Dalam rangka sinkronisasi dan evaluasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) kota Surakarta bersama jejaring lembaga penyedia layanan dan kecamatan serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti dinas sosial, dinas kependudukan dan catatan sipil, dan lainnya, menyelenggarakan rapat koordinasi yang berlangsung di Ruang Manganti Praja, Komplek Balai Kota, Selasa (29/4).
Purwanti, Kepala Dinas DP3P2AKB dalam sambutannya menyatakan bahwa kasus kekerasan kuncinya adalah koordinasi dan sinergi. Selain itu sudah ada MoU atau lembar kesepakatan dengan para lembaga penyedia layanan yang diharapkan bisa optimal kordinasi antar lembaga tersebut yakni terkait aspek kesehatan dengan rumah sakit, aspek rehabilitasi dengan dinas sosial, dan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Dengan efektivitas yang sesuai harapan, maka diharapkan kasus bisa ditangani secara komprehensif, baik penjagaan aspek psikis, medis, aspek hukum dan manakala ada upaya pendampingan hukum.
Dengan kehadiran Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), terkait perlindungan anak dan perempuan bisa optimal kehadirannya ini bisa dilihat dari penanganan kasus dan upaya pencegahannya. Dalam konteks perlindungan perempuan dan anak, tidak hanya dari aspek penanganan kasus saja tapi bagaimana dengan dampaknya terhadap penurunan kasus. Maka data ini secara komprehensif bisa digunakan untuk menentukan kebijakan, baik oleh OPD maupun wilayah misalnya kecamatan. Di lingkungan atmosfir Surakarta akan mendapat perlindungan, dan siapapun, untuk memberikan pelayanan secara komprehensif. Dan kegiatan ni diharapkan tidak akan berhenti di level meja tetapi aplikasi di tingkat lapangan. karena berbicara komprehensif adalah efisien dan efektif. Apalagi hal ini kaitannya dengan mengatasi masalah-masalah terkait kekerasan.
Purwanti kemudian menyampaikan hingga bulan Mei ini terkait kasus kekerasan, sudah lebih 30 kasus, dengan korban perempuan dan anak. Tahun lalu ada 170 kasus. Meskipun mungkin UPTD PPA banyak mengetahui, jadi kasus yang lokusnya tidak terjadi di Surakarta dilaporkan ke Surakarta. Jadi, dinas kemudian melaporkan ke provinsi bahkan pemerintah pusat.
Pentingnya Sinkronisasi Data
Dr. Rina Herlina Haryanti, S.Sos, M.Si, narasumber dari LPPM UNS mengatakan bahwa penting untuk dilakukan sinkronisasi data yakni suatu proses menjaga kesamaan atau konsistensi informasi di antara dua atau lebih sistem atau perangkat. Harusnya untuk kekerasan seksual punya data secara holistik sehingga semua paham terkait data kekerasan di kota Surakarta. Tujuan sinkronisasi data yakni memastikan bahwa informasi terkait kekerasan, dapat dikelola dan dipertukarkan secara efektif, misalnya dari pihak rumah sakit yang menangani kasus, memiliki data yang mana. Mungkin juga misalnya Forum Anak juga tidak memiliki keseluruhan proses sinkronisasi data ini sehingga memudahkan sistem dan efektif untuk menangani kasus.
Menurut Rina, persoalan data in harus ada korelasi dengan berbagai lembaga dan ada konsistensi. Bagian dari akurasi adalah bagaimana data itu, apakah bergeser atau tidak. Jika data sudah bersih dan valid maka akan mempercepat penanganan. Hal itu menambah perlindungan kepada korban.
Narasumber lainnya, Kepala UPTD Siti Taqtiroh menyatakan, dilihat dari konteks Sumber Daya Manusia (SDM) dari data yang dipaparkan, tercatat jumlah tenaga medis, psikolog, pendamping agama, dan konselor yang masih terbatas. Ada dua konselor di UPTD tapi ini pun terbatas.
Sesi Diskusi Meraup Masukan dari Lembaga Penyedia Layanan
Fitri Haryani dari Spekham dalam sesi diskusi yang dipandu oleh Shoim Sahriyati, Direktur Yayasan Kakak, menyatakan bahwa soal sikronisasi data ini harus disepakati karena banyak jejaring yang hadir dan kaitannya dengan Memorandum of Understanding (MoU) yang jadi bagian bersama dan bisa dikatakan jejaring pengalaman yang sama dan sama dituju, lantas siapa yang jadi tanggung jawab pangkalan datanya? Banyak data dimiliki berbagai Civil Society Organization (CSO), Non Government Organization (NGO) dan dan lembaga layanan Pos Pelayanan Terpadu (PPT) yang terdapat di 54 kelurahan yang punya keterkaitan data yang dipotret jadi satu. Lantas siapakah pangkalan datanya? Ini penting untuk aspek keamanan, berkaitan pangkalan memuat apa saja dan apakah by name by address saja atau data umum.
Fitri menambahkan data yang mau diambil selain dari pangkalan bisa juga memakai semacam strategi sinkronisasi secara reguler atau kwartal dan lembaga apa saja yang bisa mengakses serta bagaimana koordinasi efektif dan aksi program selalu dilakukan. Ini bukan hanya tentang data tetapi strategi penanganan. Sebab kalau penanganan per kasus, sebenarnya bukan hanya kebutuhan, tetapi banyak akses. “Koordinasi antar jejaring misal membahas tantangan. Bisa jadi program akhirnya, atau jadi bahan untuk pangkalan data memiliki panduan. Jadi salah satu bagian penanganan lalu dikembangkan menjadi suatu pembelajaram baik di kemudian hari,”ungkap Fitri.
Melki dari ATMA mengatakan kalau berbicara soal kejadian kekerasan , kejadiannya di Surakarta, maka jumlah yang telah dipaparkan bisa sepuluh kali lipat. Karena ATMA bahasa perspektif korban dan administrasi dalamnya, bentuk kependudukan dan administrasi. Melki mengajukan pertanyaan, kalau korban di luar yang ber-Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surakarta apa dilaporkan ? Sehingga ia merasa perlu sekali sekali riset data untuk pelaku kekerasan sebab saat ini sangat tinggi. “Pelaku orang Surakarta ini tinggi bisa dilihat ada korelasi nggak? banyak kejadian seperti itu. Mungkin data kepolisian dan kejaksaan lebih banyak. Pelaku orang Surakarta korban bukan orang Surakarta,”tanya Melki. Belum lagi misalnya anak sebagai pelaku apakah lembaga layanan memiliki perspektif korban atau tidak? Tahun 2024 dan 2023 lembaga ATMA menanganikasus perguruan silat dan mempunyai perspektif anak pelaku adalah korban.
Dorkas dari Yayasan YAPHI menanggapi terkait data yang disampaikan bahwa tidak ada korban kekerasan laki-laki alias angka Nol. Perlu dipertanyakan mengapa demikian ? dan apakah betul ? Sebab di Yayasan Yaphi pernah beberapa kali menerima konsultasi korban laki-kaki. Dorkas mempertanyakan apakah ini salah satu wujud budaya patriarki karena judulnya adalah perlindungan perempuan dan anak. Menurutnya mungkin ada semacam keraguan di masyarakat melapornya ke mana. Terkait evaluasi di Kota Surakarta, Dorkas menyatakan bahwa layanan sudah lebih terintegrasi dibanding kebupaten yang lain. Namun begitu, ia masih menemukan kendala ketika kasus berproses secara hukum misalnya minim bukti, proses test DNA maupun visum. Terkait sinkronisasi data kasus kekerasan, Dorkas menambahkan bahwa mungkin saja ada data di advokat profit yang menangani dan tidak terdata. (Ast)