Publikasi

Kelas Relasi Sesi Keempat ; Sensitivitas dan Etika Berinteraksi dengan Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Memasuki sesi keempat/penutup, kelas Relawan Inklusi (Relasi), sebuah inisiatif dari Jaringan Visi Solo Inklusi didukung Yayasan YAPHI menghadirkan Pamikatsih untuk menyampaikan materi tentang sensitivitas dan etika berinteraksi dengan difabel, Sabtu (15/11/2025). Pelatihan yang diikuti oleh 22 peserta dan berlangsung selama enam jam tersebut bertempat di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI Surakarta.

Pamikatsih menjelaskan secara teori terkait bagaimana etika ketika berinteraksi dengan difabel. Etika tersebut yakni cara menempatkan penyandang disabilitas dan non-disabilitas sebagai orang yang setara secara moral dan hukum, dan tidak merumuskan standar kewarganegaraan atau kepribadian di sekitar rasionalitas, kemandirian, atau kemandirian, seperti yang telah dilakukan banyak teori etika dan keadilan sosial secara tradisional. "Berfikirlah bahwa difabel adalah seperti kita, beberapa hal melakukan sesuatu berbeda dengan kita, " ujar Pamikatsih.  Ia menambahkan bahwa kadang orang tidak sadar sering mengucapkan kata "maaf"kepada difabel yang sebenarnya itu tidak perlu.

Ketika menawarkan pertolongan kepada difabel;   ingatlah: Sebagian besar difabel tidak membutuhkan   pertolongan ekstra,  alasan utama mereka membutuhkan bantuan  adalah karena adanya hambatan lingkungan.

Selanjutnya, menurut Pamikatsih, jangan pernah berasumsi bahwa pertolongan dibutuhkan dan bagaimana melakukan pertolongan tersebut.   "Tawarkan pertolongan/bantuan jika Anda merasa mereka membutuhkannya, dengan bertanya “Apakah Anda perlu bantuan?” Difabel punya hak untuk berkata “Tidak”, "terang Pamikatsih.

Perlu untuk diingat lagi bahwa dalam melakukan pertolongan jangan sampai  mengambil alih jadi komando. Juga, hindarilah penggunaan istilah seperti pengkhususan terhadap kecacatannya “si  bisu, si buta, si tuli, si tuna dll atau bentuk bentuk fisik yang menantang. Dengan segala tipe disabilitas hindari istilah- istilah yang tidak memberdayakan mereka seperti “korban”, “penderita”, dll. Lebih baik tanya kalo kakak/adik ini masalahnya apa atau disabilitasnya apa.

Pamikatsih lantas menceritakan pengalamannya saat berinteraksi dengan seorang satpam karena satpam tersebut belum berperspektir disabilitas. "Saya lebih suka dipanggil pincang daripada dipanggil cacat. Tapi kalau di umum, enggak. Teman netra bilang "saya lebih suka dipanggil buta". Tapi tidak dibolehkan oleh dinas karena pakainya harusnya netra, "terang Pikat.

Selain memberikan teori tentang bagaimana cara berinteraksi dengan teman difabel, pelatihan juga memberikan sesi praktik langsung ketika seseorang berinteraksi misalnya dengan difabel pengguna kursi roda dan kruk. Juga ketika menjadi pendamping netra dan teman Tuli.  "Bagi teman pengguna kruk atau tongkat, pendamping jangan mengikuti gestur teman pengguna tongkat. Sebab kita harus waspada di sedikit depannya, "jelas Adi, fasilitator.

Sementara itu, saat sesi berbagi cerita dan diskusi, Dewi, orangtua anak dari anak Tuli berkisah bahwa anaknya bersekolah di homeschooling dan menggunakan bahasa Indonesia serta Inggris. Menurutnya, anaknya dulu membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi. "Guru anak saya, dia akan selalu mengenalkan anak-anak saya pada teman-teman dengar. Dia juga mengatakan seperti ini, "Ini Valen, kamu jangan panggil budeg. Kamu panggil teman Tuli". Jadi saya merasa anak saya diterima, " terang Dewi. (Ast)