Publikasi

Mengapa Penting Menonton Film “Kartini” dan Memahami Sejarahnya

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Film itu tontonan, tapi juga tuntunan. Dalam hal ini diartikan bahwa film adalah hiburan. Tapi juga dapat membawa pesan sebagai bahan informasi mengenai berbagai masalah dan melalui film dapat menyampaikan pesan yang bersifat mendidik untuk memperluas wawasan berpikir. Oleh karena itu diupayakan agar film yang penuh arti dan sarat pesan itu sampai ke sasaran yang dituju, yaitu masyarakat segala lapisan. Dengan kata lain, film diusahakan agar beredar di seluruh wilayah. Tetapi film sebagai hiburan hendaknya dibeli oleh penontonnya. (Mengenal Bioskop Keliling Lebih Jauh, DPP Persatuan Pertunjukan Film Keliling Indonesia (Perfiki), 1993).

Seperti tertulis di atas, bahwa film selain sebagai tontonan, juga tuntunan artinya, film sebagai media pembelajaran. Film adalah salah satu hasil dari sebuah karya sastra yang dibuat oleh seseorang dengan imajinasi dan kreativitas yang dimilikinya. Film memuat cerita yang unik dan menarik sehingga banyak digemari oleh masyarakat karena sejak dulu keberadaan film diterima baik dalam kehidupan masyarakat.

Gagasan bahwa film dapat digunakan sebagai media pembelajaran dikemukakan oleh Carpenter dan Greenhill pada tahun 1956. Carpenter dan Greenhill menyimpulkan bahwa film dapat digunakan untuk mengajar keterampilan penampilan dan menyampaikan data faktual.

Film semakin populer karena menayangkan berbagai cerita yang mengandung nilai-nilai baik untuk diterapkan dalam kehidupan. Peranan media film dalam pembelajaran sangat penting untuk membentuk pendidikan karakter seseorang. Film yang baik tentunya akan membentuk emosional dan perubahan positif bagi penontonnya.

 

Mengapa Pemuda Penting Menonton Film "Kartini"?

Film "Kartini" diproduksi tahun 2017 dan dimulai pembuatannya pada tahun 2015. Film ini  disutradarai oleh Hanung Bramantyo serta berbiaya 12 milyar  dan sarat akan pesan-pesan pendidikan. Dan pesan terkuatnya adalah pentingnya perluasan literasi bagi generasi muda.

Alur cerita film "Kartini" yang sangat runtut pintar memainkan emosi penonton sehingga bahkan tidak hanya pantas ditonton para pemuda tetapi orangtua.  Film yang dibuat berdasarkan riset, dan kemudian riset itu menjadi sumber daya utama,  yakni dari buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer dan kumpulan surat Kartini yang dibukukan "Habis Gelap Terbitlah Terang" serta catatan TEMPO "Gelap Terang Hidup Kartini".

Film biopik atau film yang mendramatisasi kehidupan nyata  tokoh Kartini ini melihat sisi lain Kartini yang mungkin tidak ditemukan di dalam buku sejarah. Kartini dalam film ini digambarkan memiliki karakter tomboi dan penuh semangat. Juga penggambaran yang lebih terfokus pada tokoh Ngasirah, Ibu kandung Kartini yang perannya sangat apik dimainkan oleh Christine Hakim. Hanung Bramantyo menyajikan kisah Kartini dari sudut pandang seorang anak yang menyaksikan sang ibu yang menjadi orang buangan bahkan di rumahnya sendiri.

Film Kartini secara visual dan tematik merepresentasikan pergeseran budaya patriarki dan emansipasi perempuan di Indonesia. Film ini menggambarkan kehidupan perempuan pada masa kolonial Belanda. Dalam film juga digambarkan bagaimana Kartini dibantu oleh saudaranya Roekmini yang diperankan oleh Acha Septriasa dan Kardinah yang diperankan oleh Ayushita mencoba membangun sebuah sekolah untuk kaum miskin. Kartini juga membuka lapangan kerja bagi warga Jepara.

Perjuangan dan pergerakan ketiga bersaudari itu membuat mereka dijuluki sebagai "Daun Semanggi" atau "Het Klaverblad". Oleh keluarganya, Kartini dijuluki sebagai "Jaran Kore Ayu" yang berarti "Kuda Liar Cantik".

Film ini menggambarkan bahwa apa yang diwariskan Kartini pada perempuan zaman ini digapai dengan hal-hal yang tidak mudah.

Kontroversi Film "Kartini"

Film "Kartini" garapan Hanung Bramantyo dikritik karena dianggap tidak sepenuhnya sesuai dengan interpretasi historis dan budaya Jawa pada masa Kartini. Film ini juga dinilai gagal menggali sisi emosional Kartini secara mendalam. Jika pembandingnya adalah film "RA Kartini" besutan Sjumandjaja di tahun 1982, film "Kartini" garapan Hanung pastinya digarap leboh berkesan 'kekinian" apalagi didukung oleh artis-artis papan atas seperti Dian Sastrowardoyo dan Reza Rahardian. Meski pemeran film "RA Kartini" pun termasuk artis kaliber wahid seperti Yenny Rahman, Adi Kurdi dan lainnya. Film "RA.Kartini", meski dibuat dengan gambar yang terkesan lebih 'muram' namun menampakkan sisi-sisi natural Kartini sebagai manusia dan tidak terkesan heroik (Ast)