Jakarta, 16 September 2025, melalui konferensi pers dan SK No.805, KPU membatalkan Surat Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, yang mengatur dokumen persyaratan capres-cawapres sebagai Informasi publik yang dikecualikan. Langkah ini diambil KPU sebagai respon terhadap kritikan dan desakan dari publik yang menilai bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi. Tindakan KPU ini sejatinya bukanlah sebuah kinerja “mendengar aspirasi” yang layak diapresiasi. Peristiwa ini semakin menunjukkan ketidakprofesionalan KPU dalam bekerja dan mengambil sebuah keputusan. KPU mempertontonkan sikap serampangan dan ugal-ugalan dalam melaksanakan tugasnya. Tidak hanya sekali, peristiwa serupa telah dipertontonkan berulang-ulang sejak tahapan awal pemilu 2024, sekitar akhir tahun 2022. Bagi Kami, KPU adalah salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap kondisi demokrasi Indonesia saat ini.
Koalisi Masyarakat Sipil mencatat sejumlah ‘dosa’ KPU yang dilakukan dalam kurun waktu 2022-2025, baik pada masa maupun di luar tahapan pemilu:
Pembentukan PKPU yang tidak sesuai Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Selama tahapan pemilu dan pilkada 2024 KPU telah membentuk sejumlah PKPU yang tidak mematuhi ketentuan UU dan amanat putusan MK. Koalisi masyarakat sipil mencatat setidaknya terdapat 5 PKPU yang dibentuk dengan memiliki pertentangan dengan UU maupun putusan MK. Pertama, PKPU No. 10 Tahun 2023 dan PKPU No. 11 Tahun 2023 yang memiliki pengaturan berbeda dengan UU Pemilu berkaitan dengan penghitungan kuota afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30% dan syarat mantan terpidana korupsi. Terhadap kedua PKPU tersebut MA bahkan telah mengeluarkan putusan yang membatalkan sejumlah pasal terkait karena bertentangan dengan UU.
Kedua, PKPU No. 8 Tahun 2024 yang memiliki pengaturan berbeda dengan Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 berkaitan dengan penghitungan masa jabatan kepala daerah dan plt kepala daerah. Hasilnya, sejumlah daerah seperti Kab. Tasikmalaya dan Kab. Bengkulu Selatan diperintahkan oleh MK untuk melakukan PSU. Ketiga, PKPU No. 14 Tahun 2024 yang menghapus ketentuan sanksi diskualifikasi bagi Peserta Pilkada yang tidak menaati aturan waktu pelaporan LPPDK. Hal ini menjadi kemunduran terhadap upaya menciptakan kampanye pemilu yang transparan dan akuntabel.
Selain itu, KPU juga absen dalam melaksanakan putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 yang memerintahkan penataan ulang alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk Pemilu 2024. Titik utama lahirnya permasalahan di dalam sejumlah PKPU tersebut sejatinya berkaitan dengan kemandirian KPU yang sangat bermasalah. KPU sebenarnya telah berupaya untuk menaati ketentuan UU dan Putusan MK, yang terlihat dari adanya sejumlah kajian dan rancangan PKPU yang sejatinya sudah baik. Namun, KPU selalu berbalik arah dan ‘menggadaikan’ kemandiriannya dengan memilih mengikuti hasil rapat konsultasi bersama Komisi 2 DPR RI yang sejatinya tidak mengikat.
Penggunaan Sistem Teknologi dan Informasi yang Buruk
Penggunaan sistem informasi dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya memperkuat asas keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Namun sayangnya, sistem teknologi yang dijalankan oleh KPU justru memperlihatkan banyak kelemahan serta penggunaan sistem teknologi dan informasi yang buruk di banyak kesempatan. Bukannya memudahkan publik untuk mendapatkan informasi, teknologi informasi yang digunakan KPU malah menjadi penyebab kisruh yang terjadi pada penyelenggaraan pemilu 2024.
Seperti dalam pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang bermasalah. Sirekap yang awalnya ditujukan untuk merekam dan mempublikasikan proses rekapitulasi hasil tabulasi hasil penghitungan suara justru sistem tidak siap saat digunakan. Selain itu saat proses rekapitulasi hasil Pemilu 2024 masih berlangsung, KPU justru menutup akses tabulasi publik dengan menghilangkan tampilan diagram perolehan suara Pilpres, DPR, DPRD, dan DPD dari laman Sirekap. Penutupan akses ini pada akhirnya menyulitkan pengawasan publik, membuka ruang kecurigaan adanya manipulasi suara, dan meruntuhkan prinsip transparansi dan kepercayaan publik yang semestinya dijaga dan dihasilkan.
Masalah lainnya adalah ketika terjadi kebocoran lebih dari 252 juta data pemilih pada Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Data tersebut paling sedikit terdiri atas NIK, NKK, Nomor KTP, Nomor Paspor, nama, tempat pemungutan suara, status difabel, jenis kelamin, tanggal dan tempat lahir, status perkawinan, serta alamat. Kejadian ini berakibat pada tersebarnya data pribadi warga negara tanpa perlindungan di situs gelap yang mempertontonkan kelalaian dan ketidakmampuan KPU dalam menjaga keamanan sistem.
Minimnya Keterbukaan Informasi Publik
KPU juga telah melanggar hak konstitusional pemilih untuk mengetahui informasi penyumbang dana kampanye peserta pemilu, dengan tidak menampilkan informasi dana kampanye secara utuh melalui laman Sistem Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka). Laman tersebut semula dijanjikan akan menampilkan aktivitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye secara real time dan diperbaharui setiap hari. Tetapi pada kenyataannya hanya menampilkan informasi tanggal dan nominal penerimaan serta pengeluaran, tanpa menampilkan informasi pemberi sumbangan dan detail bentuk sumbangan yang diberikan. Padahal informasi ini penting untuk melakukan pengawasan dalam mencegah terjadinya korupsi politik di kemudian hari yang kerap terjadi dalam tujuan untuk memberi timbal balik atas dukungan finansial yang diterima pada masa pemilihan. Tertutupnya informasi dana kampanye menunjukan penyelenggaraan tahapan pemilu oleh KPU tidak dilandasi semangat pemberantasan korupsi.
Selain itu, KPU juga lebih berpihak pada kepentingan kontestan dibandingkan kepentingan pemilih dengan memberikan opsi untuk tidak membuka daftar riwayat hidup bagi calon anggota legislatif. Padahal, daftar riwayat hidup yang disertai dengan rekam jejak dan pengalaman kandidat, sangat penting bagi pemilih dalam menentukan calon pejabat publik.
Di tengah krisis kompetensi penyelenggara negara, maka tersedianya daftar riwayat hidup caleg yang memuat rekam jejaknya, dapat menjadi upaya untuk memastikan bahwa masyarakat memilih pejabat publik yang kompeten, profesional, dan berintegritas. Langkah KPU ini semakin menunjukan bahwa gelaran pemilu 2024 sangat jauh dari prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Moral Hazard Anggota KPU
Tidak hanya keputusan dan kebijakan yang buruk, kualitas kinerja KPU juga dipengaruhi etika anggotanya yang bermasalah. Kondisi ini sudah menjadi permasalahan sejak awal KPU periode 2022-2027 dilantik. Ketua KPU yang dilantik pada tahun 2022, bahkan tersandung dua kasus yang berkaitan dengan kesusilaan dan kekerasan seksual. Kasus pertama terkait kedekatan dengan ketua Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein. Semantara kasus kekerasan seksual terjadi dengan melibatkan anggota PPLN Belanda (C), yang berujung pada pemecatan Ketua KPU 2022-2024 Hasyim Asyari.
Moral Hazard anggota KPU juga terlihat ketika proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Terbukti bahwa adanya sejumlah partai politik yang sejatinya tidak lolos verifikasi faktual namun diloloskan karena alasan tertentu. Peristiwa ini berujung pada pemecatan sejumlah komisioner dan staf KPU di daerah karena terbukti melakukan manipulasi data. Selain itu, KPU periode 2022–2027 tercatat melakukan praktik pemborosan dan penyalahgunaan fasilitas negara yang serius. Dalam periode Januari–Maret 2024, KPU menggunakan jet pribadi untuk 59 kunjungan, meski KPU hanya mengakui 31 kunjungan, yang melibatkan Ketua KPU, beberapa Komisioner, serta pejabat Sekretariat KPU.
Permasalahan mendasar pada kelembagaan KPU menurut Kami menjadi salah satu penyebab banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024. KPU periode 2022-2027 telah melanggar sejumlah kode etik penyelenggara pemilu berkaitan dengan prinsip kemandirian, profesional, independen, transparan dan akuntabel. Untuk itu, demi menyelamatkan demokrasi, perbaikan menyeluruh (reset) terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu khususnya KPU adalah langkah yang harus diambil. Oleh karena itu, kami mendesak:
1. Presiden dan DPR untuk menyampaikan rekomendasi pemberhentian seluruh anggota KPU periode 2022-2027 kepada DKPP.
2. DKPP untuk menindaklanjuti rekomendasi pemberhentian dan memberhentikan seluruh anggota KPU periode 2022-2027.
3. Pembentuk undang-undang melakukan penataan ulang secara menyeluruh terhadap kelembagaan KPU, pembentukan tim seleksi, dan mekanisme rekrutmen penyelenggara pemilu di dalam UU Pemilu yang sedang direvisi.
4. Moratorium pengisian jabatan anggota KPU hingga disahkannya UU Pemilu yang baru.
Demikian sikap dan pernyataan media ini kami sampaikan, terima kasih. Jakarta, 21 September 2025
Hormat Kami,
Koalisi Kodifikasi UU Pemilu
Narahubung :
-Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
-Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
-Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia
-Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
-Network for Democrazy and Electoral Integrity (NETGRIT)
-Indonesia Corruption Watch (ICW)
-Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
-Themis Indonesia
-Migrant CARE