Shinta Barasa, pendiri gerakan Indonesia Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus saat menjadi narasumber webinar yang dihelat oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) bertema “How to Support of Children with Special Needs," Kamis (16/10), mengajak para peserta untuk mengedepankan kesadaran sosial dan kekuatan mental sebagai faktor utama dalam pendampingan anak. Ia menekankan bahwa orang tua tidak hanya membutuhkan panduan teknis, tetapi juga dukungan emosional. Ia juga bercerita tentang pengalaman bagaimana orangtua di Tanjung Selor, Kalimantan harus naik speedboat selama dua jam setiap hari untuk mengakses layanan, hal yang akan sama dilakukan oleh para orangtua anak berkebutuhan lainnya yang tinggal di pelosok.
Shinta juga menyampaikan beberapa tantangan orangtua ABK untuk pemenuhan hak-haknya : 1. Mendapatkan akses layanan diagnosa, 2. Mendapatkan layanan kesehatan, 3. Mendapatkan layanan pendidikan, 4. Mendapatkan layanan terapi, 5. Jaminan lifelihood anak dengan mendapatkan kesempatan pelatihan dan bekerja. Menurutnya, yang jadi masalah adalah selama ini tidak ada satu pintu untuk melakukan sosialisasi, artinya masing-masing dinas melakukan sosialisasi sendiri-sendiri. Sehingga beberapa orangtua dapat mengikuti sosialisasi dan hanya mereka saja yang bisa menyempatkan hadir, sedangkan yang tidak hadir, tidak bisa mendapatkan sosialisasi.
Sisi terakhir webinar menghadirkan narasumber ketiga Ran Wenas, dosen Pendidikan Anak Usia Dini dari Victoria University, Australia. Dalam paparannya, ia memperkenalkan pendekatan inklusif khas Australia yang mengusung konsep “whole image of the child”, yakni melihat anak sebagai pribadi anak yang utuh, bukan sekadar label seperti “Autis”.Menurutnya, pendidikan perlu beralih dari pelabelan menuju penghargaan terhadap keberagaman cara berpikir dan belajar. Wenas menekankan dukungan utama yang dibutuhkan orang tua dari guru.
Penting bagi pendidik untuk memiliki informasi yang akurat. Ran Wenas mengingatkan agar guru tidak sembarangan menyebutkan diagnosis kepada orang tua, seperti mengatakan “Anak ibu mungkin mengalami spektrum autis” tanpa pengalaman yang utuh, mengenai apa itu autis dan bagaimana dampaknya terhadap proses belajar anak. Ia menyampaikan strategi layanan Pemanfaatan Artifisial Intellegence – WhatsApp dan Gemini/Chat GPT, 2. Pengenalan assistance technology – two tech and high tech, 3. Snow Ball training untuk orangtua, guru dan terapis, agar terbentuk tanggung jawab dan keterlibatan., 4. Annual training dan supervisi pada kader posyandu dan puskesmas sebagai preventif dan intervensi dini., 5.Terapi dengan pendekatan penggunaan inventory/resources lingkungan sehingga terapi lebih fungsional dan efektif., 6.Endowment fund yang dikelola oleh pemerintah atau Lembaga terpercaya untuk jaminan keluarga ABK dan 7.Penyediaan Handbook sebagai guide orangtua ABK. (Ast)


