Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Festival HAM ke-10 akan berlangsung pada 29–31 Juli 2024 di Kota Bitung, Sulawesi Utara dengan mengambil tema “Memajukan Demokrasi, Pemenuhan HAM, dan Penguatan Partisipasi Masyarakat melalui tanggung jawab negara dari daerah hingga nasional”. Secara resmi, Festival HAM awalnya menjadi inisiasi INFID dan Komnas HAM pada 2014. 



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pada 11 Maret 2024 Pemerintah Indonesia menjalani sidang Tinjauan Penerapan Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Badan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dipimpin oleh Komite ICCPR di Palais Wilson, Jenewa pada tanggal 11-12 Maret 2024. Melalui sidang ini, Indonesia diminta untuk menjawab dan mengklarifikasi pertanyaan dari berbagai negara pihak ICCPR terkait dengan implementasi konvensi di Indonesia.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Sebuah inisiatif dilakukan oleh Dante Rigmalia, Ketua Komisi Disabilitas Nasional (KND), seseorang dengan disleksia dan disabilitas Tuli ringan saat pemilu 2024 lalu. Untuk mengantisipasi bahwa pemilu akses bagi dirinya, ia harus pertama yang datang ke TPS. Ia sudah menentukan dulu pilihan sebelumnya karena mengakui bahwa koordinasi geraknya nanti pasti tidak bagus sebab ruang untuk memilih kecil sedangkan kertas besar (kertas suara Pileg).


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif), merilis laporan pemantauan pada Pemilu 2024 (Jumat, 22 Maret 2024). Laporan pemantauan menunjukkan pelanggaran yang dialami pemilih difabel selama proses penyelenggaraan Pemilu 2024.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh dua orang aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait pencemaran nama baik, Kamis (21/3). Putusan ditandatangani oleh Suhartoyo, Ketua MK dan delapan anggota hakim konsistusi dan diunggah di situs resmi MK pada Kamis (21/3).

"Dalam pokok permohonan, satu, mengabulkan permohonan para pemohon (Haris dan Fatia) untuk sebagian,"bunyi putusan nomor 78/PUU-XXI/2023. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Arsul Sani, Hakim Konstitusi, Mahkamah berpendapat unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan" yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapa menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjad "pasal karet" yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dmaksud "pasal karet" adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi. Masyarakat dapa memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperolehnya adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berlebihan. "Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut," ucap Arsul dikutip dari laman MK. Menurut  Arsul , jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara.

Sebelumnya, Haris, Fatia, dkk menggugat pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam berkas permohonannya, Haris dkk meminta MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP, Pasal 310 ayat (1) KUHP; dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal.

Haris dan Fatia pernah diadili di PN Jakarta Timur dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam perkara itu, Haris dan Fatia divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Setiap pasal tersebut disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Saat itu majelis hakim juga meminta harkat dan martabat kedua terdakwa dipulihkan seperti semula. Namun demikian, JPU justru mengajukan upaya hukum kasasi. (ast)