Perdamaian diri penting bagi seorang relawan inklusi yang banyak berhadapan dengan kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan disabilitas. Sebab dengan perdamaian diri maka tidak mudah mengalami burnout, tidak lelah fisik dan bisa menyeimbangkan antara pikir dan rasa. Mendampingi itu dengan tidak menyerap semua luka dan sebagai pendamping/relawan sangat dihindari terjadinya secondary trauma.
Secondary trauma adalah tekanan emosional atau psikologis yang timbul akibat terpapar secara tidak langsung terhadap pengalaman traumatis orang lain, seperti melalui cerita, gambar, atau kesaksian langsung. Kondisi ini berbeda dari trauma langsung karena tidak melibatkan pengalaman pribadi yang traumatis, tetapi justru muncul karena empati dan paparan terhadap cerita atau bukti trauma orang lain, dan sering dialami oleh profesional seperti pekerja sosial, petugas pertolongan pertama, dan tenaga kesehatan.
Menjadi diri yang utuh, menjadi pendamping, apa yang dilakukan untuk teman disabilitas dan korban, yang mungkin relawan mengerti bahwa hanya mendampingi. Padahal harus ada di tahapan empati bukan simpati, begitu yang disampaikan oleh Dorkas Febria, fasilitator dari Yayasan YAPHI pada sesi pertama di pelatihan ke-3 Relawan Inklusi (Relasi), atau disebut Kelas Relasi yang dihelat oleh Yayasan YAPHI bersama Jaringan Visi Solo Inklusi di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, Selasa (28/10).
"Jika kita tidak memiliki batas diri, mungkin akan larut dalam luka. Sering merasakan dan mempertanyakan diri, sehingga perlu ada batasan yang kuat. Bisa hadir secara penuh, dimana dalam melakukan pendampingan teman disabilitas dengan memberikan yang terbaik, "terang Dorkas.
Jika seorang relawan inklusi masuk kepada tanda tidak berdamai dengan diri seperti terus menyalahkan diri sendiri, merasa tidak layak, mudah marah, frustasi, menyimpan dendam, sulit fokus, ketika mendampingi sulit tidur, gelisah, merasa lelah terus-menerus hingga menceritakan pengalaman korban kekerasan, sampai terbawa mimpi, bangun tidur segar tapi ternyata malah capek. Jadi ketika tidak bisa membatasi, maka akan merasa lelah terus-menerus.
Dorkas kemudian menyampaikan terkait perlunya prinsip ruang aman, bahwa setiap orang diterima artinya tanpa penilaian, pengalaman, dan perasaan semua dihargai. Ruang aman adalah orang yang aman, fasilitas yang aman, dan aktivitas yang aman. Relasi yang aman berarti bebas dari relasi kuasa, dan hadir dalam semangat saling menghormati tanpa paksaan untuk berbagi karena setiap manusia semestinya setara. Bahkan bahasa juga harus dengan bahasa yang aman, dimana terbebas dari stigma dan candaan yang seksis.
"Perspektif saya langsung saya ubah, ketika mendapatkan pengetahuan tentang perdamaian diri"kata Adnan.
Selain memberikan pemaparan terkait perdamaian diri, sesi pertama pelatihan juga mengajak 22 peserta untuk berpraktik mindfulness dengan hening sejenak difasilitasi oleh Vera. Vera mengajak peserta melakukan meditasi dan kemudian kembali kepada kesadaran.
Adnan, salah seorang peserta Kelas Relasi dalam forum saat sesi diskusi menyampaikan bahwa banyak manfaat yang ia peroleh ketika mendapatkan pengetahuan tentang kerelawanan. Sebab ia berterus terang, sejak beberapa waktu lalu telah menyediakan dirinya menjadi relawan teman curhat di media sosial. Ia menceritakan pengalamannya tatkala mendampingi orang yang ingin menyakiti dirinya sendiri. Adnan kemudian mengalihkan perhatian si orang tersebut dan kemudian lebih mendengarkan cerita-ceritanya.
Menurut Adnan, dengan diberinya sesi perdamaian diri, ia lantas bisa menggeser perspektifnya, alias mengubah paradigma bahwa menjadi seorang relawan harus tahu batas dan banyak hal lagi yang bisa ia pelajari. Maka dengan itu ia kemudian mempunyai waktu lebih untuk mempersiapkan diri dengan diri yang penuh terlebih dahulu. "Ada tenaga yang besar yang saya butuhkan maka saya bisa menanggapi curhat satu persatu dan siap melakukan volunteer, " ungkap Adnan. (Renny Talitha/Ast)


