Publikasi

JALA PRT Gelar Konferensi Pers Bersama Pemuda Desak Sahkan RUU PPRT

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pengesahan Rancangan Undang Undang  Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah terkatung-katung selama 21 tahun. Sampai hari ini DPR masih belum memperlihatkan keseriusannya untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT.  

Pada 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto sudah menjanjikan akan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT dalam waktu tiga bulan, namun janji tersebut tak pernah terbukti. Saat itu, Prabowo juga didampingi oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, yang juga menjanjikan DPR RI akan segera melakukan pembahasan dalam waktu satu pekan setelah tanggal 1 Mei 2025. Namun semua janji tersebut hanya menjadi pepesan kosong yang tak kunjung terwujud.

Pengesahan RUU PPRT ini akan menjadi pondasi penting bagi PRT dalam menjalankan pekerjaan. Selama ini, PRT bekerja tanpa perlindungan sehingga rentan mendapat perlakuan penuh kekerasan dan eksploitasi, bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia ketika mereka diperlakukan semena-mena dengan jam kerja panjang tanpa cuti dan istirahat yang memadai. Para PRT juga kerap diperlakukan tak layak karena hak mereka untuk mendapatkan upah yang sesuai selalu diabaikan karena dianggap bukan pekerja profesional.

Pentingnya pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT telah menjadi kesadaran bersama, termasuk di kalangan muda,  karena undang-undang tersebut akan menjadi bentuk kepedulian dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat bahwa PRT adalah pekerja dan manusia yang punya kesetaraan dalam perwujudan haknya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dan mengingatkan negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan yang layak dan setara bagi seluruh warganya.

Begitu latar belakang mengapa JALA PRT menyelenggarakan konferensi pers yang diikuti oleh beberapa elemen pemuda, Selasa (4/11). Seperti yang diucapkan oleh Derry Prima (Ketua BEM STHI Jentera)  bahwa ia  punya keresahan bersama. Menurutnya, ia dan kawan-kawan yang datang dari gerakan masyarakat sipil sudah sering dijanjikan tapi janji kosong. Kurangnya kemauan sipil, sering dipermainkan dengan janji yang sama sehingga sangat mendesak adanya political will dan jangan mau hanya dijadikan ceruk suara atau simpati maka butuh fakta atau bukti, ada yang untuk  membuka mata anggota DPR untuk segera mensahkan, meski realitas masih ada stigma dan bias maka tuntutannya adalah mendesak untuk segera mensahkan RUU PPRT, menolak bias yang timpang sebab keadilan bagi PRT bisa dicapai ketika hak terpenuhi.

Gabe Tobing dari  Suara Muda Kelas Pekerja Partai Buruh mengatakan bahwa paham dan tahu bagaimana perjuangan 4 juta pekerja rumah tangga yang bisa menopang  manusia.  Mereka bekerja 13 jam lebih lantas  bagaimana tidak mengalami  burnout. Gabe juga menyatakan  bahwa perjalanan RUU PPRT hanya  janji-janji dan kampanye-kampanye. Janji Prabowo tiga bulan mau disahkan tetapi hanya pepesan kosong namun ia yakin  solidaritas yang akan bisa memenangkan.

Dea M dari Departemen Pengembangan Organisasi EN LMID, Liga mahasiswa untuk demokrasi menyampaikan bahwa usia RUU PPRT sudah dewasa, sudah lebih dari 20 tahun tapi sampai sekarang disahkan padahal jutaan PRT  terus bekerja tanpa jaminan dan kepastian yang layak. “Ini manivestasi dari sistem. Anak PRT tidak sekolah lagi. Apakah benar-benar pemerintah Prabowo berpihak kepada rakyat? Apakah hanya meneruskan tradisi kekuasaan yang menindas rakyat kecil,”ungkapnya.

Feby, Waketum bidang Perempuan EN LMND menegaskan agar RUU PPRT segera disahkan karena hal yang sangat urgen. PRT harus dilindungi secara hukum, karena berdasar -asus kasus, mereka banyak PRT yang berupah sangat rendah.”Ini merupakan eksploitasi tenaga kerja yang diupah rendah. Mereka esploitasi SDA dan SDM,”ujarnya.

Wahyu Aji dari Indonesia Young Greens - PHI menyatakan bahwa pihaknya berpegang teguh pada sistem yang berkeadilan intergenerasi namun ada pertanyaan, 6-7% pertumbuhan ekonomi ke mana? Apakah sampai ke akar ke teman-teman PRT? Ia mengatakan bahwa menurut keadilan, sistem negara harus menjamin kesejahteraan masyarakat negara dari kelompok usia paling dini dan lansia. “Kawan kami Sumatera Barat, mereka perempuan di sisi kehilangan, alam diperparah rezim sawit, semakin memperburuk dan tidak bisa melaut dan memilih jadi PRT. Jadi PRT di Indonesia sulit dan tidak bisa tidak punya standar gaji/ padahal semua jenis pekerjaan harusnya punya standar minimum kesejahteraan. Itu namanya mendiskriminasi. Omon-omon politik sudah semakin massif,” ungkapnya. Ia menambahkan jika negara berterima kasih,jangan hanya di May Day saja maka segera sahkan RUU PPRT sekarang juga.  

Puspa  dari WSC Bandung Woman Studi Bandung menyampaikan dukungan penuh negara yang menjamin pemenuhan HAM  khususnya bagi PRT dan sebagian besar adalah perempuan. Pengesahan ini untuk memenuhi hak pekerja, dengan demikian RUU bukan hanya regulasi tapi juga langkah konkret.

Hanvah dari  INPES Bandung, mengatakan bahwa RUU PPRT adalah  potret paling jujur. Lebih dari 4 juta pekerja dan  lebih banyak perempuan, masih dipandang bukan sebagai pekerja. RUU  harusnya jadi simbol negara, tidak sedikit kasus kekerasan dan sebagian besar tidak diadili.  Ketiadaan perlindungan hukum bagi PPRT  dan  dengan membiarkan melihat orang dijadikan komoditas adalah zalim. “Pekerja Migran Indonesia (PMI)  kita kebanyakan pekerja rumah tangga, mendorong dari ruang privat ke sosial, upaya progresif. Kami melihat RUU PPRT  adalah perjuangan kelas, harus ada solidaritas lintas sektor,”ucap Hanvah.

Jen  dari Front Muda Revolusioner/FMR  mengatakan bahwa  diabaikannya RUU PPRT adalah wajah betapa tertidasnya PRT kita, padahal  PRT penyokong kehidupan sosial bangsa. Mereka teralienasi dari diri, pekerjaan sendiri, keluarga, komunitas mereka. “Ini sistem kerja tidak manusiawi maka kita membutuhkan sistem beradab. Ada penindasan berbasis kelas. Penindasan berbasis gender karena sebagian besar perempuan, anaknya ada yang melanjutkan, penindasan sebagai relasi kerja, pekerja yang tidak memiliki keahlian, kami serukan solidaritas lintas sektor. Supaya mereka mendapatkan jam kerja manusiawi. Memiliki hak cuti dan libur, karena PRT adalah kerja-kerja perawatan juga,”tegas Jen.

Agnes dari  Comrade, menyatakan bahwa PRT adalah sistem perekonomian kolonialistik, dan dianggap unskill. Menurutnya ini bukan perjuangan PRT sendiri. “Setahun terakhir kami mendesak RUU PPRT  disahkan. Kami juga dorong  kaum muda berbagai sektor desak pemerintah untuk mendesak untuk mensahkan,” pungkasnya.

Vania dari  Amnesti Internasional Indonesia menyampaikan hal yang menyedihkan karena seolah-olah persoalan ini  diserahkan  ke generasi muda. “PRT sangat  rentan terutama hak -haknya. Mereka butuh payung hukum untuk melindungi, 21 tahun menunggu itu sama dengan kalau  anak kemudian jadi mahasiswa yang sudah skripsi. Mengapa lama? Karena anggota DPR adalah orang-orang kaya yang punya PRT. Sungguh disayangkan kenapa lama tidak disahkan, padahal sempat masuk prolegnas,”pungkasnya. (Ast)