“Diri yang Aman adalah Pondasi. Jadi mulai dari Diriku Aman.”
“Diri yang Aman adalah Diri yang Intuitif, maka kita bisa merasakan intuisi. Dan sebenarnya anak-anak itu peka. Intuisi itu perlu kita dengarkan. Kapan ada ketidaknyamanan. Kapan ada bahaya -bahaya. Maka akan ada diri yang asertif dan proaktif.”
Demikian kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Romo Vincentius Ernest Justin, SJ. (Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Tim Safeguarding Serikat Jesus Indonesia) pada Diskusi Kajian Kritis bertema “Membangun Budaya Aman Wujudkan Ruang Tanpa Kekerasan” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan Anak Surakarta (Komasipera), yakni komunitas yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan individu pemerhati isu anak dan perempuan bekerja sama dengan Yayasan YAPHI. Diskusi yang diselenggarakan pada Kamis (31/7) dihadiri oleh 30 orang anggota Komasipera dan berlangsung di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI.
Sebelum sampai pada kalimat-kalimat seperti dikutip di atas, Romo Ernest mencoba menginternalisasi hal-hal penting untuk hidup orang-orang dan hidup para peserta secara pribadi, karena kebanyakan peserta adalah juga pendamping kasus atau pendamping korban. Internalisasi tersebut tidak hanya berupa perkenalan dengan menyebut nama dan asal lembaga, namun juga bagaimana mengungkapan perasaan pagi itu. Tentunya banyak didapat jawaban, dari emosi sedih, kacau, ragu, dan perasaan senang yang menghampiri lebih dari separo peserta. Banyak dari peserta yang juga menyampaikan harapan menyebarkan kebaikan, yang berasal dari rumah, sampai lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dari sini, pembahasan lantas beralih dengan mendefiniskan kata ‘Aman” yang diartikan sendiri oleh para peserta : Terlindungi, bebas dari rasa takut, tenang, damai, bebas dari kekerasan, tanpa kekhawatiran, tanpa was-was, enjoy, terlindungi dari bahaya dari sesuatu yang menyakitkan misalnya terlindungi dari virus COVID-19. Dari situlah kemudian Romo Ernest mengajak kepada para peserta diskusi, untuk selalu memeriksa apakah diri ini selalu merasa aman. Apakah merasa damai tidak, dalam berelasi dengan orang lain. Dan juga saat ini ketika berelasi, kaitannya dengan anak muda : apakah toksik, entah dengan tekanan kost, atau teman kerja.
Lantas, pertanyaan berikutnya adalah, rasa aman yang bisa diusahakan terutama kepada anak-anak dan perempuan, apa yang bisa kita dilakukan? Agar orang-orang di sekitar terutama perempuan dan anak-anak, merasa aman. Berpuluh jawaban didapatkan dari para peserta seperti : memberikan pendampingan, menemani saat perempuan bepergian, memberikan kasih sayang, menjadi teman, berkata yang baik, menyampaikan sesuatu dengan baik, menghargai perbedaan, belajar mengenal lingkungan sekitar, menciptakan lingkungan aman, berusaha untuk sabar, ramah, saling menyapa, menjaga kesehatan fisik dan mental setelah apa yang sudah terjadi, melindungi dari kekerasan, memastikan diri menyiapkan risiko, berdoa supaya aman, menyapa, berkomunikasi baik, tidak menghakimi perempuan terutama tubuhnya, saling menghormati punya kepedulian dan tenggang rasa.
Romo Ernest kemudian menawarkan sesuatu yakni “Dimulai dari Diriku Sendiri”. Perlu digarisbawahi hal pertama yang perlu diperhatikan : Apakah saya aman? Ia kemudian merefleksikan dirinya yang juga seorang dosen dengan bercerita mendampingi mahasiswa yang datang dengan beragam sifat, ada yang rajin, kurang rajin sehingga kadang bersuara dengan nada tinggi. Lalu timbul pertanyaan: apakah diriku jadi pribadi aman bagi mahasiswa yang saya dampingi? Kemudian ia pun belajar komunikasi supaya membuat mereka aman dan nyaman. “Kita tidak beranjak jika tidak mulai dari diriku. Kita mencoba bercermin. Pas belum? Pakaian sudah rapi belum? Apakah aku sudah jadi pribadi yang aman. Maka yang perlu saya tekankan, adalah : Saya ini jadi pribadi yang aman tidak?” terang Romo Ernest.
Menurut Romo Ernest, ketika diri ini memastikan bahwa “saya aman,” maka bisa dilihat kapan emosi ketika tidak terkendali. “Maka Anda perlu mengatur itu, misalnya dengan bicara pada diri sendiri, "Tolong aku diterima apa adanya". Menurutnya, watak seseorang itu bisa dibentuk, maka bisa menjadi pribadi yang aman dari awalnya yang tidak aman.
Terkait rasa tidak aman, terkadang struktur masyarakat membuat situasi tidak aman. Kadang seseorang punya potensi berkembang tetapi karena tidak ada dukungan apalagi mengalami diskriminasi oleh negara, mereka lebih memilih meninggalkan negaranya. Jadi seharusnya rasa aman ini dijadikan life style. “Sejauh yang kita rasakan kalau kita merasa aman, kita akan memancarkan aura-aura. Kalau kita di dekat, merasa aman dengan senior. Memang ada senior yang sinis. Ada senior yang membuat saya betah,” ungkap Romo Ernest.
Ya, seperti yang diungkapkan oleh Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI saat pembukaan diskusi bahwa ruang aman harus dibangun bagi anak-anak dan perempuan. Kata "Aman" dibutuhkan untuk semua. Ruang "Aman" yang harus diwujudkan, maka harus selalu berproses. Tema “Membangun Budaya Aman” bukanlah sekadar omong kosong tapi panggilan yang menggelisahkan bagi semua. Lantas mengapa ada kata budaya? Sebab budaya adalah yang terbentuk dari hal kecil hingga besar. Kaitannya adalah pencegahan tindakan kekerasan fisik, verbal, emosional dan cyber yang akan berpengaruh pada potensi, baik di ruang privat maupun publik,” terang Putri. (Ast)