Publikasi

LettsTalk Plenary Session "Oligarki dan Militerisme Mengepung Negara"

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada momen KCIF 2025, LettsTalk Plenary Session, Ita Fatia Nadia, pendiri RUAS mengatakan bahwa sejak Presiden Prabowo dilantik, ia sudah menulis opini di Kompas. "Kita kaum perempuan untuk waspada dan bahaya munculnya kekuatan militer baru. "

Menurut Ita, gerakan perempuan harus mengambil alih politik kesetaraan, untuk merumuskan partisipasi perempuan dalam politik dan ekonomi. Dengan menantang struktur oligarki yang patriarkis, dan untuk menciptakan ruang bagi para perempuan memiliki suara. Dengan begitu maka perempuan bisa menggugat militerisme dan melakukan demiliterisasi.
Menggugat negara tujuannya untuk mengalihkan sumber daya dari pengeluaran untuk militer, dialihkan untuk pendidikan, kesehatan dan program kesejahteraan sosial yang telah mendukung hak-hak perempuan, anak-anak dan difabel.

"Maka, sudah saatnya gerakan perempuan untuk memetakan dan merumuskan lokasi politik dan strategi gerakannya untuk melawan militerisme, maskulin hegemonik, patriarki dan oligarki, " jelas Ita.

Maka dampaknya pada perempuan adalah penguatan peran gender Tradisional Militerisme yang cenderung menjunjung tinggi citra laki-laki sebagai sosok kuat, pelindung, dan penguasa, sementara perempuan sering kali ditempatkan dalam peran yang lebih subordinat dan domestik. Budaya militer yang menekankan kekuatan fisik, keberanian, dan agresi secara inheren selaras dengan ideal patriarki tentang maskulinitas. Ini dapat membatasi peran perempuan di ranah publik.

Dampak kedua terjadinya kekerasan dan dominasi mililiterisme,melibatkan penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat memperkuat budaya kekerasan dan dominasi dalam masyarakat. Dalam sistem patriarki, kekerasan seringkali digunakan untuk mempertahankan kontrol dan hirarki. Ketika militerisme menjadi dominan, norma-norma kekerasan ini dapat menyebar ke masyarakat sipil, berpotensi meningkatkan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Ketiga adalah kontrol terhadap tubuh dan Ruang Perempuan. Dalam konteks militerisme, seringkali terjadi kontrol ketat terhadap tubuh dan ruang gerak perempuan. Berupa regulasi berpakaian, pembatasan peran dalam masyarakat, atau bahkan intervensi terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Contohnya : program-program yang melibatkan militer dalam pengawasan reproduksi atau pembatasan kebebesan perempuan dapat menjadi manisfestasi dari hubungan ini.
Pembatasan kebebasan dan demokrasi. Ketika militer memiliki peran yang kuat dalam pemerintahan atau masyrakat (misalnya melalui "dwi fungsi atau intervensi militer dalam urusan sipil), ruang gerak bagi aktivisme perempuan dan gerakan kesetaraan gender dapat menyempit.

Organisasi perempuan diizinkan beroperasi diarahkan unruk mendukung agenda negara atau militer, bukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan secara independen. Ini melemahkan demokrasi dan membatasi kebebasan sipil, terutama bagi perempuan.

Legitimasi Kekuasaan Melalui Kekerasan Negara

Sifat pemerintahan Prabowo Subiyakto yang populis nasionalis, oligarkis, militerisme, maskulin hegemonik, indikatornya adalah sentimen nasionalisme untuk mobilisasi dukungan dari rakyat, narasi nasional vs antek-antek asing, RUU TNI dengan penambahan bataliyon, militerisme sipil : MBG, food estate, PSN, meningkatnya belanja negara untuk pembelian senjata dan peralatan perang.

Ita dalam diskusi mengutip Cynthia Enloe, seorang feminis terkemuka, yang menyoroti bagaimana perempuan sering digunakan sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan melalui kekerasan negara. Peran perempuan dapat dimanipulasi untuk mempromosikan agenda militer, misalnya dengan memproyeksikan citra keluarga yang damai dan stabil di bawah perlindungan militer, sementara pada saat yang sama, kekerasan terhadap perempuan atau kelompok marjinal justru ditoleransi atau bahkan dipromosikan.

Secara keseluruhan, menurut Ita, militer seringkali menjadi alat yang digunakan untuk mempertahankan dan memperkuat kontrol patriarki terhadap peran gender, menekan perempuan dan kelompok marjinal, serta menghambat kemajuan menuju kesetaraan gender.

Mengapa militerisme menggunakan tubuh perempuan?

Disadari atau tidak, bahwa negara dibangun/didirikan berdasarkan institusi maskulin yang menggunakan kekerasan sebagai alat kekuasaan.

Masyarakat sipil didirikan tidak hanya berdasarkan pada kontrak sosial, tetapi juga kontrak seksual oleh militerisme hegemonik pada tubuh dan seksualitas perempuan.

Berkaca pada rezim gender Orde Baru, yang tidak hanya mengontrol seksualitas perempuan, pikiran dan imajinasi perempuan. Pola dan bentuk kekerasan seksual, kekerasan dan seksual sebagai alat teror, kekerasan seksual sebagai alat pendisiplinan, kekerasan seksual sebagai penghukuman.

Ita menambahkan bahwa gerakan perempuan harus mengambil alih politik kesetaraan, juga untuk merumuskan partisipasi perempuan dalam politik dan ekonomi. Dengan menantang struktur oligarki yang patriarkis, untuk menciptakan ruang bagi perempuan dan memiliki suara.

Menggugat militerisme dan melakukan demiliterisasi.

Menggugat negara untuk mengalihkan sumber daya dari pengeluaran untuk militer, dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan sosial yang lebih mendukung hak-hak perempuan, Anak-anak dan difabel.

Sudah saatnya gerakan perempuan untuk memetakan dan merumuskan lokasi politik dan strategi gerakannya untuk melawan militerisme, maskulin hegemonik, patriarki dan oligarki.
(Ast)