Siang itu, Selasa (23/9) ketika arah jarum jam menunjukkan pukul 14.00 Waktu Indonesia Barat, saya beserta rombongan dari Yayasan YAPHI tiba di rumah Sucipto, ketua Kelompok Petani Pati Kidul (KOMPAK) di Dukuh Tumpang, Desa Porang-Paring, Pati. Seperti yang sudah menjadi perencanaan mereka, hari itu akan diadakan peringatan Hari Tani Nasional yang penyelenggaraannya di lahan garapan para petani. Mereka menyebutnya "tanah pajangan" yang letaknya sekira 500 meter dari rumah Sucipto.
Tanah itu terletak di atas bukit. Dengan melewati beberapa petak rumah warga, kemudian menyusuri komplek makam yang tidak begitu luas, kami menemukan jalan setapak yang sudah dicor dengan semen. Jalan yang tidak begitu lebar, sekitar 70 cm atau kurang dari satu meter. Panjangnya juga tidak sampai menuju tapak bukit. Selepas jalan bercor, kami masih menemui jalan setapak yang terjal penuh bebatuan. Sebatang tongkat yang saya temukan di tengah perjalanan sangat membantu dalam menyeimbangkan tubuh yang semakin menua ini. "Saya lho, dua kali dalam sehari datang ke lahan, untuk mengolah tanah dan tanaman yang kami tanam, " demikian kata Sri Wahyu, perempuan petani yang memiliki lahan di "tanah pajangan".
Jarak yang hanya 500 meter setiap hari telah para petani taklukkan. Mereka telah menggarap tanah ini lebih dari 20 tahun. Tambah yang mereka olah juga sudah menghasilkan buah-buahan serta umbi-umbian dengan hasil yang sangat bagus. Namun mereka kesulitan untuk menjual dengan harga yang pantas untuk mengganti jerih payah mereka.
Hingga kurang dari setengah jam, sampailah kami di bukit yang datar. Di sepetak tanah, tergelar kain terpal plastik untuk menggelar sesajian makanan yang diolah oleh para petani seperti seekor ingkung ayam dan nasi tumpeng, nasi jagung beserta uba rampe- nya, hingga sajian umbi-umbian serta hasil bumi seperti buah pisang, pepaya, salak dan kacang tanah.
Selain sebentang poster peringatan hari Tani dipajang, ada pula pengeras suara portabel dan tiang bendera yang berdiri gagah di lahan. Upacara segera dimulai. Setelah pembukaan berupa penjelasan mengapa hari itu diperingati sebagai hari Tani, maka menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza menjadi hal baru bagi mereka sebab biasanya para petani bernyanyi hanya dalam satu stanza.
Lagu "Indonesia Raya" memiliki makna yang sangat dalam dan luas, tidak hanya sebagai lagu kebangsaan tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Jarang lagu Indonesia dinyanyikan dengan tiga stanza, namun hal itu tidak berlaku bagi para petani dukuh Tumpang, Desa Porang Paring.
Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, Adi C. Kristiyanto dari Yayasan YAPHI menjelaskan gambaran tanah air Indonesia sebagai tempat kelahiran dan tumpah darah. Liriknya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dan menjadi penjaga tanah air. Frasa "Marilah kita berjanji, Indonesia abadi" menandakan komitmen tolong-menolong dan cinta tanah air.
Stanza kedua, menurut Adi, mengagungkan Indonesia sebagai tanah yang mulia dan kaya. Liriknya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk selalu menjaga dan memakmurkan tanah air. Ucapan "Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya" menyampaikan tugas menjaga seluruh tumpah darah Indonesia secara menyeluruh.
Sedangkan stanza ketiga liriknya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan serta kedaulatan negara. Frasa "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya" menegaskan bahwa pembangunan karakter harus mendahului pembangunan fisik.
Dalam sebuah acara, sambutan-sambutan seperti menjadi kewajiban, tetapi pada masyarakat petani ini adalah sarana komunikasi. Sucipto mengawali dengan ucapan terima kasih kepada beberapa pihak. Ia mengingatkan kembali betapa pentingnya profesi petani. Maka sudah sepantasnya menghargai para petani karena tanpa mereka, kebutuhan pangan tidak dicukupi. Ia juga berpesan agar para petani menjaga tanah yang sudah mereka kuasai dan olah dengan baik agar lestari.
"Dengan nama Tuhan, tanah pajangan kita kuasai. Kita berharap dengan peringatan hari Tani ini semakin memperkuat serta mendukung tantangan. Kita wariskan ke generasi muda dan berupaya agar kelompok semakin maju. Tanah ini akan kita wariskan ke anak cucu. Pajangan bukan milik Perhutani tapi milik warga Porang Paring, "ungkap Sucipto.
Sutadi, kepala desa atau biasa dipanggil " Pak Inggi" oleh warga desa, lantas memberikan apresiasi kepada panitia penyelenggara karena semangat yang luar biasa atas terselenggaranya peringatan hari Tani di Puncak Kebun Pajangan. Kepada Yayasan Yaphi yang telah mendampingi selama bertahun-tahun warga masyarakat, yang secara historis ada persoalan dengan pemerintah dan Perhutani, ia juga berucap terima kasih.
Sutadi bernarasi bahwa pada tahun 1999, ia memiliki pengalaman yang tak akan lekang sepanjang zaman sebab waktu masih kecil, ia sering diajak kakeknya naik ke kebun milik mereka.
Sebagai kepala desa, ia berujar bahwa kepemilikan tanah pajangan harus diperjuangkan meski menurutnya mungkin banyak aturan yang harus dilalui terkait perubahan kebijakan. Ia berharap para petani juga mengakses program serta pendampingannya.
Sedangkan Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI menyatakan bahwa Hari Tani di 24 September bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria dan sampai detik ini UU ini masih berlaku yang menjadi tonggak para petani dalam memperjuangkan kepemilikannya.
Lalu, tibalah saat makan bersama dengan sajian nasi putih, nasi jagung dan ingkung ayam, sayur urap dan oseng dengan berbagai macam lauk.
Beberapa saat sebelum disajikan, saya sempat bercengkerama dengan Kustiningsih, perempuan petani yang bercerita tentang aliran Sungai Braholo, sebuah sungai yang kemudian namanya berganti menjadi Sungai Sumber Penguripan yang artinya sebagai sumber kehidupan yang selama ini telah mengalir lewat pipa-pipa rumah warga. Sungai Braholo yang letaknya tepat di bawah bukit, kala itu menjadi saksi saat perjuangan para perempuan petani turut dalam memperjuangkan tanah pajangan yang mereka peroleh dari kakek dan nenek mereka untuk dikelola, diolah, ditanami, lantas bisa dikuasai. Hanya saja terkait soal kepemilikan, akan terus menjadi agenda perjuangan mereka. (Ast)