dan penggunaan gambar, foto dan sebagainya termasuk di online ada ketentuan meliput isu keberagaman karena Dewan Pers mensahkannya. Ini akan menjadi semacam panduan buat kawan media, jurnalis yang menganggap agama isu sensitif. Poinnya adalah sama-sama optimis dan jangan diliputi ketakutan dan kecemasan karena kalau misal prinsip dijalankan dengan benar,sudah ada ketentuan yang dijalankan. Kedua, penting untuk melakukan konsolidasi di masyarakat sipil terutama kelompok minoritas yang mengalami persoalan kriminalisasi semakin mempererat perlindungan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sekarang jaringannya adalah LBH Pers semakin baik. Terakhir, terutama jurnalis di daerah yang akses kekuasaan atau untuk mendapatkan kebebasan persnya jauh ini juga harus mulai diinformasikan mekanisme-mekanismenya, agar kekhawatiran dan kecemasan tidak berlebihan. 

Terkait kontributor Mubadalah yang tidak punya surat kontrak dan tidak mendapat perlindungan mungkin tidak memiliki pembelaan ketika menghadapi masalah.Tim AJI mulai melihat bahwa jumlah kontributor sangat banyak jadi bagaimana kontributor memiliki haknya sebagai jurnalis . Kedua meskipun banyak tantangan yang akan dihadapi ke depan tetapi sebagai kontributor yang menulis isu keagamaan tidak ada alasan untuk mundur. Publik masih butuh para kontributor keagamaan dan jangan membuat  berhenti berkarya.(Ast)

Add a comment


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Selama kurang lebih setahun lalu, Inspirasi Foundation sudah mengimplemenasikan sebuah program yang disebut sekolah responsif gender untuk mencegah anak putus sekolah. Sebagai gambaran, ada 3.328 anak berusia sekolah (7-18 tahun) di 5 desa di 5 kecamaan Kabupaten Pemalang berpotensi putus sekolah. Demikian dikatakan Aloysius Bram, Project Officer Inspirasi Foundation dalam sesi webinar bertema tiga dosa besar dalam pendidikan, Rabu (18/1).

Pendekatan yang digunakan oleh Inspirasi Foundation pada pengarusutamaan gender dan inklusi sosial di sekolah dalam program yang diimplementasikan berbeda karena tidak langsung menyasar pada tindakan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual,intoleransi dan perundungan. Mereka masuk ke dalam wacana anak berisiko putus sekolah. Tahun lalu Inspirasi bekerja sama dengan Unicef yang selama ini melakukan pendekatan advokasi dengan banyak pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia untuk melakukan pendataan anak tidak sekolah dan anak berisiko putus sekolah.

Selama ini sudah banyak yang dilakukan untuk menangani anak-anak tidak sekolah namun  untuk anak berisiko putus sekolah yang statusnya masih sekolah tetapi ada risio-risiko tertentu bagi mereka mengalami putus sekolah. Anak-anak berisiko ini yang mungkin selama ini belum diketemukan formulasi pendekatannya seperti apa untuk memastikan mereka dapat melakukan atau melaksanakan pendidikannya.

Dalam konteks program, Inspirasi menemukan empat faktor atau isu utama anak berisiko putus sekolah yakni persepsi orangtua tentang pendidikan, perundungan (menjadi salah satu dari tiga dosa besar pendidikan), akses kepada fasilitas pendukung dan literasi kesehatan reproduksi dan seksualias.

Lalu bagaimana korelasi antara isu kesetaraan gender dan inklusi sosial? Isu perundungan yang dalam konteks lingkungan pendidikan seringkali dianggap sebagai hal yang wajar. Hal tersebut dianggap sebagai kenakalan anak-anak dalam konteks pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Padahal perundungan ini bukan hanya perundungan. Kalau melihat lagi kasus perundungan terutama pada sisi mindset anak-anak di sekolah, ada banyak faktor lainnya. Salah satunya terkait dengan maskulinitas toxic atau nilai-nilai maskulinitas yang negatif. Bahwa kerap sekali terutama terjadi pada siswa laki-laki untuk menunjukkan kelaki-lakiannya. Bisa dengan cara diperlihatkan sisi superioritasnya terhadap yang lain.

Sisi superioritas ini yang di kalangan laki-laki termanisfestasi dalam bentuk perundungan padahal nilai-nilai superioritas atau unggul itu tidak selalu harus dalam bentuk kekerasan dan ada hal-hal lain.  Tetapi pandangan ini menjadi lumrah dan dinormalisasi sehingga termanifestasi dalam wujud perundungan. Selain itu perundungan dalam lingkungan pendidikan anak-anak sekolah adalah bentuk penolakan lingkungan terhadap seseorang yang ida bersikap atau berperilaku sebagaimana stereotip gender yang dianggap normal. Jadi kalau di sekolah ada perempuan yang tidak berperilaku feminin atau laki-laki yang tidak  berperilaku maskulin dianggap tidak sesuai dengan nilai dan kemudian bentuk kekerasannya adalah perundungan. Perundungan itu pada skala tertentu ada kaitannnya dengan stereotip gender yang akhirnya termanifestasi.

Terkait akses dan kesempatan pada pendidikan biasanya terkendala oleh mindset orangtua yang menginginkan anaknya tidak bersekolah atau langsung bekerja. Begitu juga pada anak perempuan yang segera dinikahkan.

Literasi kesehatan reproduksi pada anak pendidikan dasar dan menengah terkait dengan reproduksi dan seksualitas mengemuka dan menjadi penting bagi perempuan di usia anak usia kelas 4 SD dan 1 SMP yang mengalami menstruasi. Sangat penting sebenarnya karena saat menyadari perkembangan tubuhnya misalnya saat mengalami menstruasi, mereka tidak sadar dengan perubahan fisik dan psikis. Kurangnya literasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual karena itu dianggap normal.

Dari bulan Juli hingga Desember 2022 yang lalu, Inspirasi Foundation bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang mengimplementasikan program sekolah responsif gender untuk mencegah anak berisiko putus sekolah. Tujuan program ini mewujudkan sekolah yang peka terhadap ketimpangan dan masalah responsif gender pada murid. Mitra sekolah responsif gender untuk cegah anak putus sekolah ada di 21 SD, 6 SMP dan 3 PKBM di 5 kecamatan. Salah satu cerita perubahannya adalah bisa mengidenifikasi masalah yang komprehensif terkait anak berisiko putus sekolah dan adanya kesadaran sekolah untuk lebih terhubung dengan orangtua/wali murid. (Astuti)

 

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Tandu Ramba, motivator pembangunan masyarakat wilayah Sulawesi dalam zoom meeting yang diselenggarakan oleh Seknas Jaringan Kerja Lembaga Kristen Indonesia (JKLPK) Jumat (20/1) menyatakan mengapa tema perubahan iklim menjadi penting, sebab ada amanat dari Allah untuk memelihara ciptaan-Nya. Selain itu karena strategi pembangunan nasional adalah pembangunan rendah emisi dan  semua sektor terdampat oleh perubahan iklim maka ia juga memaparkan terkait adaptasi perubahan iklim termasuk dalam pendanaan yakni Dana Desa dan tersedianya berbagai pendanaan dari pemerintah maupun NGO internasional.

Dampak perubahan iklim di Toraja daerah yang menjadi fokus penelitian adalah curah hujan meningkat, curah hujan ektrem, peningkatan suhu, kelembaban meningkat, menurunnya kesuburan dan kesehatan tanah, berisiko longsor dan banjir, musim tanam yang tidak pasti, serangan hama dan penyakit  serta gagal panen.

Bencana iklim dan perubahan iklim terjadi  menurut Tandu Ramba sebab  

-Tidak dibangunnya kemampuan mengatasi bencana dan mengelola risiko iklim akan berpotensi meningkatkan kerentanan

-Tingginya tingkat kerusakan infrastruktur dan fasilitas pelayanan sosial -kesehatan, pendidikan, sanitasi, dll

- Semakin menurunnya kualitas lingkungan (akses air bersih semain sulit, menurunnya kualitas sumberdaya lahan dan air)

- Menurunnya penghasilan masyarakat aibat gangguan iklim erhadap sumber pendapatannya.

Menurut penelitian yang dilakukan pada masyarakat Toraja terkait persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim adalah Prosentase responden paling tinggi pada perubahan/pergeseran musim, berikutnya perubahan suhu udara, berikutnya presentase semakin menurun yakni air bersih semaKin sulit, perubahan curah hujan peningkatan frekuensi bencana dan cuaca ekstrem sering terjadi.

Di Tanah Toraja  curah hujan kumulatif 1-3 hari berturut-turut cenderung meningkat. Proyeksi perubahan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem : di masa depan, kejadian hujan ekstrem akan semakin terjadi.

 

Potensi Dampak Perubahan Iklim ke Depan

Potensi dampak perubahan iklim ke depan yakni berubahnya peluang maju mundurnya Awal Musim Hujan (AMH)  yang akan memberikan tantangan tersendiri khususnya dalam pengelolaan sistem pertanian dimana penentuan waktu dan pola tanam sangat berkaitan erat dengan datangnya awal musim hujan.

Meningkatnya peluang curah hujan ekstrem di masa yang akan datang juga akan berpengaruh terhadap kemungkinan meningkatnya bencana terkait iklim sehingga akan memberkan tantangan terhadap sistem pengelolaan sektor dalam pengelolaan bencana  (pengembangan infrastruktur, tata ruang wilayah, pengembangan, sistem pertanian, perkebunan dan lain-lain).  

Berbagai upaya  telah dilakukan oleh masyarakat Toraja berupa bentuk kesiapan petani menghadapi perubahan iklim  dengan melakukan diversifikasi tanaman, menyesuaikan waktu penanaman, alternatif pekerjaan, dan menanam pohon.

Terkait gender dan perubahan iklim, rupanya perempuan dan laki-laki terdampak secara berbeda. Hal ini bisa dilihat dari peran perempuan dan laki-laki, kemampuan untuk mengatasi dampak iklim, fokus utama, akses ke sumber daya alam dan kontrol pada aset.

Hal ini dibenarkan oleh Trisna Harahap, moderator diskusi bahwa perempuanlah yang kemudian memiliki beban ganda untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di saat iklim tidak bersahabat. Perempuan yang akhirnya bertahan dan memiliki kekuatan untuk terus mengolah tanah pertanian mereka dan melakukan aksi-aksi pertahanan di tengah gejolak perubahan alam.

Sedangkan Haris CH. A.Oematan dari Yayasan CIS Timor di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan paparan tentang situasi iklim sebagian wilayah di daratan Timor adalah bergunung-gunung dan berbukit. Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi.  Sedangkan kondisi iklimnya musim hujan sangat pendek yaitu 3-5 bulan (Desember-Maret) sedangkan musim kemarau 7-8 bulan. Suhu saat ini sering dikisaran 35,4-42 derajat celcius. Kondisi iklim ini tentunya mempengaruhi pola bercocok tanam dan bertani masyarakat dimana sebagian merupakan tanah sawah kering dan 97% atau sekitar merupakan tanah kering dalam pekarangan. Serta hampir setiap tahun mengalami kemarau yang panjang.

Lalu perubahan iklim apa yang terjadi?  Adanya kerusakan lingkungan yang berakibat pendapatan berkurang dan berkurangnya debit air, lalu terjadinya badai Siklon menyebabkan gagal panen dan kegagalan panen mengaibatkan kerusakan lingkungan.

Bagaimana CIS Timor menyiasati perubahan iklim tersebut? Dengan melakukan adaptasi dengan sistem pengairan dan lingkungan yakni pembuatan sumur injeksi, tanam air, pembuatan embung mini dan menanam pohon dan pohon bakau. Sedangkan dalam sistem produksi makanan untuk perekonomian di antaranya melakukan budidaya ubi ungu, budidaya rumput laut dan pertanian pekarangan. (Astuti)

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Patrya Pratama,  Direktur Eksekutif  Inspirasi Foundation membuka webinar bertajuk menebus tiga dosa besar pendidikan dengan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan menyatakan bahwa selama ini terkait tema tersebut dianggap penting namun sering terlewatkan. Dengan dukungan beberapa pihak termasuk media Magdelene dan The Conversation Indonesia, webinar yang diselenggarakan pada Rabu (18/1) oleh Inspirasi Foundation memiliki beberapa temuan selama bekerja sama dengan kepada sekolah dan madrasah.

Inspirasi Foundation telah melakukan PULS Survey Report atau mengukur denyut nadi kepala sekolah pada tahun 2022 dengan jaringan internasional. Para respondennya mayoritas adalah kepala sekolah SD, jenis mayoritas SD atau sekolah negeri dan sebagian kecil swasta dan ada beberapa dari yayasan, dengan proporsi antara di urban/perkotaan dan pedesaan berimbang. Secara  internasional survey ini dilakukan di hampir semua negara berkembang.

Temuan-temuannya adalah tentang kondisi mental health dan wellbeing dan apa yang ada di pikiran  kepala sekolah. Bisa disimpulkan bahwa temuan itu adalah  tantangan yang berhubungan dengan kesehatan mental para warga sekolahnya yang artinya semua berada dalam tekanan. Dalam masa pandemi pekerjaan mengakibatkan lebih stress atau lebih menantang sebab angkanya menembus hampir 80%. Dan salah satu tantangannya adalah yang menjadi tema bahasan webinar : intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual.

Firda Iriani, moderaor webinar mengutip pernyataan menteri pendidikan bahwa saat ini Indonesia sedang dalam menghadapi tiga dosa pendidikan yakni intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual. Ia melihat bagaimana pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Sekolah sepatutnya sebagai tempat aman untuk mencari ilmu dan berprestasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pendekaan yang menyeluruh yang perlu melampaui pendekatan pedagogik dan mengutamakan nilai gender serta inklusi sosial.

Narasumber webinar Prof. Alimatul Qibtiyah, komisioner pada Komnas Perempuan menyatakan bahwa pihaknya pernah bekerja sama dengan Kemendibudristek terkait inklusi sosial. Bagaimana dan upaya-upaya yang perlu mendapat perhatian terkait penghapusan tiga dosa besar itu. Sebab hal itu tidak bisa didiamkan dan siapapun terutama dunia pendidikan harus memiliki kepedulian. Ia menyitir sebuah kalimat, “keburukan akan tumbuh subur bukan arena banyaknya orang buruk tapi banyaknya orang baik yang mendiamkannya.”

Terkait tiga dosa besar,  pihaknya sudah membuat kawasan bebas kekerasan yang terbit tahun 2022 dan standar setting ini  akan disosialisaikan. Komnas Perempuan mencatat bahwa  intolerasi terus berulang di bidang pendidikan dan PNS terus berlangsung di antaranya pemaksaan seragam dan pemaksaan mayoritas penafsiran cara berpakaian baik untuk siswi dan pegawai. HRW (2021) menemukan banyak sekolah negeri di 24 provinsi mayoritas muslim mewajibkan muridnya memakai jilbab.

 

Data  Tiga Dosa Pendidikan (Kekerasan seksual, Intoleransi, dan Perundungan)

Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai 338.496 kasus yang terdokumentasi, meningkat 50% dari tahun sebelumnya, termasuk kekerasan di dalam lembaga pendidikan.

Kekerasan ada yang berbentuk kekerasan seksual dan juga perilaku intoleransi pada siswa  perempuan yang terkait dengan pemaksaan cara berpakaian dengan didasarkan pada pemahaman mayoritas . Komnas Perempuan mencatat kebijakan dan perilaku intoleransi terus berulang dan banyak dialami oleh siswa maupun PNS di berbagai daerah sepanjang 2014 hingga 2022, ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan terhadap penggunaan busana dari ajaran agama tertentu oleh pihak sekolah (Komnas Perempuan).

Human Right Watch (2021) menemukan bahwa banyak sekolah negeri di 24 provinsi yang mayoritas muslim mewajibkan siswanya menggunakan jilbab walaupun tidak ada aturan tertulisnya. Salah satu dampak dari tren berhijab ini terjadi pengurangan nilai agama karena siswi tidak menggunakan hijab, dipanggil untuk diberikan konseling, bahkan dimintai mengundurkan dir.

Dari sini Komnas Perempuan lalu melihat urgensi bahwa  pendidikan dipercaya sebagai proses dan strategi yang sistematis untuk menghidupkan nilai-nilai anti kekerasan (menghapus perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual) dan menginformasikan Hak Asasi Manusia  Berperspektif Gender (HAMBG). Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kapasitas kepemimpinan perempuan di satuan pendidikan dan menguatkan kapasitas pimpinan satuan pendidikan  dalam mengintegrasikan nilai-nilai HAMBG dalam sisem pendidikan.

HAMBG sendiri secara teoritis HAM telah mencakup hak asasi perempuan, akan tetapi dalam praktiknya, pemenuhan hak asasi manusia tidak  berada dalam ruangan yang kosong melainkan berada dalam sistem sosial budaya dan politik yang patriarkal, dimana masih terjadi ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki “netralitas gender” dalam pemenuhan hak asasi manusia telah melahirkan ketidakadilan baru terhadap perempuan, sekalipun perempuan memiliki HAM sebagaimana laki-laki, akan tetapi pelibatan, partisipasi  dan akses perempuan untuk mendapatkannya masih dibatasi.

Prinsip HAMBG adalah  memenuhi hak dasar bagi setiap individu, menghapus diskriminasi, mendorong kesetaraan, mewujudkan inklusi sosial, menghargai keragaman identitas, memberi kesempatan dan akses kepada setiap individu, menolak pemaksaan penafsiran mayoritas, mengakui hak khusus perempuan karena fungsi reproduksinya.

Dasar Hukum HAMBG adalah  : Tahun 1978  telah ditetapkannya konvensi CEDAW atau onvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrminasi Terhadap Perempuan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW pada 24 Juli 1984 melalui  Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komnas  Perempuan , 2014), Permendikbudristek nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar  dan Pendidikan Menengah. Salah satu upaya menghapus diskriminasi terkait dengan seragam (Menolak Penafsiran Mayoritas), Permendibudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan  Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dan Permenag (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Sistematika Standar Setting Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam Sistem Pendidikan adalah Urgensi, informasi metodologis, dan petunjuk penggunaan pedoman, Prinsip-prinsip HAMBG, HAMBG dalam profil pendidikan, Strategi implementasi HAMBG dalam sistem pendidikan dan Standar dan instrumen integrasi HAMBG dalam sistem pendidikan.

Narasumber kedua webinar Abdullah Mukti, anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah  menyatakan bahwa kesetaraan gender tidak hanya berbicara tentang perempuan tetapi lebih luas. Ia tidak setuju penamaan/terminologi tiga dosa besar pendidikan sebab pendidikan di Indonesia tidak ada di ruang kosong. Sejak Indonesia merdeka, pendidikan sudah hadir,terutama pendidikan berbasis masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), di umat kristiani dan Taman Siswa. Bangsa  Indonesia adalah bangsa multibudaya, multietnik, multibahasa dan  multietnis.  Sehingga Abdullah  condong pendidikan harus berbasis edukasi dengan bahasa-bahasa yang digunakan. Dalam konteks nasional ada di UUD 1945, pasal 31.

Terkait konsep relasi gender dalam pandangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terus berkembang sebagaimana termaktub dalam kitab Adabur Mar’ah Fil Islam (2010), Isu-isu Perempuan dan Anak Perpesktif Tarjih Muhammadiyah (2012), dan Tuntunan  Menuju Keluarga Sakinah (2016), Risalah Perempuan Berkemajuan (2022). (Astuti)

Add a comment

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi angin segar dalam perjuangan pemenuhan hak korban kekerasan seksual yang selama ini cenderung terabaikan. Namun saat ini masih banyak kalangan yang belum memahami secara utuh substansi yang terkandung didalamnya, termasuk para Aparat Penegak Hukum (APH) dan para pendamping korban, terlebih masyarakat awam.  Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap implementasinya, baik dari perspektif maupun teknis pelaksanaannya.

Add a comment