Catatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (4)
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 955
Ada 11 (sebelas) isu khusus dalam kajian 21 Tahun Catahu yakni : Femisida, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Kekerasan berbasis gender terhadap Dunia Pendidikan, Kekerasan di Institusi Keagamaan, KBG terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas, KBG terhadap Perempuan Kelompok Non Biner Minoritas Seksual, Perempuan Pembela HAM (PPHAM), Diskriminasi dan KBG terhadap Perempuan dalam Pemilu dan Pilkada, Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi Berbasis Gender terhadap Perempuan dalam Tahanan, Perempuan Pekerja Rumah Tangga dan Perempuan dengan HIV-AIDS
Perda Diskriminatif juga turut menyumbang adanya kekerasan terhadap Perempuan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Perda Diskriminatif mulai tercatat di Catahu 2004 terkait implementasi Qonun. Ada 32 dari 46 perempuan kasus qonun menjadi terdakwa dan terhukum. 21 tahun Catahu mencatat perda diskriminatif terhadap perempuan sebanyak 42,dan KBG dalam kebebasan beragama 12 kasus.
Lalu bagaimana dengan KBG terhadap perempuan dan pelanggaran HAM berlapis dalam konflik SDA?
-2004 Catahu 2004 meletakkan KBG terhadap perempuan dan pelanggaran HAM berlapis salam konflik Sumber Daya Alam (SDA)sebagai isu pemiskinan perempuan bersama isu-isu perempuan pekerja. Dalam konflik SDA perempuan mengalami (1)
KBG oleh baik satgas perusahaan maupun aparat. (2) menambah kerentanan perempuan pada KDRT akibat pemiskinan. (3) pelanggaran HAM berlapis, hak atas lingkungan hidup yang sehat,serta hak atas sosial hak atas ruang yang aman,hak atas air bersih, hak-hak atas pekerjaan dan ekonomi, hak atas budaya akibat lenyapnya sumber-sumber alam sebagai tumpuan obat herbal,kerajinan tangan dan bahan-bahan ritual, serta hak atas sosial politik dalam hal ini pengambilan keputusan dalam penanganan konflik SDA.
-21 Tahun Catahu mencatat,konflik SDA, (a) berlangsung dalam jangka panjang bahkan beberapa lebih dari satu hingga dua dasawarsa (Konflik TPL, PT. Dairi Prima Mineral, Kendeng, Lapindo dll). (b) umumnya tanpa penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan komunitas korban dan terdampak. (c) pemerintah membuat kriteria serta RUU Masyarakat Adat belum disahkan dan perundang-undangan terkait belum selaras. Konflik SDA juga tercatat sebagai kasus tertinggi kedua (115 kasus) di ranah negara, setelah penggusuran (975 kasus), pengambilan lahan tercatat 6 kasus.
-Berbagai konflik SDA di Indonesia berakibat rusaknya sumber-sumber kehidupan, merentankan perempuan, kriminalisasi dan persekusi terhadap PPHAM. Menurut pasal 7 Statuta Roma tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crime againts humanity) yang termasuk dalam kategorisasi pelanggaran HAM Berat (Catahu 2016, 42-44).
Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, memaparkan tentang Daya Dukung Institusional Pemulihan Hak-Hak Korban dan Tantangannya Catahu Selama 21 Tahun.
1.) Pertumbuhan lembaga pengada layanan yang dikelola oleh pemerintah. Berangkat dari amanat UU PKDRT, Kemen PPPA mengembangkan pusat layanan terpadu untuk Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (P2TP2A) di tingkat provinsi, kota/kabupaten. Hingga tahun 2021, P2TP2A telah terbentuk di semua provinsi dan hampir di kota/kabupaten di Indonesia. Pada perkembangannya dan terutama merespon UU TPKS, P2TPKS dikuatkan dengan menjadi Unit Pelayanan Terpadu (UPT).
2. Perkembangan Ruang Layanan Khusus di Kepolisian menjadi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat markas besar, kepolisian daerah provinsi dan sampai ke kepolisian resort (yang diprakarsai oleh DERAP WARNASARI). Struktur unit PPA yang menyebabkan keterbatasan SDM dan sarana /prasarana untuk dapat menjalankan mandatnya secara optimal menjadi salah satu faktor pendorong penguatan kelembagaan UPPA yang masih terus diupayakan hingga saat ini.
3. Penguatan Peran Rumah Sakit dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan dalam konteks layanan terpadu menghadirkan pusat krisis terpadu (PKT) sejak 2001, penguatan peran puskesmas dan layanan konseling, serta program-program terkait kesehatan masyarakat.
4. Peningkatan peran lembaga lenagda layanan yang dikelola mandiri oleh masyarakat, dalam bentuk lembaga swadaya maupun pendamping berbasis 197 komunitas. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan Forum Pengada Layanan yang menjadi wadah untuk lembaga-lembaga tersebut bertukar informasi dam berbagi sumber daya.
5. Didirikannya LPSK dan mekanisme pengawasan institusional penegak hukum, yaitu Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk menguatkan akses perempuan korban pada hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
6. Penggunaan mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk mengoreksi dan menguatkan jaminan hak atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis gender.
7. Tantangan kronis selama 21 tahun penanganan kasus meski dengan pertumbuhan lembaga layanan adalah dukungan bagi SDM yang berketerampilan dan berkelanjutan, serta sarana dan prasarana untuk memberikan layanan yang dibutuhkan oleh korban. Ketersediaan anggaran menjadi isu lintas institusi, selain masalah koordinasi lintas sektor.
8. Tantangan lain yang dihadapi dalam penanganan kasus adalah kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM (PPHAM), termasuk pendamping perempuan korban kekerasan. Selain menghadapi bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat umum, PPHAM juga menghadapi kekerasan yang khas karena ia perempuan, terutama dalam bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual lainnya (dicatat sejak tahun 2007-sekarang).
Unsur praktik penanganan kasus di lembaga-lembaga layanan, ada beberapa temuan kunci yaitu :
1.) bentuk penyelesaian KBG yang dilakukan oleh Lembaga Layanan adalah penyelesaian non hukum dan penyelesaian hukum. 2.)perangkat hukum perundang-undangan yang digunakan dalam proses litigasi yang digunakan dalam proses penyelesaian KBG.
3.) jenis rujukan yang dibutuhkan korban. Dalam proses penanganan KBG kebutuhan korban tidak hanya dalam bentuk penyelesaian secara hukum dan non hukum, kemudian tidak semua lembaga mempunyai sistem layanan yang lengkap dan memenuhi kebutuhan korban/pelapor. Karena itu banyak lembaga yang merujuk kasusnya ke lembaga layanan lain. Jenis rujukan yang diberikan akan sangat terkait dengan permintaan dan kebutuhan korban.
4.) Perkembangan penyikapan Komnas Perempuan atas Kasus-Kasus yang Dilaporkan Langsung ke Komnas Perempuan. Catahu 2012-2016 mulai terdokumentasi penyikapan yang dilakukan Komnas Perempuan dalam bentuk surat rekomendasi. Catahu 2017 mendokumentasikan penyikapan lain yakni surat pemantauan dan saksi ahli. Pada tahun berikutnya mulai dikembangkan rujukam kasus dalam bentuk surat resmi serta amicus curiae ke dalam bentuk penyikapan Komnas Perempuan. Catahu 2020-2021 bentuk penyikapan Komnas Perempuan semakin bertambah yaitu pemberian surat keterangan melapor kepada korban/kuasanya jika diminta, surat klarifikasi yaitu surat yang ditujukan untuk meminta informasi perkembangan kasus atau klarifikasi atas pengaduan korban. Ditambah pula informasi terkait dengan respon terhadap pengaduan yang disampaikan melalui email.
Surat Rujukan adalah bentuk penyikapan terbanyak yang dikeluarkan Komnas Perempuan sejak tahun 2017. Kondisi ini mencerminkan kebutuhan mendesak dan korban saat melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan yang seringkali terjadi adalah tanpa pendampingan siapa pun. Padahal Komnas Perempuan tidak memiliki mandat mendampingi satu persatu kasus. Bentuk penyikapan kedua paling banyak adalah respon pertanyaan melalui email dan diikuti dengan surat pemantauan yang berisikan tanggapan umum atas kasus yang diajukan atau koordinasi lintas sektor. (Ast)
Add a comment
Catatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (3)
- Super User
- Suara Keadilan
- Dilihat: 339
Dalam Catahu 2004-2009 ada pembahasan isu buruh migran dan ada 3 pula isu di tahun 2002-2011 tentang buruh migran ini. Ada pula isu penyekapan kekerasan di sarana transportasi umum yang sangat perlu untuk diadvokasi dan afirmasi. Juga terkait isu kekerasan di tempat umum dan di tempat fasilitas kesehatan . Selain itu adalah kekerasan ranah negara.
Add a commentCatatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (2)
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 859
Siti Aminah Tardi, komisioner di Komnas Perempuan mengatakan bahwa di Komnas Perempuan, bentuk/ragam kekerasan berbasis gender dibagi ada 4 : Fisik, mental, seksual dan ekonomi. Sedangkan ranahnya meliputi ranah personal, publik dan negara.
Siti Aminah Tardi masuk di tim 21 tahun Catahu menambahkan bahwa ini merupakaan kekayaan luar biasa untuk isu perempuan dan jadi modalitas siapa saja yang bekerja untuk isu perempuan. Ranah rumah tangga atau personal selama 21 tahun terdokumentasikan dan didefinisikan sebagai kekerasan yang terjadi dan pelaku memiliki relasi kekeluargaan, perkawinan, intim, atau pekerjaan dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan terhadap istri, kekerasan mantan suami, pacaran, mantan pacar, anak perempuan dan pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). Menunjukkan tren naik : Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan kekerasan mantan pacar berelasi cyber. Berbagai upaya hukum dilakukan sehingga perempuan bisa bangkit terkait harta gono-gini, pengasuhan anak, pemalsuan dokumen dll.
Dalam 21 Tahun Catahu, bagi Siti Aminah Tardi, ketika membacanya seperti membaca sejarah gerakan perempuan. Untuk isu kekerasan di dalam rumah tangga, Catahu dimulai tahun 2001 dan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lahir 2004. Pada waktu itu analisanya menyatakan kekerasan di lingkungan bukan ranah kerjanya. Lalu Komnas bersama masyarakat sipil mendorong UU KDRT. Gerakan perempuan mendorong UU PKDRT. Dulu namanya RUU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lalu disahkan sebagai UU PKDRT. Undang-undang dinilai sebagai momen bersejarah. KDRT adalah kejahatan lalu negara mengatasinya dengan upaya pencegahan dan perlindungan.
Kekerasan yang terjadi setelah diundangkan UU PKDRT, yakni kekerasan terhadap istri selalu menempati tertinggi lebih dari 70℅ lalu disusul Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Ketika bicara KDRT maka akan mengalami penyempitan makna bahwa di dalam KDRT ada suami, padahal ada PRT dan orang orang yang hidup dalam lingkup di rumah tangga tersebut.
Di Komnas Perempuan sendiri perkembangan isu di ranah personal seperti KDRT ini berkembang ke isu femisida. Komnas Perempuan menemukan bahwa KDRT salah satunya menyebabkan kematian baik bagi perempuan maupun anak perempuan. Komnas Perempuan menggalinya sebagai femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena puncak ketidakadilan gender yang dialami. Ini diperburuk dengan teknologi dan informasi. Kekerasan terhadap mantan istri juga kekerasan berbasis gender online.
Kendala utama dari pencatatan 22 tahun Catahu ini adalah di :1. kategorisasi kekerasan di perempuan. Misalnya Komnas Perempuan menggunakan berdasar deklarasi kekerasan terhadap perempuan PBB. Kalau lembaga penegak hukum menggunakan UU PKDRT dan pengadilan agama. 2. Belum meratanya pemahaman pentingnya adanya dasar data nasional. 3. Di ranah personal misal isu kekerasan terhadap anak perempuan, inces kekerasan seksual anak, perkawinan anak, dispensasi nikah. Untuk kekerasan di ranah publik awalnya yakni sebelum di tahun 2020 digunakanlah kekerasan di ramah komunitas/kelompok. Lalu Komunitaa perempuan di periode ini menilai penggunaan kata komunitas membingungkan karena bisa saja orang beranggapan itu misalnya terjadi komunitas difabilitas
Pemahaman yang disebut adalah perempuan sebagai anggota keperempuanannya. Lalu Komnas menggunakan istilah kekerasan di ranah publik. Yakni kekerasan yang terjadi di ranah publik yang merujuk suatu tempat., yakni yang tidak memiliki relasi suami,ayah atau pacar.
Komnas Perempuan mencoba ajeg-kan (konsisten). Dalam Catahu 2022 mereka lalu menstrukturkan merujuk ke tempat yakni ruang publik : kekerasan yang terjadi di tempat kerja, pendidikan, fasilitas umum dan media. Peng-cluster-an kasus buruh migran di UU TPPO meliputi di luar dan dalam negeri.
Kekerasan pekerja rumah tangga dikategorikan kekerasan di ranah kerja/publik. Kekerasan di wilayah tempat tinggal. Catahu tidak menuliskanya secara merata. Tidak setiap tahun Catahu menuliskan kekerasan di tempat kerja.(Ast)
Add a comment
Catatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (3)
- Super User
- Suara Keadilan
- Dilihat: 778
Dalam Catahu 2004-2009 ada pembahasan isu buruh migran dan ada 3 pula isu di tahun . 2002-2011 tentang buruh migran ini. Ada pula isu penyekapan kekerasan di sarana transportasi umum yang sangat perlu untuk diadvokasi dan afirmasi. Juga terkait isu kekerasan di tempat umum dan di tempat fasilitas kesehatan . Selain itu adalah kekerasan ranah negara.
Luviana, moderator diskusi yang disiarkan langsung oleh YouTube Komnas Perempuan mengatakan bahwa Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) memunculkan terminologi baru yang dulu orang mempertanyakan, ini kekerasan bukan ya? Kekerasan dalam pacaran itu masuk kategori kekerasan apa tidak? Lalu tentang Femisida itu peristiwa kriminal atau tidak ya. Atau ini disebut KDRT sebab itu terminologi baru. Dari 21 Catahu ini ragamnya bertambah atau berkurang? Berbagai pertanyaan tadi jika boleh dijawab kalau itu bertambah artinya kesadaran orang untuk melaporkan meningkat. Lalu ada pertanyaan jika pencatatan bertambah maka trennya seperti apa?
Siti Aminah Tardi menjawab bahwa pemahamam tentang isu kekerasan dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan, perkembangan pengalaman, juga kemajuan teknologi informasi yang berpengaruh kepada pola-pola kekerasan terhadap perempuan.
Termasuk perkembangan pengetahuan, mengapa Komnas Perempuan mengangkat isu femisida karena itu menjadi perhatian di dunia internasional. Mengapa Komnaw Perempuan sejak 2017 mencatat kekerasan berbasis cyber ini menjadi hal utama. Waktu itu mungkin sudah ada. Tapi Komnas belum mengenali sebagai kekerasan cyber atau KBGO. Baru ketika misal komite Cedaw dan pelapor khusus, ini dikenali sebagai ini. Mereka lalu bertanya "ini terjadi tidak ya,oh, di Indonesia ternyata terjadi."
Siti Aminah Tardi menambahkan bahwa karena sarana dan informasi terbuka kalau dari angka naik turun tergantung kondisi dan ada tren naik. Kekerasan tidak hanya bisa dilihat secara bentuk karena 1 orang korban bisa mengalami empat bentuk atau satu bentuk. KBG berkelindan dan akan lebih buruk jika perempuan itu adalah seorang disabilitas, perempuan dengan HIV, perempuan di tempat tahanan. Perempuan dengan ODGJ atau perempuan miskin maka kualitas kekerasan akan semakin buruk. Itu berelasi dengan identitas- identitas yang lain.
Di Catahu ini dampaknya sebenarnya belum terpotret secara kualitatif walaupun di forum yang mengedepankan dialog dan kerja sama di PBB (UPR) akan tahu dampak sebagai korban seperti apa. Tetapi pembahasan khususnya di 2022 dan 2023 bahwa kekerasan terhadap perempuan itu berdampak perempuan terlanggar haknya. Kekeraaan bentuknya beragam dan itu akan bertambah.
Kekerasan Seksual yang Membutuhkan Perhatian Khusus
Rainy Hutabarat, salah seorang komisioner Komnas Perempuan dalam paparannya mengatakan bahwa ada beberapa kekerasan yang membutuhkan perhatian khusus. Apa saja itu?
Dengan melihat KBG dalam Catahu, bisa dilihat bagaimana peningkatannya. Pada awalnya ada data kualitatif dan kuantitatif lalu dipisah kemudian muncullah. Lalu di Catahu 2023 baru tertuang kekerasan berbasis gender yang butuh perlindungan khusus. Ada teknisnya sebab di dalam Catahu tidak secara eksplisit dikatakan mengapa memerlukan perlakuan khusus.
Menurut Rainy, Catahu merupakan konsep berkembang. Dari berupa jurnal di awal terbitan tahun 2001 dengan jumlah halaman terbatas, meningkat menjadi 180-an halaman pada 2023. Ini seiring meningkatnya kompleksitas isi Catahu, kenaikan angka dan ragam KBG di berbagai ranah."Kebutuhan paparan berupa grafik/tabel maupun analisa", data terpilah menurut bentuk KBG maupun ranah "pemetaan hubungan korban-pelaku."
Pemisahan analisa kuantitatif dan kebutuhan pemetaan dan analisa berbagai hambatan dalam penanganan KBG terhadap perempuan, pemisahan analisa kuantitatif dan kualitatif, tantangan-tantangan perundang-undangan dan kebijakan, sorotan terhadap kondisi pengada layanan, sorotan terhadap KBG tertentu, dan seterusnya.
KBG terhadap perempuan yang mendapat sorotan atau perhatian khusus merupakan bagian dari pertumbuhan Catahu. Baru pasca Catahu 2023, KBG terhadap perempuan yang mendapatkan perhatian khusus dibahas secara terpilah.
Untuk mendapatkan data KBG perhatian khusus secara teknis perlu disimak antara lain.
Mengapa KBG terhadap perempuan memerlukan perhatian khusus? Sebab : 1. Korban mengalami diskriminasi dan kekerasan serta kerentanan berlapis, 2. Belum memiliki perlindungan sistemik atau perhatian dari negara, 3. Tren kasus merupakan fenomena gunung es, berpotensial masif bila diabaikan, 4. Isu KBG perlu didorong menjadi perhatian khusus pengambil kebijakan lokal, nasional maupun PBB (Yuniati Chuzaifah)
Rainy Hutabarat juga mengutip Mariana Amiruddin :
"Bila ada angka laporan yang melonjak, atau kasus yang tiba-tiba muncul, dan tema-tema khusus yang jarang ditengok atau tema-tema KBG yang terjadi secara nasional seperti isu sumber daya alam." (Ast)
Add a comment
Catatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (1)
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 948
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam diskusi peluncuran 21 Tahun Catahu menyatakan bahwa Catahu adalah kebutuhan bersama mencatatkan lintas sektor, dalam rangka pemenuhan dukungan infrastruktur bagi lembaga layanan dan dukungan pendanaan untuk pemutakhiran alat-alat digitalisasi pendokumentasian, pelatihan, penempatan sumber daya manusia serta pengembangan keamanan digital.
Andy juga menegaskan salah satu refleksi pada 21 tahun Catahu ada beberapa butir. Dari informasi 21 tahun Catahu, salah satu fitur karakteristik adalah jumlah kasus kekerasan perempuan dan berbasis gender selalu bertambah setiap tahun dan ini perlu dimaknai secara positif. Artinya meningkatnya keberanian korban dan dukungan serta akses korban untuk melaporkan kasusnya, sehingga kepercayaan bertambah bahwa akan ada tindak lanjut terkait laporannya , kehadiran lembaga layanan yang terjangkau dan kemudahan untuk melaporkan kasusnya.
Penting dicatat meski bertambah, lebih banyak korban yang belum mau atau belum berani melampirkan kasusnya. Andy berpesan bahwa dalam pengembangan indikator hukum di indonesia, penurunan jumlah pelaporan kasus tidak boleh dijadikan target pembangunan justru indikator pembangunan perlu bergerak untuk menunjukkan perkembangan keberhasilan penyikapan baik dalam aspek pencegahan maupun penanganannya, Dan semoga jadi untuk dikembangkan dalam RPJP 2025-2045 serta dalam kebijakan terkait lainnya.
Luviana, moderator diskusi yang juga disiarkan dalam YouTube Komnas Perempuan itu mengutip bahwa ada 1800 lembaga mendukung Catahu. Ini tentu bakal jadi rujukan bagi jurnalis dan para juru kampanye media sosial. Selain itu pada aspek korban, merasa punya teman dengan adanya Catahu. Tujuannya bukan penurunan jumlah tapi penyikapan.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Kompas Perempuan mengatakan jika urgensi 21 Catahu adalah : 1. Catahu digagas dan dikerjakan oleh Komnas Perempuan sejak 2001 yang bekerja sama dengan para pihak yang berkecimpung dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan kepada perempuan
2. Memberi ruang kepada gerakan perempuan untuk menemukenali ranah, bentuk dan jenis KBG untuk bertumbuh. Lebih dua dekade Catahu selalu menjadi rujukan para pihak baik peneliti, penyusun kegiatan, pembuat kebijakan. Kompilasi Catahu 21 tahun ini memuat berbagai ragam kekerasan, kecenderungan serta berbagai tantangan yang dihadapi dalam penyelesainnya sehingga kajian ini bisa dijadikan referensi untuk penyusunan gerakan ke depan dalam upaya kondusif dalam menyelesaikan segala bentuk kekerasan pada perempuan dan untuk memastikan dan mempromosikan hak-hak perempuan terpenuhi dan terlindungi.
3.Metode dan sumber data, Catahu selalu menampilkan data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data adalah Catahu selama 21 tahun. Memang belum memuat catahu 2022 karena waktu pengerjaan sebelum catahu 2022 dilaunching. Ada 3 lembaga tidak pernah absen sebagai pendukung data. Masing- masing catahu laporannya berdasar informatif, tantangan dan harapan, hambatan dinamika. Ada dua data : data umum dan data KBG. Data umum yakni data yang belum diverivikasi basis gendernya. Jadi tidak semua kekerasan yang dialami perempuan karena dia perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan karena dia perempuan itulah yang dianalisis yang kemudian disebut sebagai KBG terhadap perempuan. Data umum hampir 4 juta. KBG 2,7 juta terjadi selama 21 tahun. KBG ranah personal 2,5 juta, terbanyak kekerasan terhadap istri. Kekerasan dalam pacaran tertinggi di tahun 2015.
Kekerasan seksual paling dominan dan perkosaan paling banyak sejak tahun 2014. Kekerasan di ranah negara juga naik turun dan pada 2010 adalah puncaknya. Ada persoalan pekerja migran, perempuan berhadapan dengan hukum, penggusuran. Karakteristik pattern tidak berubah. Korban lebih rendah pendidikan dan umur lebih muda dari pelaku. Selama 21 tahun, 5% pelaku adalah yang seharusnya menjadi pelindung. Di dua tahun terakhir angkanya mengembang menjadi 9%. (Ast)
Add a comment