Anak-anak Indonesia didorong untuk menjadi subjek aktif, bukan hanya objek penerima manfaat, dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pesan ini menjadi inti dari Talkshow Anak Indonesia Siaga Bencana yang diselenggarakan oleh RedR Indonesia, UNICEF, dan Dit. Kesiapsiagaan BNPB di Ruang Rapat SBK, Pendopo Bupati Mojokerto, Kamis (2/10). Acara ini secara khusus membahas implementasi Perencanaan Kontingensi yang Berpusat pada Anak (PPKBA).
Integrasi Kelompok Rentan dalam RENKON
Plt. Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ardhy, menekankan perlunya integrasi kebutuhan kelompok berisiko tinggi_termasuk anak, perempuan, dan penyandang disabilitas_ke dalam dokumen perencanaan kontingensi (RENKON) daerah.
Beberapa tantangan utama terkait anak yang harus diatasi meliputi: keterbatasan aksesibilitas layanan darurat, tingginya risiko kekerasan dan kriminalitas, perlunya infrastruktur ramah anak, serta kebutuhan pendataan terpilah dan pelibatan multisektor yakni pendidikan, kesehatan, dan organisasi anak. BNPB menegaskan bahwa semua isu ini harus diakomodasi melalui identifikasi lintas sektor yang terintegrasi.
UNICEF Dorong Penguatan Kapasitas PPKBA di Daerah
Tatiana Ten dari UNICEF Indonesia menegaskan kembali komitmen untuk mendorong penyusunan PPKBA. Menurutnya, bencana dan perubahan iklim mengancam masa depan anak, sehingga kesiapsiagaan yang berpusat pada anak adalah strategi vital.UNICEF telah memimpin perjalanan pengembangan PPKBA, dimulai dari tinjauan RENKON Merapi pada 2020 hingga penyusunan Pedoman Nasional PPKBA pada 2022. Pada 2025, fokus utama adalah penguatan kapasitas dan pemantauan implementasi PPKBA ke dalam RENKON 5.0 di tingkat kabupaten/kota. Inti PPKBA adalah analisis risiko dengan data terpilah, identifikasi kebutuhan dasar anak, mekanisme partisipasi, dan strategi perlindungan.
Bukti Nyata: Anak Menjadi Perencana Bencana
Partisipasi anak terbukti membawa perubahan nyata. Latifah dari Forum Anak Kelurahan Umbulharjo, Sleman, membagikan pengalamannya sebagai korban letusan Gunung Merapi 2010. Ia mengenang bagaimana hak-hak anak terabaikan di pengungsian seperti kehilangan ruang bermain, pendidikan terhenti, dan trauma.
"Partisipasi anak dalam RENKON memberi ruang bagi anak untuk menyuarakan pengalaman dan kebutuhan mereka, agar kesalahan masa lalu tidak terulang," ujar Latifah, yang kemudian aktif terlibat dalam penyusunan RENKON Merapi pada 2020.
Pengalaman serupa datang dari Devan Dwi, dari Forum Anak Kabupaten Banyuwangi. Forum Anak ini secara langsung terlibat dalam penyusunan RENKON Banjir. Masukan mereka sangat krusial, meliputi: solusi pendidikan darurat, kebutuhan tempat pengungsian ramah anak yang terpisah dari keramaian dewasa, dan layanan kesehatan mental dan sosial. Masukan ini bahkan diformalkan dalam sebuah Deklarasi Anak untuk Penanganan Banjir, yang menegaskan bahwa anak harus menjadi prioritas dalam perencanaan.
Solusi untuk Tantangan Pelaksanaan di Daerah
Diskusi juga menjawab tantangan praktis yang dihadapi daerah, seperti Kota Bogor dan Kulon Progo, terkait waktu dan anggaran. Narasumber menekankan bahwa: 1. Waktu Proses Bervariasi: Tidak ada batasan waktu baku. Kuncinya adalah konsistensi, penciptaan ruang aman, dan dukungan orang dewasa. 2. Anggaran Bukan Penghalang: Keterbatasan anggaran daerah dapat diatasi melalui kolaborasi lintas sektor dan memanfaatkan Forum Anak yang sudah ada sebagai pintu masuk partisipasi. 3. Partisipasi Kreatif: Aspirasi anak dapat disampaikan melalui metode kreatif seperti gambar atau roleplay untuk membangun keberanian dan menghindari intimidasi. 4. Penguatan di Tingkat Desa: Melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), Forum Anak di tingkat kabupaten/kota harus didorong untuk menjangkau hingga ke tingkat desa/kelurahan, didukung oleh strategi regenerasi dan pemanfaatan digital.
Para narasumber menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan PPKBA adalah kemauan dan komitmen pemerintah daerah. Pelibatan anak adalah investasi untuk membangun komunitas yang lebih tangguh.
Latifah dan Devan Dwi berharap usulan anak-anak dapat ditindaklanjuti dan suara mereka menjadi dasar pijakan dalam perencanaan bencana, menegaskan kembali bahwa mereka adalah aktor yang merencanakan ketahanan komunitas mereka sendiri. (Vera)