Publikasi

Sekolah Relasi Jaringan Visi Solo Inklusi : Bongkar Perspektif Disabilitas dan Gender

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Undang-undang adalah hasil dari perbincangan atau konsensus oleh banyak orang yang kemudian menjadi produk hukum dan disetujui, dan bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat.  Dalam hal Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, ia lahir dari political will yang memiliki kesadaran tentang pemahaman hak asasi manusia.

Jika dikaitkan dengan bagaimana dengan pemenuhan hak masyarakat disabilitas, maka yang harus dibongkar adalah isi kepala kita. Karena yang dibutuhkan saat ini bukan hanya segala pertanyaan terkait apa itu disabilitas yakni kognisi, tetapi juga  hati untuk mengerti dan memahami. Lantas ada afeksi atau perasaan, yang kemudian melahirkan sikap. Sikap itu yang selanjutnya  mewujud dalam bentuk laku atau tindakan, biasa disebut behaviour. Demikian rangkuman dari pembukaan materi  yang disampaikan oleh Myra Diarsi, purna komisioner Komnas Perempuan, saat menjadi narasumber sekaligus fasilitator pada pelatihan relawan inklusi (Relasi) bulan kedua yang dihelat oleh Jaringan Visi Solo Inklusi bekerja sama dengan Yayasan YAPHI, pada Senin 29/9, bertempat di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, Kerten, Laweyan, Surakarta. Sekolah Relasi diikuti oleh 30 peserta yang terdiri dari dosen, tenaga pendidik, masyarakat pemerhati isu difabel serta mahasiswa.

Menurut Myra Diarsi, difabel adalah seorang manusia. Jadi kalaulah lahir Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, maka yang akan dipenuhi haknya adalah manusia. Maka seyogyanya gunakanlah secara optimal kemanusiaan itu sendiri. Sebab difabel bukan objek, namun subjek. Myra kemudian mencontohkan, jika masih ada sikap yang melahirkan kalimat “maaf, disabilitas,” artinya, yang mengatakan itu hanya akan mengeksklusikan teman difabel. Padahal tindakan yang benar adalah meng-inklusikan mereka. Inklusi bisa dipahami sebagai : “Mari Kita Bersama-sama” dengan cara tidak mengasihani tetapi memasukkan bersama menjadi kawan kita, dan sama-sama menjadi subjek. “Dan ketika dijelaskan di awal bahwa kita sebagai manusia, yang membicarakan tentang manusia, lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa sih kemanusiaan kita yang perlu diperhatikan? Sebagai manusia, kadang kita hanya mengandaikan secara fisik saja, bahwa ia memiliki tangan dan kaki, kepala dan bagian tubuh lainnya. Semua kita perlukan tadi namanya pengetahuan. Lantas kemudian kita  melihat bahwa ada tongkat putih bagi disabilitas netra dan bahasa isyarat untuk teman Tuli,”terang Myra.

Ke depan, dengan kondisi bangsa saat ini yang semakin berat, maka bisa dipastikan jika difabel sebagai penghuni dunia jumlahnya makin banyak. Hal itu bisa disebabkan oleh  karena kemiskinan dan karena ketidaktahuan bagaimana mutu makanan yang baik, misalnya kekurangan nutrisi yang jadi penyebab stunting. Ketika jumlah populasi disabilitas akan semakin banyak, kemudian yang terjadi jika tidak ada perubahan sikap, maka akan makin kacau. Jadi perspektif dan paradigma terkait disabilitas ini menjadi sangat penting. Termasuk bagaimana menyikapi kata ‘normal’ dan ‘tidak normal’ sebab seharusnya perspektif itu sangat jelas bahwa kata normal lahir dari apa yang diucapkan oleh golongan  mayoritas. Maka kata abnormal tidak pantas lagi disebut karena setiap orang pasti punya keabnormalan.

Lantas ketika isu difabel dikaitkan dengan GEDSI, mengapa disabilitas juga membicarakan tentang gender, maka hal itu kemudian yang disebut bahwa isu ini ada irisannya/cross cutting. Gender adalah jenis kelamin sosial karena yang membuat adalah sosial dan yang melakukannya adalah masyarakat, intinya gender adalah jenis kelamin sosial. Myra memberi contoh  realita bahwa seorang bayi lahir sudah dibanjiri beban. Maka, dengan gender,  orang memiliki  pengalaman dan cara dalam menjalani hidup. Namun kenyataannya yang terjadi saat ini adalah adanya ketimpangan-ketimpangan. Contohnya, apa yang dilakukan istri ketika suami sakit  kena COVID-19? Istri Merawat. Sebaliknya bisa si istri yang sakit, maka suami belum tentu mau merawatnya. Fakta yang dihadapi di masyarakat, jika perempuan ke-trigger maka ia menangis, tetapi beda keadaaannya jika laki-laki ke-trigger, ia bisa naik darah atau ngamuk. Oleh sebab itu, maka ada perspektif atau cara melihat kesetaraan gender. Dan jika sudah mengakui adanya kesetaraan  gender, jangan menolak ketika disebut feminis. Pada sesi ini, Myra yang juga berlaku sebagai fasilitator kemudian membongkar isi kepala para peserta dengan cara melempar pertanyaan, atau mempersilakan para peserta untuk memberi pernyataan.

Sebagai wahana/media  pembelajaran, Myra kemudian menggambar Jungkat-Jungkit, untuk menjelaskan secara lebih gamblang tentang bagaimana hubungan yang timpang atau jomplang. Mana yang lebih menguasai dan mana yang dikuasai untuk menggambarkan relasi yang timpang.

Ia menekankan bahwa perspektif gender sebagai gerakan politik.   Inilah yang kemudian disebut bahwa gender itu bukan hanya tentang kesetaraan/imbang/setara. Gender sebagai perspektif adalah cara melihat.Maka ketika berbicara terkait  disabilitas sampai perempuan dan anak-anak maka ditambahi dengan perspektif. Menurut Myra gender adalah tentang Mengenai dan Dikenakan, baik pada perempuan maupun laki-laki. Dan pemisahan gender yang dibentuk oleh sosial di setiap budaya apapun, setiap orang  ada sisi feminin dan maskulin. Gender itu memisahkan manusia atas dasar karakternya, peran (ekonomi, produktif). Hubungannya dengan diskriminasi yang dialami oleh difabel, Myra mengatakan bahwa lapisan diskriminasi yang dialami oleh difabel masih banyak, ditambah diskriminasi gender, minoritas gender, agama dan kepercayaan yang dianut,  yang kemudian  menjadikan diskriminasi tersebut berlapis. (Ast)