Publikasi

PSPK Gelar Bincang Pendidikan Bertema RUU Sisdiknas dan Masa Depan Evaluasi Pendidikan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) bersama Konsorsium Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (KMPPI)  mengadakan bincang pendidikan bertema RUU Sisdiknas dan masa depan evaluasi belajar, Rabu (8/10).

Acara ini adalah bagian dari seri diskusi dan media brifing serta diskusi publik. Merupakan kerja sama konsorsium berbagai lembaga yang menyatukan aspirasi dari berbagai kalangan.  KMPPI berusaha menampung ide dari berbagai masyarakat yang nantinya akan diadvokasi ke DPR RI dan selama ini sudah melakukan tiga kali. Terakhir yakni rapat dengar pendapat umum yang mempresentasikan beberapa hasil diskusi di komisi 10. Rencananya, hasil diskusi ini akan digunakan untuk kegiatan advokasi selanjutnya di DPR RI.

Nisa Felicia, Direktur Eksekutif PSPK mengatakan bahwa sejak didirikan 2015, PSPK selalu berusaha mengadvokasi kebijakan yang menguatkan anak indoensia sebagai senter pendidikan dan keberpihakan kepada anak. Melalui riset dan advokasi yang melibatkan berbagai komunitas sehingga proses kebijakan berbasis bukti. PSPK tidak abai faktor di luar sekolah dan membuatnya sebagai faktor.

Peran PSPK antara lain sebagai pemantik berbasis web, mendorong intervensi berbasis data untuk penguatan literasi dan numerasi yang kolaboratif, penguatan kebijakan, penguatan ekosistem peneliti.

Dimoderatori oleh Angela Merici bahwa diskusi ini menarik momentum yang baik karena membahas topik spesifik yang saat ini sedang dibahas di DPR sehingga apa yang didiskusikan bisa menjadi masukan ke DPR.

Narasumber  pertama, Anindito Aditomo, anggota dewan pakar PSPK. Dulu kepala pengembangan  kurikulum pendidikan dan mekanisme asesmen, dan saat ini fullbrigt scholarship di Harvard University. Anindito Aditomo mengemukakan alur presentasi terkait fungsi evaluasi sistem Pendidikan oleh pemerintah dalam tata Kelola berprinsip otonomi dengan akuntabilitas, kekuatan dan keterbatasan evaluasi sistem pendidikan oleh pemerintah, serta implikasinya  terhadap desain asesmennya dan usulan substansi norma undang-undang yang mengatur evaluasi  pendidikan.

Kalau secara teoritis yang dimantapkan dahulu terkait otonomi sekolah itu, guru dan kepala sekolah dikuatkan profesionalitasnya. Lalu sekolah ditingkatkan manajemen berbasis sekolahnya. Ada di Undang-undang Sisdiknas dan mereka diawasi oleh pengawas masing-masing. Lantas memberikan pembiayaan per murid. Ada public privat partnership.

Terkait evaluasi sistem sebagai instrumen “kendali jarak jauh”, evaluasi pendidikan oleh pemerintah adalah bagian dari sistem akuntabilitas yang berfungsi untuk : 1. Memastikan bahwa masyarakat mendapat layanan Pendidikan yang memenuhi kriteria minimal dan 2. Mendorong perbaikan kualitas secara berkelanjutan menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dari jauh, tanpa melakukan micromanagement terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan tersebut.

Penggunaan evaluasi pendidikan oleh pemerintah untuk menilai hasil belajar murid tidak konsisten dengan pemberian otonomi pada sekolah dan profesionalisasi guru. Pengecualian dapat diberikan dalam konteks sertifikasi profesi tertentu sebagai public goods yang perlu dijamin standar kompetensinya, oleh pemerintah seperti guru, dokter dan beberapa profesi lain.

Maka usulan substansi norma undang-undang terkait evaluasi pendidikan : 1. Tempatkan evaluasi sistem Pendidikan sebagai bagian dari mekanisme akuntabilitas yang menjadi penyeimbang dari pemberian otonomi pada sekolah dan guru sebagai pendidik professional. 2. Definikan fungsi evaluasi sistem oleh pemerintah sebagai instrument untuk memberi jaminan (perlindungan) pada masyarakat dan untuk mendorong peningkatan kualitas secara berkelanjutan. 3. Penegasan tentang peran pemerintah dalam melakukan  evaluasi Pendidikan agar tidak menggantikan dan justru perlu menguatkan peran professional guru dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar muridnya dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara lebih menyeluruh.

 Bukik Setiawan, penggerak pembelajaran yang memerdekakan, Ketua Komunitas Guru Belajar Nusantara dan  Jaringan Sekolah Merdeka Belajar, salah satu inisiatif temu pendidik nusantara dan sudah go internasional menjadi narasumber berikutnya. Ia memaparkan terkait apa peran guru dalam menindaklanjuti hasil evaluasi sistem dan evaluasi hasil belajar anak untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran serta  apa metode pengembangan pembelajaran yang relevan dan efektif untuk menindaklanjuti hasil evaluasi (evaluasi sistem maupun belajar anak). Menurutnya, bicara perencanaan pembelajaran. Guru bisa membuat sendiri atau melibatkan rekan sejawat di kelompok kerja guru. Diperiksa kepala sekolah dan diperiksa lagi pengawas. Dibahas secara kolektif oleh rekan sejawat. Pengawas juga punya tugas pokok melakukan supervisi ke kelas. Alat asesmennya juga diperiksa oleh kepala sekolah  dan pengawas sekolah dan hal ini menguras energi.

Bukik menandaskan bahwa pembelajaran dalam satu hal intensinya beda dengan peningkatan belajar. Ia membedakan antara manajemen pendidikan dan pengelolaan pembelajaran. Di segmen pengelolaan pembelajaran, seharusnya secara kualitas akan mengalami peningkatan. Siklus kedua yang melakukan manajemen pendidikan, dari manajemen di kota, hingga pusat. Manajemen pendidikan  relatif tidak melakukan evaluasi pendidikan.

Lantas secara metode apa yang bisa dilakukan? Responsif teaching atau pembelajaran adaptif, atau penelitian tindakan kelas meski terlalu kompleks. Ada dua yang relatif umum : Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau lesson study. Keduanya relatif lebih besar dan yang terjadi formalitas peningkatan pembelajaran. Yang lebih berdampak adalah peer coaching. Di Guru Belajar Nusantara, community peer coaching, guru insightfull, otentik seperti yang terjadi di lapangan. Tidak seperti arah kebijakan saat ini yang terjadi ke PTK yang terlalu berat dan kompleks sehingga tidak terlalu direkomendasikan.

Dampak peningkatan pembelajaran hanya berdasar hasil belajar murid dan kinerja guru : 1.Beban psikologis murid; Murid merasa dihakimi hanya dari nilai, bukan proses. Bisa muncul tekanan berlebihan, hilangnya motivasi intrinsic, bahkan mogok belajar, 2. Guru kehilangan kesempatan refleksi; Guru tidak terdorong untuk melihat praktik mengajarnya secara mendalam. Padahal data lain (formatif, respon murid/orangtua, evaluasi sistem) bisa menjadi sistem yang lebih kaya., 3.Reduksi  Makna Belajar ; Belajar dipersempit jadi sekadar nilai akademik. Aspek penting lain seperti motivasi, karakter, kreativitas dan keterampilan sosial terabaikan., 4. Tindakan perbaikan bersifat parsial ; Guru cenderung hanya fokus pada remedial atau drilling materi yang salah. Akar masalah lain (strategi pembelajaran, iklim kelas, atau dukungan sekolah) tidak tersentuh, 5. Mengabaikan dimensi sistem dan konteks ; Evaluasi sistem pendidikan yang memberikan gambar makro jadi terabaikan. Tidak ada dorongan untuk membangun sistem dukungan bagi guru dan sekolah.

Berikutnya narasumber ketiga, Patrya Pratama, mengemukakan tentang kompetensi yang dibutuhkan guru ketika guru menyusun evaluasi. Ia lebih spesifik bicara kompetensi. Menurutnya, mengapa alur ini penting karena bisa dibicarakan ketika proses pembelajarannya sudah jelas. Ketika sistemnya mau dibawa ke mana.

Bicara tentang kompetensi itu adalah salah satu hal yang ada dulu. Apa dibicarakan perlu disinkronkan satu sama lain untuk membuat lebih baik.

 

Sesi Tanya Jawab dalam Diskusi

Beberapa pertanyaan mencuat seperti, sejauh mana mempertimbangkan keberadaan Artificial Intellegence (AI)? Anindito menjawab bahwa AI menjadi infrastruktur seperti listrik zaman dulu. Singkatnya kecerdasan buatan ini semakin banyak kompetensi sikap dan nilai esensial yang dilakukan ujian standar. Banyak ujian yang sudah diukur oleh pemerintah apalagi pemerintah jarak jauh.

“AI sangat tergantung prompt dan imajinasi atau values, bagaimana melontarkan pertanyaan yang baik. Maka  diperlukan kemampuan untuk memahan diri untuk tidak terbiasa jalan pintas. Kalau Anda murid, AI hasilkan esai jauh lebih cepat dan mudah,” jawan Anindito.

Ia menambahkan AI adalah godaan sangat besar untuk jalan pintas pembelajaran.  Kemampuan menahan diri tidak bisa diukur padahal hal ini berhubungan terkait soal regulasi diri, emosi, kejujuran. Maka jawabannya perlu fokus dan tergantung  profesionalitas guru, kaitannya apa yang disampaikan oleh narasumber sebelumnya juga pada peningkatan pembelajarannya dan peningkatan kompetensi.

Terkait AI, Bukik menjawab bahwa  sebagai manusia semestinya  merancang kemanusiaan. Menurutnya  guru setengah mati bukan karena AI tapi kebijakan yang telah dirumuskan dan kesulitan-kesulitan menghadapi Ujian Nasional (UN), Tes Kemampuan Akhir (TKA), serta tekanan untuk mengontrol nafsu manusia. “Itu saja belum tuntas. Maka akan setengah mati guru mengatasi tantangan AI. AI adalah  faktor yang perlu ditambah unsur  pengembangan sistem kemanusiaan itu sendiri,”ungkap Bukik.

Menjawab salah satu pertanyaan peserta diskusi hubungannya dengan  arah dari tiga pembicara yakni tentang  perlu adanya pembagian mana yang jadi kewenangan guru dan mana yang bukan.  Tetapi terkait evaluasi hasil belajar murid,  sama seperti profesi lain, yang ia punyai adalah  kewenangan tertentu dan dibatasi kompetensi serta kode etik. Ketika bicara profesi guru, maka kewenangan guru itu apa? Normatif yang guru lakukan di Undang-undang Dosen dan Guru,  adalah  penyusunan rencana pembelajaran, melakukan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran.

Demikian pula agar guru diakui profesinya maka  ketika menyusun sistem atau regulasi yakni dengan menjaga agar guru dapat melakukan kewenangan tersebut. Mengapa guru harus bisa? Karena guru yang berinteraksi dengan muridnya,  jauh berasa jawaban-jawaban yang ada di atas kertas. (Ast)