Ada 16 pemuda yang datang dari organisasi kemasyarakatan pemuda di antaranya yakni dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pemuda Katolik, Girl Up UNS, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Gusdurian, Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang mengikuti acara nonton bareng (nobar) dan diskusi film “Kartini” besutan Hanung Bramantyo dan diproduksi tahun 2017. Nobar dan diskusi diselenggarakan di Ruang Anawim Yayasan YAPHI, Rabu (30/4). Diskusi dipantik oleh Renny Talitha dari Yayasan YAPHI.
Dalam sesi diskusi, Jasmine dari Girl Up UNS mengatakan bahwa Kartini menentang feodal dengan kerebelan. Berangkat dari rebel itulah, sebenarnya Kartini lebih ke sosok kiri tapi secara image, saat Orde Baru diarahkan ke Ibuisme. Padahal secara image, Kartini inginkan perubahan.
Fatahillah dari KNPI menyampaikan di Film “Kartini” terlihat bukan hanya Kartini sosok perempuan yang memperjuangkan pendidikan tetapi itu juga dilakukan ayah, kakak, suami, dan Kyai Soleh Darat. “Konteks Hari ini Kartini bisa dipahami bisa dipahami tentang perayaan yang identik dengan domestifikasi perempuan,”ujarnya.
Nola, dari PMKRI menyoroti upaya dari kakak Kartini yakni Kartono yang memberi kunci yang memberi kesempatan sehingga sebagai pejuang dan pantang menyerah. “Saya menyadari apakah sebagai perempuan bisa bersekolah yang dimulai dari mengenalkan huruf sampai membacanya. Dari situ saya menyadari denga kehadiran Kartini mampu mengubah perempuan dan di sini laki-laki sama. Meski akhinya dia tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi,”ucap Nola.
Harapan-Harapan
Anastasia dari GMKI menyampaikan bahwa perempuan mampu dan bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Dan sebagai perempuan patut bersyukur karena tahu setara. Baik perempuan atau laki laki bisa mengerti apa kesetaraan gender. Perempuan punya hak belajar dan tidak dibanding-bandingkan.
Ahmad Makruf dari Permahi berpendapat bicara pendirian dan hak perempuan sudah clear saat ini tetapi yang masih dihadapi sekarang adalah tradisi atau kebiasaan tentang perjodohan atau budaya aturan weton (hitung angka kelahiran dalam budaya Jawa). “Tetapi kita menonton film ini menyelesaikan masalah tanpa membikin masalah. Bahwa di Jawa masih kental dengan aturan itu. Yang dihindari weton. Tanpa mengurangi rasa hormat orang tua dan tetap membangun pembangunan di Indonesia dan masyarakat miskin. Ini kalau kita melihat dalam persepsi budaya.”
Siti Mutmainah dari PUKAPS berharap ke depan sesama perempuan harus saling mendukung. Sebab di film ada yang tidak mendukung. Ia juga berharap laki laki menghargai perempuan dan saling mendukung. “Masih banyak kita temui laki -laki memandang sebelah mata.”
Ida dari IPPNU berpendapat Kartini itu menggunakan privilise dengan sangat baik dan membawa perubahan yang lebih baik. Harapannya, untuk perempuan saat ini masih ada orang terdekat dan masyarakat bilang 'kenapa perempuan sekolah tinggi-tinggi" padahal saat ini sudah tidak ada kendala. Tapi stigma masih ada di masyarakat. Artinya kesetaraan gender ada tapi di masyarakat sepertinya.dikondisikan pemimpin itu sebaiknya laki laki.
Renny menanggapinya dengan mengatakan bahwa konstruksi budaya patriarki masih tinggi. Dan mengubah budaya sangat susah. Untuk itu bisa dimulai dari sendiri. Jika bisa memberi pengaruh untuk mengubah budaya maka harus mengubah sendiri.
Laurensia dari Pemuda Katolik mengharapkan ke depan, setelah melihat film Kartini terutama para perempuan bisa lebih tangguh lagi dalam memperjuangkan cita-citanya. “Sekarang masih ada stigma laki- laki harus yang memimpin,”katanya.
Sura Aji dari Gusdurian menutup sesi diskusi dengan menyoroti permaisuri Bupati Jepara yang menunjukkan salah satu contoh perjuangan kelas. “Ada banyak peristiwa, sama-sama perempuan yang menghambat perjuangan. Hak-hak diperjuangkan ya karena feodalisme. Maka harapannya adalah kita sama-sama orang kalah, maka harus bersatu,”pungkas Sura. (ast)