Data dan laporan dari lembaga seperti KPAI, Kementerian PPPA, hingga media massa menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data yang dimuat di laman Simfoni-PPA yang menunjukan kasus pada tahun 2023 sebanyak 29.883 kasus dan mengalami peningkatan menjadi 31.947 pada tahun 2024. Dari data tersebut, kekerasan seksual masih mendominasi disusul dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Di banyak catatan kasus, pelaku kekerasan justru adalah orang terdekat anak: orang tua, guru, teman sebaya, atau tetangga. Ironisnya, banyak kasus tidak terlapor karena korban takut, tidak tahu harus ke mana, atau tidak dipercaya saat bersuara. Tentu hal ini cukup memprihatinkan ditengah banyak pihak terus melakukan kampanye upaya pencegahan kekerasan berbasis gender.
Kasus kekerasan berbasis gender yang terus meningkat dari tahun ke tahun sudah seharusnya disadari sebagai alarm keras bagi semua pihak untuk kembali berefleksi, bahwa ruang aman belum sepenuhnya terwujud. Semua pihak baik keluarga, sekolah, masyakarat dan negara memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan ruang aman, khususnya bagi perempuan, anak dan disabilitas yang secara fakta dan data masih menjadi kelompok yang paling berisiko mengalami kekerasan.
Ruang aman dapat terwujud ketika budaya aman sudah terbangun. Setidaknya ada tiga aspek yang harus dipenuhi dalam mewujudkan ruang aman. Pertama, memastikan setiap orang menjadi orang yang aman artinya setiap orang bertanggungjawab untuk bersikap dan bertindak memberikan keamanan bagi siapa saja; kedua, memastikan setiap tempat menjadi tempat yang aman bagi siapa saja dan terbebas dari perundungan, diskriminasi dan kekerasan; ketiga, memastikan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan menjamin keselamatan fisik dan mental bagi siapapun yang terlibat. Membangun budaya aman harus dipahami secara utuh bukan hanya sekedar jargon.
Berlatar belakang hal tersebut, bertempat di Pendapa Kecamatan Laweyan, dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2025, Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) berkolaborasi dan Forum Orang Tua Anak Disabilitas (Fortunas) mengadakan kegiatan kampanye Hari Anak Nasional (HAN), Sabtu (26/7) mengambil tema “Membangun Budaya Aman, Wujudkan Ruang Tanpa Kekerasan”. Harapannya peringatan Hari Anak Nasional tidak berhenti pada kegiatan seremonial tetapi menjadi sebuah gerakan untuk mengajak semua pihak berefleksi dan menentukan langkah kolaborasi bersama untuk mewujudkan ruang tanpa kekerasan.
Nungki Anggorowati, wakil dari Kecamatan Laweyan dalam sambutannya mengatakan bahwa peringatan HAN bukan hanya kegiatan perayaan semata tapi mengingatkan komitmen terhadap hak anak. Ia memberi apresiasi kepada anak-anak difabel karena bersama pemerintah Kecamatan Laweyan telah berusaha terciptanya inklusif dengan mendukung anak-anak difabel berkegiatan. Menurutnya, melalui forum peringatan HAN, ia berharap ke depan lebih ada langkah nyata sistem pendukung yang baik dan sebagai pengingat bahwa anak adalah anugerah dan amanat, maka pihaknya berharap kecamatan Laweyan adalah perwujudan kecamatan ramah, anak Inklusi dan inspiratif.
Edukasi tentang Pemenuhan Hak Anak
Dalam acara yang dihadiri oleh 100 lebih orangtua dan anak difabel tersebut juga disampaikan edukasi terkait pemenuhan hak anak dengan paparan tentang hak anak dan bagaimana memberi perlindungan kepada anak difabel. Termasuk bagaimana ketika menghadapi perundungan. Selain pemaparan, edukasi juga menggunakan media video pendek bertema perlindungan anak. Pada sesi diskusi, ada beberapa pertanyaan mencuat terkait perundungan dan definisi anak difabel sesuai dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. (Dorkas Febria/Ast)