83 petani anggota paguyuban petani Paranggupito menghadiri peringatan Hari Tani Nasional di rumah Sokiman, Desa Gunturharjo Paranggupito Senin (15/9). Kegiatan yang diinisiasi oleh paguyuban, berangkat dari upaya bagaimana mereka berusaha selalu menyalakan semangat untuk tetap menguasai, mengelola tanah garapan mereka hingga akhirnya tanah tersebut mereka miliki. Seperti yang diucapkan oleh Mulyono bahwa ia hanya mengimbau kepada segenap anggota tentang lahirnya kesadaran-kesadaran adanya paguyuban itu untuk mengukuhkan dan memperjuangkan hak para petani dan meneguhkan bahwa apa yang mereka upayakan selama ini adalah untuk kesejahteraan petani. Terbukti bahwa para petani sudah berdaya secara ekonomi dan tercukupi secara ketahanan pangan.
Berpijak dari realita, mengapa reforma agraria tidak dilakukan di negara Indonesia, adalah dengan tetap berjuang untuk senantiasa mengolah tanah yang selama ini dihadapi sehari-hari, hingga suatu saat ada momentum pelaksanaannya. “Tinggal bagaimana kita para pejuang nanti menemukan suatu momen dan kita akan diperhadapkan pelaksanaan,”demikian kalimat Purwanto dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di hadapan para petani. Ia menambahkan bahwa petani sebagai soko guru dan pengelola serta penjaga air benar-benar terwujud dan itu lestari. Ia juga berharap para petani tetap memberi kelimpahan dan energi yang positif serta menjaga spirit untuk mengubah struktur agraria yang timpang.
Lantas timbul pertanyaan kembali, bagaimana cara meredistribusikan tanah, harapannya adalah semoga ada momentum politik atau ada kepemimpinan atau sosial politik di negara yang masih berpihak kepada para petani. “Kejadian seperti kemarin, banyak dunia luar melihat bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Kita sebagai petani yang terdidik dan terorganisir, kita jengah tapi kita tidak akan demikian. Jangan sampai kita terprovokasi dengan berbau anarkisme, yang berbau penjarahan. Kita harus meyakini bahwa apa yang kita lakukan adalah reclaiming atau membudidayakan,” imbuh Purwanto. Menurutnya, kalau stigma oleh negara bahwa petani melakukan penjarahan tanah itu tidak benar. Stigma lainnya terkait bahwa ketika masyarakat ngobrolin soal tanah dan garapan adalah komunis.
Purwanto menambahkan, jika dirunut sejarahnya, harusnya tahun 1960 ketika disahkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) semestinya masyarakat petani sudah dipenuhi hak tanahnya. Artinya jika UU PA benar dilaksanakan, maka di negara Indonesia tidak ada demo seperti kemarin. “Sejak para petani berjuang sampai sekarang tidak ada keberpihakan dari pemerintah untuk hak dikelola dan diberikan ke masyarakat petani. Kalau petani diberi kedaulatan maka persoalan kemiskinan tidak terjadi. Kepemilikan petani harusnya petani punya 2-5 H tanah tapi realitanya adalah posisi pemerintah hanya sebagai tukang blantik. Harusnya tanah diberi ke petani dan dikelola sebaik baiknya,”pungkasnya.
Sementara itu, Haryati Panca Putri, direktur pelaksana Yayasan YAPHI, mengatakan sebagai petani harus bangga sebab selama ini petani berjuang dengan derai air mata. “Tanpa petani kita tidak merasakan kemerdekaan. Perjuangan kita hari ini belum selesai maka harus terus diperjuangkan,”jelas Putri.
Warti, salah seorang perempuan petani anggota paguyuban kepada suarakeadilan.org menyatakan bahwa selama ini dia selalu bersemangat untuk mengelola lahan pertaniannya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia menyadari bahwa ketika bergabung dengan mengikuti paguyuban, ia merasa tidak berjuang sendirian. (Ast)