Publikasi

Hambatan Difabel dalam Mendapatkan Akses Layanan Bantuan Hukum

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Hambatan difabel dalam mendapatkan akses layanan bantuan hukum serta kaitannya dengan gerakan untuk memberikan bantuan hukum bagi komunitas difabel dan komunitas rentan disampaikan oleh Purwanti atau biasa dipanggil Ipung, pada diskusi Tematik ke-7 oleh SIGAB, pada Selasa (29/7) bertema Pemenuhan dan Perluasan Jangkauan Layanan Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum yang Inklusi Difabel Indonesia.

Menurut Purwanti, bantuan hukum untuk masyarakat miskin atau tidak mampu, difabel tidak masuk dalam kriteria sebab harus ada pembuktian Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Ia membantu difabel yang tidak paham dengan SKTM. Kalau difabel sebagai pelaku, ia yang sudah masuk bui dan setelah keluarga tahu ia  sebagai  pelaku, enggan menguruskan.

Kedua, Undang-Undang Bantuan Hukum fokus kepada pelaku. Padahal untuk korban butuh bantuan hukum juga. Memang ada kanal untuk konsultasi dan konseling terkait bantuan hukum tapi jauh berbeda anggaran ketika difabel menjadi pelaku.

Ketiga, anggaran dari pemerintah delapan juta per kasus. Apakah ini hanya untuk proses litigasi atau mencakup kebutuhan non litigasi, apa terkait juga dengan aksesibilitas dan Akomodasi Yang Layak (AYL) dalam mengakses bantuan hukum. Belum ada rincian/covered.

Keempat, keterjangkauan layanan difabel belum memiliki kemampuan mengakses. Seperti pada mereka dengan kondisi difabelnya, yakni yang tinggal di pelosok atau mereka yang belum menyadari bahwa dirinya korban.

Ketika pelayanan bantuan hukum di kelurahan belum ada mekanismenya seperti apa, atau layanan seperti apa, sehingga ada perdamaian di situ. Kasus perkosaan diperdamaikan, termasuk kasus penganiayaan dan pemasungan. Ketakterjangkauan ini semestinya tidak menghilangkan keadilan.

Kelima, Kementerian Hukum dalam hal ini posbakum yang difasilitasi memiliki standar terkait pemberian layanan hukum. Karena belum ada mekanisme atau standar atau klasifikasi persoalan yang diselesaikan dengan Restoratif Justice (RJ), misalnya.

Keenam, lembaga bantuan hukum belum memiliki kebijakan tentang bagaimana pendampingan maupun kesiapan metode layanan, sarana dan prasarana untuk memudahkan difabel mengakses layanan.

Ketujuh, difabel dianggap subjek hukum yang kurang cakap dan menghambat teman-teman yang mendampingi.

Kemudian mencuat pertanyaan, kalau sulit mencari SKTM bagaimana? Karena jika dia punya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI), memang susah. Dan ada peristiwa, antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda, bisa lebih sulit.

Harapannya, ke depan untuk menjaga kawan-kawan disabilitas dalam kategori tidak berdaya bisa mendapatkan akses layanan bantuan hukum, kemudian juga ada organisasi-organisasi disabilitas yang mendampingi.

Kedua, ada kebijakan yang mengatur tentang akses bantuan hukum walaupun di dalam kebijakan tersebut masih belum memasukkan kriteria disabilitas sebagai prasyarat untuk mendapatkan akses.

Ketiga, bahwa itu difabel diterima di semua lapisan masyarakat, di struktur dan di lembaga negara. Jadi sebenarnya difabel kalau bicara terkait dengan isunya, semestinya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Keempat, terkait anggaran. Ada komunitas disabilitas atau komunitas difabel yang aktif dan progresif. Ini bisa menjadi pendukung. Bisa menjadi sumber daya juga di dalam memberikan informasi, memberikan dukungan terhadap jaringan bahkan bisa memberikan input terkait dengan kebijakan dan yang lainnya termasuk difabel yang berhadapan dengan hukum.

Kelima, ada undang-undang terkait dengan bagaimana memberikan bantuan hukum, di antaranya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, Undang-undang tentang Peradilan Umum, Undang-undang Peradilan Agama, Undang-undang Tata Usaha Negara, Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-undang nomor 8 tahun 2016, Undang-undang 16 tahun 2011 yang disana memberikan akses layanan bantuan hukum walaupun memang secara spesifik belum menyebutkan disabilitas.

Keenam, juga dasar hukum terkait dengan bantuan hukum tidak disertai dengan keragaman kelompok rentan. Ini dari kebijakan-kebijakan yang ada tadi, memberikan layanan bantuan hukum tetapi memang belum ada prasyarat terkait dengan disabilitas sebagai masyarakat yang mendapatkan akses layanan bantuan hukum di dalam pemerintah.

Ketujuh, pemerintah daerah wajib menyediakan faktor pendukung pada penyandang disabilitas dalam setiap pemeriksaan dan pada setiap lembaga penegak hukum, hak keperdataan atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini sebenarnya jaminan terkait dengan bantuan hukum untuk disabilitas dan PP 39 tahun 2020 terkait dengan lembaga sosial pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa selain lembaga penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 2, lembaga lain yang terkait proses peradilan wajib menyediakan Akomodasi Yang Layak di penjelasan ayat 3 antara lain rumah tahanan negara, lembaga penempatan anak sementara, lembaga masyarakat, lembaga pembinaan khusus anak, Balai Pemasyarakatan, organisasi advokat dan lembaga penyelenggara Kesejahteraan Sosial.

Dalam pasal 13 ayat 1 organisasi advokat membuat, mengembangkan standar pemberian jasa hukum terhadap penyandang disabilitas. Selain membuat dan mengembangkan standar pemberian jasa hukum sebagaimana dimaksud ayat 1 advokat wajib memberikan bantuan hukum pada penyandang disabilitas dalam proses peradilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut diawasi oleh organisasi advokat.

Kemudian di pasal 14 lembaga penegak hukum sebagaimana dimaksud pasal 12 dan organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 mengikutsertakan organisasi penyandang disabilitas dan atau organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya ditujukan bagi penyandang disabilitas dalam pembuatan dan pengembangan standar pemeriksaan penyandang disabilitas ini sangat berhubungan dengan partisipasi bermakna bagi komunitas.

Terakhir, Purwanti menyampaikan beberapa rekomendasi, yakni :
1. Disabilitas menjadi kriteria prasyarat akses bantuan hukum bagi difabel yang berhadapan dengan hukum.

2. Sangat relevan ketika difabel sebagai kriteria untuk mendapatkan akses, kemudian kebijakan tentang layanan bantuan hukum bagi difabel yang berhadapan dengan hukum.

3. Partisipasi bermakna komunitas difabel dalam kebijakan layanan evaluasi dan akuntabilitas

Perluasan jangkauan layanan bantuan hukum, jangkauan siapa yang bisa mengakses, geografisnya, sumber daya. Ini akan sangat menarik sekali ketika sudah diawali dengan adanya masyarakat desa yang peduli dan memberikan layanan bantuan hukum menjadi jaringan kabupaten di tingkat provinsi.
5. Sinergitas dan segala kebutuhan di dalam jaringan itu.
6. Aksesibilitas dan akomodasi yang layak.
7. Mekanisme penganggaran. Dan ini juga berhubungan dengan isu perampingan anggaran, pemotongan anggaran dan bagaimana dengan akses untuk disabilitas di berbagai daerah. (Ast)