Publikasi

UU TPKS dan Proses Hukum yang Tersendat

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah beberapa tahun disahkan, namun masih sangat jauh harapan dari implementasinya.  Terkait perkembangan aturan hukum turunan dari UU TPKS, ada beberapa kebijakan baru yakni :

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di tetapkan dan diundangkan tanggal 2 Juli 2024 (Pemrakarasa Kemen PPA)

Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (pasal 35 ayat (4) ditetapkan dan diundangkan tanggal 18 Juni 2025.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasam Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemilihan Korban TPKS (pasal 46 ayat 2), Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 80 ditetapkan dan diundangkan tanggal 25 Juni 2025.

Sedangkan Empat Peraturan Presiden :

Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan TPKS (Pasal 81 ayat (4) ditetapkan dan diundangkan tanggal 23 Januari 2024.

Perpres Nomor 55 Tahun 2024 tentang unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak/Kemen PPA (pasal 78) ditetapkan dan diundangkan tanggal 22 April 2024.

Perpres nomor 98 tahun 2024, tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu dalam penanganan, pelindungan, dan pemulihan TPKS oleh Pemerintah Pusat (simplifikasi pasal 70 ayat 4 dan pasal 75) ditetapkan dan diundangkan tanggal 10 September 2024.

Rancangan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS (pasal 84 ayat 2) (Perkembangannya, Rperpres ini selesai Penilaian Angka Kredit (PAK), selesai harmonisasi, Rperpres dikembalikan ke Kemen PPA, berdasarkan klarifikasi dari Sekretariat Negara, dan hasil rakor terbatas tanggal 23 Mei 2025 (Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Sekretaris Negara/setneg, Kementerian Hukum/Kemenkum, dan Kemen PPPA). Rancangan Perpres perlu ada perubahan urgensi/konsepsi yang diselaraskan dengan Asta Cita dan RPJMN 2025-2029 serta penyelesaian Rancangan Perpres dilanjut melalui mekanisme izin prakarsa.

Namun begitu keberadaan UU TPKS butuh waktu yang lama untuk diinternalisasi. Apalagi anggaran khusus ada di kepolisan dan untuk biaya sosialisasi. Demikian dikatakan oleh Eva Sundari, staf khusus wakil MPR RI dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 23/7. Diskusi menghadirkan narasumber Kombes Pol. Dr. Rita Wulandari Wibowo (Kasubdit 1 Dittipid PPA dan PPK Polri) dan Irjen Pol.(Purn.) Desy Andriani (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak).

Terkait edukasi dan sosialisasi, Rita Wulandari Wibowo mengatakan edukasi dan sosialisasi akan dipercepat dan saat ini masih menunggu kurikulum yang menjadi syarat formilnya yakni penyusunan modul. Pihaknya juga akan membentuk para tutor di 34 polda dari 38 provinsi yang ada. Harapannya, akan ada tools yang mampu mempercepat implementasi di lapangan dan akan dibuatkan program. Kegiatan lainnya, akan ada apel lewat daring dan mengundang penyidik untuk pemberian informasi  strategi dalam TPKS. Untuk kerja sama tidak harus ada Memorandum of Understanding (MoU).

"Kami ujung tombak. Kami yang akan menginisiasi untuk mengundang para pihak. Beberapa kementerian sudah MoU dengan Polri bentuknya kerja sama atau penandatangan. Kalau kami menunggu setiap wilayah tidak akan selesai, maka upaya serentak melibatkan Kementerian/Lembaga terkait, "jelas Rita.

Rita menambahkan bahwa dari teman-teman  Non Government Organization (NGO) akan melakukan verivikasi layanan disediakan oleh Forum Pengada Layanan (FPL) dan bagaimana memfilter dan akan menyatukan langkah dan gerak.

Pada sesi tanya jawab, Amanda Manthovani, kuasa hukum para korban TPKS di Universitas Pancasila mengatakan bahwa ia sudah 18 bulan mendampingi dari awal laporan. Ia menceritakan terkait pemeriksaan oleh penyidik, namun penyidiknya semua laki-laki yang berdampak pada korban. Korban mengalami tekanan dan trauma terulang karena yang dihadapi laki-laki selama kejadian berulang.  Pada saat proses penyidikan, lebih intim dengan korban dan bukan pada pendamping. Mereka memberikan SP2HP, yakni layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat sampai terkait perkembangan perkara, langsung ke rumah korban dengan cara mengantar ke apartemen korban.

Dari salah satu korban, NZ, setelah ditelusuri ke Kejati Jakarta Utara, SPD2 terbit dua kali dan meski sudah berjalan 18 bulan belum diberikan. Kasus ini juga belum menggunakan prinsip hukum TPKS. "Kita tunggu hasil saksi ahli terkait BAP. Mereka belum paham UU TPKS,”jelas Amanda.

Amanda juga berkirim surat kepada biro propam tapi belum direspon. Dan waktu Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibuat,  tidak ada salinan dari saksi ahli. "Kami didampingi ibu Veronika dan Pak Imanuel. Karena korban adalah pekerja atau buruh. Penyidik memberi hasil resume, semuanya malah berpihak kepada terlapor.  Lalu bagaimana jika itu terjadi lalu terbit  Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)? Bagaimana negara melindungi para korban? Bagaimana kalau kami dilapor balik? Kalau proses seperti itu, saya yakin perempuan di manapun tidak mau melapor," ungkap Amanda.

Ia juga berharap agar Kementerian Tenaga Kerja membuat satuan petugas (satgas) kekerasan seksual. (Ast)