Publikasi

Omel-Omel MBG : Ambisi Politik dalam Lingkaran Patriarki

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Makan siang gratis adalah salah satu program unggulan yang selalu ditekankan dalam setiap kampanye Prabowo Subianto dengan gaya gemoy-nya. Sejak presentase suara menunjukan kemenangan ada di kubu Prabowo-Gibran, makan siang gratis adalah salah satu program yang paling ditunggu-tunggu realisasinya. Betapa tidak, bayang-bayang ngirit uang jajan sudah di depan mata. Pada 6 Januari 2025 secara serentak di beberapa wilayah Indonesia program unggulan Presiden Prabowo dimulai dengan nama yang lebih indah Makan Bergizi Gratis (MBG), artinya tak sekadar gratis tetapi bergizi.  Luar Biasa ! (dengan nada takjub ditambah emot tepuk tangan).

Terlepas dari tujuan kompleks dari Prabowo yang mengatakan bahwa MBG bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang diharapkan di masa mendatang akan mengurangi angka kemiskinan, yang menarik adalah Prabowo yang seorang laki-laki turut memikirkan ‘gizi anak’ yang selama ini dipandang sebagai tanggung jawab perempuan atau seorang ibu. Urusan dapur naik ke panggung politik.

MBG berjalan bertahap, para orang tua terutama ibu-ibu mulai memposting MBG yang diterima anak-anak mereka. Sebagian memuji namun banyak juga yang mempertanyakan dimana letak “gizi” dari makanan yang diterima oleh anaknya.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat per 27 September 2025 sebanyak 8.649 anak menjadi korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah. Media sosial menampilkan anak-anak yang tergeletak lemas, sebab makanan yang digadang-gadang bergizi tetapi membikin sakit diri. Ekspektasi mengurangi stunting, membuat anak cerdas dan di masa mendatang akan mengurangi kemiskinan adalah mimpi yang terasa semakin jauh untuk terwujud. Bisa makan tanpa berefek muntah dan diare saja sudah untung.

Sejumlah daerah telah menetapkan kasus keracunan MBG sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Di mesin pencarian ketika mengetik kata kunci KLB di Indonesia maka akan menampilkan berita soal KLB Campak, KLB Polio, KLB Demam Berdarah, KLB Rabies, KLB Hepatitis A. Mayoritas KLB di Indonesia berasal dari penyakit menular yang sulit dikendalikan manusia. Sungguh bukan hal sepadan jika MBG masuk dalam deretan KLB. Bukan karena perbandingan jumlah korbannya, tetapi dilihat dari siapa si pemegang kendali. Penyakit menular jelas sulit dikendalikan dan butuh intervensi besar namun MBG sudah jelas siapa yang bisa mengendalikan. Namun sayang si pemegang otoritas sedang dalam ambisi pembuktian diri. Bodo amat dengan dampak, yang penting janji politik terceklis.

Teriakan “HENTIKAN MBG” mulai terdengar, bahkan semakin masif. Tetapi respon yang diberikan pemerintah justru respon slengekan tanpa empati.

“Bisa dikatakan yang keracunan sejumlah 200 orang. Itu 200 dari tiga koma sekian juta (3,4 juta penerima), kalau tidak salah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen,” kata Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 5 Mei 2025. 

"Bahwa ada kekurangan iya, ada keracunan makan iya. Kita hitung dari semua makanan yang keluar, penyimpangan atau kekurangan atau kesalahan itu adalah 0,00017 persen," ujar Prabowo dalam penutupan Munas ke-VI PKS di Hotel Sultan, Jakarta, Senin 5 September 2025.

“Kekurangannya itu juga karena adat istiadat, budaya kita. Saya masuk ke satu ruangan, ada 30 orang anak-anak. Yang mau pakai sendok ada 20, yang enggak mau pakai sendok 10. Ya, tidak salah, dia terbiasa makan tidak pakai sendok,”

Alih-alih mengakui dan memasang badan untuk siap bertanggungjawab, pencetus program dan pejabat sesama circle itu justru hanya melihat anak-anak sebatas data statistik. Jumlah yang keracunan dinilai tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah yang tidak keracunan. Tidak cukup di situ, dalam pernyataannya yang salah bukan penyusun kebijakan bukan juga sistem pengawasannya, yang salah adalah anak-anak yang makannya muluk dan tidak cuci tangan. Niatnya mulai terbaca, MBG bukan karena pemimpin negara dengan sadar mikirin gizi anak tetapi unjuk gigi untuk ambisi politiknya.

Usut punya usut berbagai pihak yang kewanen mulai spill secarik kertas yang isinya larangan publikasi jika terjadi keracunan, ada pula yang isinya soal kesepakatan orang tua untuk anak mereka jadi sasaran program MBG termasuk di dalamnya mau tidak mau harus menerima dengan lapang dada jika anaknya keracunan karena orang tua tidak boleh menuntut pihak sekolah. Inilah cermin patriarki, penindas dan pembungkam.

Urusan dapur_domestik_  dianggap sepele jadi dirasa tak perlu perencanaan matang, tak perlu penguatan sistem. Apa susahnya memberi makan anak? Hanya perlu orang yang memasak, alat masak, bahan masakan, kemas, lalu distribusikan. Selesai. Simple. Sepele. Begitu mungkin pikirnya.

Diakui atau tidak, ketika berita berseliweran menampilkan ribuan anak mengalami keracunan membuat perempuan sebagai ibu merasakan kegeraman. Hal ini dibuktikan dengan munculnya aksi-aksi yang dilakukan di beberapa wilayah seperti Yogyakarta dan Jakarta. Berbeda dengan aksi yang sempat terjadi beberapa waktu lalu, aksi kali ini didominasi oleh perempuan. Mengapa?

Steriotipe atau tipikal dalam masyarakat patriarki, tanggung jawab utama menjaga keluarga terutama kesehatan dan urusan makan anak sering dilekatkan pada perempuan. Ibu dipandang sebagai sosok yang mengurus dapur, memilih bahan makanan, dan memastikan anak sehat. Maka, ketika ribuan anak mengalami keracunan akibat MBG, yang paling terguncang adalah para ibu. Tentu bukan tanpa alasan, karena mayoritas ibu-ibu lah yang harus merawat anak-anak yang keracunan, bolak-balik rumah sakit, kehilangan jam kerja, bahkan merasakan trauma psikologis.

Lagi dan lagi, kegagalan kebijakan publik justru memperberat beban para perempuan. Maka tak heran perempuan bersuara lantang. Sebagian tampil demo dengan alat masak ditangannya dan sebagian membisik kuat anak-anak mereka untuk tidak memakan MBG yang diterima. Tidak peduli mubazir, karena nyawa anak mereka lebih berharga. Dari sinilah lahir solidaritas perempuan. Rasa empati ibu-ibu tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri, melainkan juga pada ribuan anak lain di seluruh Indonesia. Empati yang menjelma menjadi kekuatan yang diharapkan mampu menjadi alat tekan pemerintah untuk melakukan evaluasi.

Program MBG menjadi salah satu program yang dirancang dan diputuskan secara sentralistik oleh negara. Minim keterlibatan perempuan, baik ibu rumah tangga, guru, maupun komunitas lokal dalam merancang atau mengawasi pelaksanaan program. Wajah patriarki: keputusan dibuat oleh struktur maskulin di atas, tetapi ketika gagal, yang menanggung beban adalah rakyat (perempuan) di bawah.

Ketika ibu-ibu turun ke jalan dengan membawa panci, wajan, atau spatula, mereka sedang mengubah simbol domestik menjadi senjata politik. Dalam budaya patriarki, alat dapur dianggap bagian dari ranah perempuan yang kurang penting bahkan dipandang rendah. Namun dalam aksi MBG, justru benda-benda inilah yang dipukul keras di ruang publik untuk menyuarakan protes.

Akhirnya, omel-omel ini adalah suara yang jelas terlalu lirih untuk di dengar tetapi setidaknya wujud pembuktian diri bahwa ‘aku masih seorang manusia’. (Dorkas Febria Krisprianugraha)

Catatan Redaksi : 

Jika Anda resah melihat penyimpangan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekitar Anda dan bingung mau melapor kepada siapa, Anda bisa melapor, mengawasi dan bersuara melalui : 

website :mbgwatch.org

WhatsApp Chatbot : https://wa.me/6281122225157

Formulir Pengaduan :http:/mbgwatch.org/form