RILIS PERS ABSENNYA ISU DISABILITAS: INDIKASI PEMBAHASAN RUU KESEHATAN YANG TIDAK TUNTAS
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 869
Beberapa hari terakhir, telah beredar informasi bahwa pada hari Selasa, 11 Juli 2023, akan diadakan Rapat Paripurna DPR RI Ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu agenda Rapat tersebut adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan (RUU Kesehatan). Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, hingga organisasi disabilitas.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei yang dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan:
1. Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69% menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94% partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
2. Di sisi lain, akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69% responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan,tetapi hanya ada 30% yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan. Ditambah lagi, hingga rilis pers ini dibuat, draft final RUU Kesehatan masih simpang siur keberadaannya.
3. Proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil. Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II. Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.
4. Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas akan permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang menurut mereka perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas (73%), jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia (71%), ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas (71%), program jaminan kesehatan negeri/swasta (69%), sistem rujukan layanan
kesehatan (58%), intervensi dan deteksi dini (54%), layanan edukasi kesehatan (50%), disabilitas psikososial (49%), obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas (47%), upaya kesehatan berbasis masyarakat (43%), disabilitas karena sindrom langka (39%), kesehatan reproduksi penyandang disabilitas (39%), layanan habilitasi (33%), kesehatan remaja (32%).
5. Prioritas permasalahan-permasalahan kesehatan ini belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan. Menurut RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.
6. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik. Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draft RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak draft RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.
2. Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.
3. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.
4. Meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.
Organisasi yang Mendukung dan Narahubung
FORMASI Disabilitas, 0852-5623-3366 (Nur Syarif Ramadhan)
Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), 0877-7548-6146 (Hisyam Ikhtiar)
Wahana Keluarga Cerebral Palsy, 0856-2851-903 (Reny Indrawati) Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 0859-3967-6720 (Albert Wirya)
Perkumpulan OHANA, 0812-2756-973 (Nuning Suryatiningsih) & 0821-3729-3816 (Risnawati Utami)
Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, 0815-5332-8120 (Sylvia Sumargi) Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), 0813-2941-2360 (Purwanti)
Add a commentDeklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 853
Komisi Nasional Disabilitas (KND) bersama Bawaslu dan organisasi penyandang disabilitas mendeklarasikan pemilu akses dan ramah disabilitas. Dalam deklarasi yang dibacakan dan ditandatangani bersama pada 6 Juli tersebut, Dante Rigmalia, Ketua KND menyampaikan bahwa KND memiliki tugas dan fungsi memantau, mengadvokasi pelaksanaan dan kerja sama dengan lembaga dan institusi untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas memiliki hak politik, yakni memilih dan dipilih. Penyandang disabilitas juga dapat berperan aktif terkait aksesibilitas penyelenggaraan pemilihan umum.
"Jumlah difabel 2020 lebih dari 22,5 juta dan ini sebuah kekuatan besar dalam menentukan arah negara Indoenaia. Partisipasi bermakna pada pemilu pada tiap tahapan pemilu,'ujar Dante. Ia menambahkan bahwa individu penyandang disabilitas hambatannya tidak hanya kedisabilitasannya saja tetapi juga lingkungannya.
Memasuki tahun politik, KND ingin berkontribusi pada perhelatan akbar. KND menyatakan sikap dan ingin menyampaikan agar KPU dan Bawaslu benar-benar memenuhi hak politik penyandang disabilitas.
KND juga berharap ada pemutakhiran data pemilu lalu mendorong agar penyandang disabilitas terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Itulah yang melatarbelakangi penandatanganan deklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas yang bunyinya ;
Deklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas
1. Berkolaborasi untuk pencegahan, pengawasan, dan menindaklanjuti segala pelanggaran yang terjadi pada hak-hak politik disabilitas pada Pemilu Serentak Tahun 2024 secara inklusif.
2. Berkomitmen mendukung pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, ujaran kebencian, politisasi SARA, dan politik uang.
3. Berkomitmen mendukung pemilu yang aksesibel, non diskriminasi dan inklusi bagi penyandang disabilitas.
4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman yang benar dan sama tentang kesetaraan penyandang disabilitas dan ragamnya di sektor kepemiluan.
5. Meningkatkan pengawasan partisipatif hak-hak politik penyandang disabilitas dalam Pemilu Serentak Tahun 2024.
Jakarta, 6 Juli 2023
Add a commentLetssTalk_Sexualities #58 : Harapan Teman Tuli Buta Pada Perfilman
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 973
Candra Gunawan, Ketua Perkumpulan Tuli Buta (Pelita) masih dalam kesempatan diskusi pemutaran film "Sejauh Kumelangkah" di LetssTalk_Sexualities edisi Special Forum #58 mengatakan bahwa film tersebut bagus sekali dan ia berharap dengan adanya film yang diambil dari pengalaman penyandang disabilitas ini masyarakat jadi lebih memahami bahwa disabilitas memiliki harapan dan cita-cita sama dengan non disabilitas.
Masukan lebih banyak lagi supaya film diangkat langsung dari kisah nyata disabilitas terutama disabilitas ganda tuli buta seperti dirinya. Karena sampai sekarang masyarakat Indonesia belum memahami tentang disabillitas ganda. Mungkin baru tahu tentang keberadaan disabilitas tuli buta. Masyarakat akan tahu bagaimana masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka masyarakat tuli buta dengan wahana film. Candra Gunawan lewat organisasi Pelita sebenarnya memiliki harapan dan cita-cita sama dengan teman disabilitas lainnya untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi bangsa indonesia
Sementara itu Aria Indrawati, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) menyatakan dalam diskusi, ketika ia tahu Ucu Agustin akan membuat film tentang kehidupan remaja disabilitas netra sebagai sesama disabilitas netra ia senang karena sesuatu yang jarang ditampilkan, baik sebagai apa pun yakni film dokumenter maupun fiksi. Aria melihat angle film ini adalah persahabatan dua remaja netra yang kemudian mereka terpisah, satu tinggal di Amerika dan di Indoneaia mengikuti orangtua. Tapi di balik itu banyak sekali pesan.
Dikatakan sebelumnya bahwa secara pribadi Ucu punya pesan melalui film ini bahwa ia sebagai produser dan pencipta film membebaskan penonton terkait pesan apa pun di film ini. Pesan di balik itu, bagi Aria yang berkecimpung di dunia pendidikan dan pemberdayaan disabilitas netra bahwa kondisi anak- anak disabilitas netra di Indonesia, yang disaksikan pada film tersebut adalah yang tinggal di Jakarta. Lalu bagaimana dengan Aceh, Manokwari, Biak, Sambas Kalimantan, atau Halmahera? Ia berharap itu menjadi referensi bagi semua. Siapa pun dalam kapasitas apapun, ia berharap itu menjadi pesan terhadap kondisi pendidikan netra di Indonesia.
Tuli dan buta saja seperti yang dialami Salsa untuk komunikasinya sudah diangkat apa belum, bahwa disabilitas ganda Tuli dan Buta membutuhkan akomodasi yang berbeda dengan Tuli. "Pesan positif bahwa ayo kita mengambil peran bersama sama. Saya akan lalukan itu dengan bisa memberikan solusi sebisa saya, sebagai bagian masyarakat Indonesia saya akan mengambil peran untuk mengatasi ini dengan kapasitas yang saya miliki,"tandas Aria.
Sedangkan Andi Kasri Unru biasa dipanggil Akas, aktivis Tuli, founder Indonesia Deaf-Hard of Hearing Law and Advokasi/Idhola mengatakan banyak teman Tuli memiliki pendidikan yang baik. Ada guru yang mengajarkan dengan verbal dan bahasa isyarat. Ia membandingkan pengalamannya dan di kampung asalnya. Di Kota Makasaar awalnya tidak bisa berbahasa isyarat dan tidak memahami budaya Tuli. Di situ penting sekali untuk edukasi sehingga guru harus bisa mengajarkan anak Tuli bagaimana mengajarkan anak-anak Tuli sehingga ia bisa memahami. Bagaimana cara berkomunikasi yang tepat bagi anak-anak Tuli. Teman-teman Tuli banyak yang bercerita kepadanya kalau ketika guru mengajarkan kepada mereka dengan cara membelakangi atau tidak berhadapan. Ada juga yang bilang gurunya tidak bisa berisyarat, baik SIBI maupun Bisindo. Kalau di kampung atau desa biasanya pakai bahasa daerah dan bikin lebih berat lagi.
Akas mendampingi anak Tuli yang kebetulan ia temui di kampung dari dia sekolah di kampung dan sekarang kuliah semester 5-6. Ia sangat senang dan bangga karena anak itu merasa " oh, saya bisa ya masuk kuliah dan anak-anak Tuli seperti saya bisa mendapatkan suatu bimbingan."
Ketika smp kelas 2, tahun 2017. Akas mengajarkannya bahasa isyarat dan juga orangtuanya untuk bisa mendorong supaya bisa kuliah. Lain hal, kampus hanya mau menerima anak PLB. Jadi inilah bukti perbedaan pendidikan di desa dan kota. Kalau mau membandingkan tidak harus Amerika. Di Indonesia antara kota dan desa sudah beda.(Ast)
Pemenuhan Hak Anak dengan Disabilitas dan Kusta
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 876
Asken Sinaga, Executive Director Netherland Leprosy Relief (NLR) Indonesia dalam seminar nasional, Selasa (4/7), terkait penanganan kusta dan pemenuhan hak anak disabilitas dan kusta di Indonesia memaparkan bagaimana kontribusi NLR Indonesia melalui Program PADI. Asken mengatakan situasi kusta di Indonesia, data dari WHO, Indonesia berada di urutan 3 penyumbang kusta di dunia terbanyak, setelah India dan Brasil.
Tahun 2020 kasus kusta baru di Indonesia tercatat 15 -17 ribu. Mengapa tahun 2021 kasus turun? karena paling besar kontribusinya dari pandemi COVID-19. Tahun 2022 ada di angka 19 ribu. Dan tahun 2023 ini sudah tercatat 12-17 ribu. Tahun 2019 ke belakang relatif stagnan setelah pandemi mengalami penurunan/membaik.
Kasus pada anak demikian juga dari 2014-2019 persentase sekitar 11-12 %. 2020-2022 menurun dan prediksi 2023 akan naik lagi. Kasus baru kusta pada anak berada di 10-12% anak. Target pemerintah adalah 5% dan saat ini belum tercapai.
Untuk wilayah persebarannya merah /tinggi : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Papua. Kalau dari angka ada status eleminasi kusta artinya kasusnya lebih kecil dari 1/10 rb penduduk. Ada 4 wilayah yang eliminasi sedangkan yang belum ada 15 wilayah. Ada 113 kab/kota yang belum eleminasi.
Data dari Kemenkes per 21 Januari 2023, kasus baru muncul di hampir seluruh wilayah. 30 maret 2023 Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Kusta dan diluncurkan. Ada 4 strategi yang akan dilakukan pemerintah berdasar 4 pilar : masyarakat, tata kelola programnya, strategi akselerasi, integrasi multi sektor dan lintas sektor menuju Indonesia eliminasi 2030.
Kenapa NLR mengurusi anak?
Karena 10-12% penyakit kusta ada pada anak. Kusta termasuk penyakit tropis yang terabaikan. Sedangkan anak paling rentan. Anak-anak adalah masa depan bangsa Indonesia.
Mengapa NLR menyentuh anak dengan disabilitas? Karena kusta termasuk disabilitas menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016. NLR percaya ketika gerakan dilakukan bersama maka akan lebih kuat alias jejaring lebih powerfull.
Program PADI antara NLR dan Liliana Foundation memprioritaskan anak disabilitas Indonesia. Program PADI ada di 17 provinsi dan hampir 50 persen adalah daerah endemi kusta dan memiliki untuk memastikan pemenuhan hak anak dengan disabilitas
Selama ini NLR melakukan dua pendekatan yakni
1.Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) yakni kesehatan, sosial, pendidikan, pekerjaan dan pemberdayaan.
2.Twintrack approach : intervensi ke anak dan intervensi ke supporting imparment
Tahun 2022 ada 1.183 anak dijangkau oleh NLR. Pada aspek pendidikan, di tahun 2022 berkolaborasi dengan 14 dinas kab/kota. Ada 138 sekolah yang ikut serta program ini, 101 sekolah inklusi dan 37 sekolah khusus serta 862 anak dengan disabilitas kusta penerima manfaat Bentuk dukungan salah satunya pembiayaan biaya perawatan sekolah. Ada pendampingan belajar, penguatan pendidikan informal, dukungan transportasi ke sekolah, perbaiikan akses disabilitas ke sekolah.
Dari lifelihood ada 210 penerima manfaat. 11 diantaranya difasiliitasi di unit usaha formal. 59 menjalani pelatihan usaha dan mendapat modal dan pendampingan 14 orang kerja di organsiasi lokal.
Dari aspek sosial yakni menambah kapasitas orangtua, membangun RBM tingkat desa, meningkatkan sistem pendataan anak serta membangun sistem jaringan dan pembangunan sosial.
Tujuan program PADI dengan mitra Liliane Foundation salah satunya mensosialisasikan "My Body is Mine" Tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) ada Kubik berupa pengembangan kapasitas disabilitas termasuk ahli terapi.
Diyah Puspitarini, komisioner KPAI yang juga menjadi narasumber diskusi dan mengatakan bahwa salah satu yang menjadi agenda utama KPAI di tahun 2023 adalah memiliki instrumen pengawasan yang baku tentang pemenuhan dan perlindungan anak disabilitas bahwa selain pemenuhan haknya, saat ini ada beberapa kasus yang terjadi baik ia sebagai korban (jumlahnya banyak) untuk kasus-kasus kekerasan. Juga anak disabilitas sebagai pelaku yang harus juga mendapatkan perlakuan khusus.
Diyah baru bergabung KPAI akhir Desember 2022 dan ada di bagian khusus yakni perlindungan anak disabilitas. Tanggung jawab perlindungan anak menurut Diyah ada pada anak itu sendiri sebagai subjek, lalu orangtua dan keluarga, serta masyarakat, dan negara/pemerintah.
Diakui oleh Diyah bahwa kasus pemenuhan hak anak disabilitas belum maksimal, masih ada temuan-temuan :1. Masih adanya akses akta anak kelahiran disabilitas yang belum maksimal, 2. Pengasuhan anak belum dipahami oleh orangtua, 3. Akses kesehatan kurang maksimal, kurangnya kesempatan pendidikan, kurang informasi, pengetahuan dan akses sikap keagamaan bagi anak disabilitas. (Ast)
Add a comment
LetssTalk_Sexualities #58 : Ucu Agustin dan Film "Sejauh Kumelangkah"
- YAPHI
- Suara Keadilan
- Dilihat: 838
Pada Instagram dan Youtube LetssTalk_Sexualities edisi Special Forum #58 bertema Mencari Jalan Pemenuhan Hak-hak Disabilitas Tuli dan Netra, melalui pemutaran film "Sejauh Ku Melangkah", sutradara dan produser Ucu Agustin menjawab alasan mengapa ia membuat film tersebut. Pada tahun 2013 Ucu sempat berpikir membuat film terkait isu diisabilitas netra. Menurutnya sepertinya kok tidak mungkin. Saat itu Ucu berpikir mungkin ia tidak tahu atau ia tidak paham apa yang terjadi dengan isu ini di Indonesia.
Kemudian ia melihat kok dirinya berada di lingkungan dokumenter Indonesia dan ia tidak melihat isu ini (disabilitas_red). Terus suatu hari ia dikenalkan dengan mamanya Dea. Ucu bertemu Mama Dea. Pengujung 2017, Dea (salah seorang pemain film Sejauh Kumelangkah) sedang me-chalange dirinya sendiri sebagai remaja yang mandiri. Terus Ucu berpikir wah kalau Dea tertarik bikin sesuatu karena referensi audiovisual dengan referensi isu disabilitas Indonesia kayaknya kurang. Lalu ia pun bertanya ke Dea. "De, kalau aku ikutin ceritamu, kamu kan remaja mandiri. Dan saya melihat tokoh saya sebelumnya yakni 2013 tantangan paling pertama dari masa remaja seorang disabilitas adalah bagaimana men-chalange dirinya sendiri." Dea setuju.
Setelah digali dari ceritanya sendiri kemudian berproses. Ternyata di Indonesia Dea punya teman namanya Salsa. Kemudian dari situ Ucu pengin bikin sesuatu. "Kalian tertarik tidak bahwa kisah kalian dibikin cerita bareng."
Saat proses sedang berjalan Ucu banyak belajar terkait isu pendidikan terutama teman-teman disabilitas di Indonesia yakni netra. Kebetulan ia tinggal di Amerika. Ia senang sekali mendapat support dari salah satu institusi film di Amerika. Mereka membuat program saat itu. Dukungan itulah yang membuat film ini terjadi. Inspirasi lain diberikan oleh Dea dan Salsa. Ucu mengaku hanya menjembatani saja.
Pesan apa yang coba Ucu sampaikan lewat film ini kepada masyarakat terkait mengapa ia tertarik dengan Dea dan Salsa secara langsung. Ucu menjawab karena genrenya dokumenter dan bukan fiksi. Gambar-gambar yang diambil untuk dokumen, film lalu jadi gambar-gambar bercerita. Dan ini bukan film fiksi. Jadi terkait kenapa Dea atau kenapa Salsa bukan terkait akting mereka. "Ini kisah hidup mereka. Boleh tanya tentang kasus melalui dia. Pesannya bebas. Siapa pun yang ingin menginterpretasikan silakan,"jelas Ucu.
Satu hal yang menjadi concern Ucu adalah inisiatif awal. Terus Dea dan Salsa tentang bagaimana tentang pendidikan di dunia disabilitas. Di Amerika yang masih jauh dari sempurna bisa ditanyakan pada Dea , di Indonesia pun sama. Pesan Ucu kepada disabilitas netra yang masih remaja adalah mari melihat ke dalam, lalu sama-sama mencari cara menyelesaikan persoalan yang ada di dalam diri sendiri dan yang paling utama yaitu menantang diri sendiri untuk menjadi mandiri. Karena seluruh pesan ini adalah bagaimana Dea dan Salsa mempersiapkan masa depannya sebagai remaja untuk menjadi manusia mandiri terhadap dunia yang belum ramah terhadap manusia di Indonesia.
Ini adalah film pertama Ucu dan dibuat ketika ia menemani pasangannya belajar di Amerika."Terus terang saya tidak punya pekerjaan. Kesulitan utamanya adalah bagaimana terbang di Indonesia sedang suami saya sedang pendidikan post doctoral. Tapi saya melihat hal-hal seperti itu bukan hambatan pertama untuk menyelesaikan tentang bagaimana karena secara finansial tidak mampu."
Ucu memegang kameranya sendiri. Padahal di Indonesia saat ia membuat film, ia menyewa kameraman.Ia biasanya bekerja untuk film itu dengan bebas tinggal memgarahkan. Kalau di Amerika ia harus melalukan hal-hal teknis. Di Indonesia masih bisa dilakukan dengan gotong-royong. Di Amerika harus betul-betul berhitung.
Ucu belajar menjadi filmmaker mandiri sama seperti Dea dan Salsa untuk bisa memproduksi dan mengambil gambar sendiri. Rasa sukanya adalah Dea dan Salsa memiliki visi yang sama. Dea dan Salsa bisa belajar untuk melihat bahwa apa yang mereka bikin berasa bahwa hal tersebut lebih besar dari hidup mereka. "Kayaknya kita bisa bikin karya yang bisa mengetuk berbagai pihak yang harusnya terlibat di sini," terang Ucu.
Justru karena film sederhana lalu mendapat apresiasi dan Ucu menghargai film ini dapat piala tapi sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana isu ini dapat diserap oleh wilayah-wilayah di level-level yang memang dituju misalnya orang-orang di kemendikbud. Para orangtua yang lebih bisa memfasilitasi anaknya dan yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan Indonesia inklusif yang tidak hanya menjadi jargon.
Terkait pandangannya tentang inklusivisme dalam film, menurut Ucu referensi pertama adalah Amerika. Tiga tahun ia tidak pulang, ada dokumen juga tentang production film yang dimiliki oleh Obama yang masuk nominasi oscar dan bisa dilihat perbedaannya. Lalu bisa dilihat My Disability Journey itu cerita tentang remaja down syndrome yang dibuat oleh bapak dan anak. Juga tentang bagaimana para aktivis di amerika berkumpul dan mereka ramai-ramai bikin America Disability Act (ADA).
Film-film tersebut memperlihatkan pada Ucu dengan jelas orang-orang yang memberikan kesempatan bukan hanya orang yang pernah memiliki kekuasaan kayak Obama, yang membuat production house dan yang paling pertama filmya adalah tentang disabilitas. Juga anak dengan downsyndrome yang bersama dengan bapaknya bikin film. "Sekarang saatnya semua kelompok menarasikan kelompoknya. Tidak butuh lagi orang-orang yang jadi jembatan representasi. Di Indonesia saya melihat ada beberapa organisasi yang sudah secara spesifik kayak teman Tuli sudah bikin film. Ada beberapa juga berkolaborasi dengan lain. Yang penting seharusnya kita sudah mampu, yuk. Yuk disabilitas mampu dan orang-orang seperti saya juga. Jadi bisa mengambil peran masing-masing. Kita berperan masing masing. Bikin skript teman-teman bisa. Teman Tuli bisa jadi kamera person. Seharusnya tahun depan kita bisa banyak melihat kreator-kreator. Dari komunitas dan teman-teman untuk meng-create karya sendiri," pungkas Ucu. (Ast)
Add a comment