Publikasi

Jaringan Visi Solo Inklusi dan YAPHI Buka Kelas Relawan, Menjawab Minimnya Sensitivitas Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kota Inklusi berarti sebuah kota yang berupaya menciptakan lingkungan yang setara, adil, dan tanpa diskriminasi bagi semua warganya, termasuk difabel. Upaya ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kebijakan, aksesibilitas fisik hingga partisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Surakarta menjadi salah satu kota ramah difabel dan citra ini melekat karena adanya perubahan-perubahan signifikan yang dilakukan oleh pemerintah. Even-even disabilitas sering kali diadakan di Surakarta, salah satunya Pekan Paralimpik Nasional (PEPARNAS) XVII 2024 dan Festival Olahraga Disabilitas yang melibatkan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Surakarta. Dalam even-even tersebut, relawan difabel dibutuhkan untuk mendampingi teman difabel.

Relawan difabel sangat penting untuk membantu difabel dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga akses terhadap layanan publik, serta berperan dalam membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi. Naasnya, relawan difabel masih minim kesadaran dan pengaturan untuk mendampingi teman difabel sehingga menyebabkan permasalahan tambahan hambatan bagi difabel.

Yayasan YAPHI bersama Solo Visi Inklusi melihat permasalahan terkait dengan relawan pendamping difabel menjadi bagian yang perlu untuk diberikan perhatian khusus. Dalam elaborasinya kemudian menghasilkan gagasan untuk membuka kelas bagi relawan pendampingan difabel yang diberi nama “Kelas Relasi” kepanjangan dari Kelas Relawan Inklusi yang dilaksanakan pada Selasa (19/08) di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI.

Kelas Relasi akan dilaksanakan sebulan sekali dengan empat kali pertemuan. Tema kelas yang pertama  adalah mengenai konsep dasar disabilitas dengan narasumber yakni Pamitkasih, perempuan pegiat isu difabel. 31 Peserta yang mengikuti kelas berasal dari keberagaman dan juga melibatkan penyintas Difabel.

 

Sesi Pertama : Dasar-dasar Disabilitas

Dalam sesi kali ini, Pamikatsih meminta peserta kelas relasi untuk menuliskan siapa itu disabilitas. Sebagian peserta  menuliskan jika disabilitas adalah seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, hingga sensorik, sedangkan sebagian lainnya menuliskan bahwa meski disabilitas namun memiliki kelebihan lainnya. Pamitkasih juga menceritakan sejarah lahirnya gerakan disabilitas yang dimulai di tahun 1996 dan melahirkan undang-undang penyandang cacat di tahun 1997. Meski gerakan sudah ada, namun dimulainya gerakan disabilitas di Surakarta pertama kali di tahun 2016 dengan menolak penyebutan disable  dan mendorong pembuatan undang-undang disabilitas yang saat ini dikenal sebagai undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pamitkasih juga menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dijelaskan juga ragam disabilitas seperti disabilitas Fisik, disabilitas mental, hingga disabilitas sensorik.

Pamikatsih juga menjelaskan bahwa disabilitas memiliki beberapa tingkatan yakni dari yang mampu dididik, mampu dilatih, dan mampu rawat alias tidak bisa melakukan aktivitas. “Di Indonesia sendiri ada stigma disabilitas tidak bisa melakukan apa-apa, padahal disabilitas mampu dan memiliki hak yang sama yang harus dijaga dan tidak boleh dilepaskan” ucap Pamitkasih. Ia juga menekankan bahwa permasalahan-permasalahan di Surakarta  kian banyak,  di antaranya adalah stigma-stigma buruk kepada disabilitas, aksesibilitas yang hanya proyek, hingga sensitivitas terhadap disabilitas masih jauh diketahui nasyarakat, sehingga kelas relawan yang diinisiasi oleh Jaringan Visi Solo Inklusi bersama Yayasan YAPHI bisa memberikan kesadaran dengan cara  menyebarkan pengetahuan dan pemahaman ini.

 

Sesi Kedua : Ideologi Kenormalan

Pamitkasih memulai kelas dengan mengajak peserta untuk membuat kelompok dan meminta kelompok untuk menggambarkan manusia yang dikatakan sebagai “normal” seperti apa. Kemudian kelompok-kelompok mempresentasikannya.  Ada yang menggambar laki-laki, dan ada yang menggambar perempuan dengan pertimbangan kelompok masing-masing. Pamitkasih kemudian menanggapi gambar-gambar tersebut dengan menjelaskan bahwa masyarakat sering mengartikan ”kenormalan”, dan apa itu “kecacatan”, orang yang kehilangan salah satu fungsi organnya. “Sebenarnya yang namanya normal person adalah orang yang memenuhi 3 syarat yakni memiliki Raga atau fisik, memiliki Jiwa, dan memiliki Roh” ucap Pamitkasih.

Ia juga menjelaskan tentang “ideologi amplop” yakni seluruh masyarakat Indonesia masuk ke dalam amplop. Teman-teman non disabilitas amplopnya terbuka karena dibeberapa sektor hingga selalu terbuka bagi teman non-disabilitas, namun sebaliknya kepada teman disabilitas, amplopnys tertutup dan tidak bisa mengakses beberapa sektor, tidak memiliki akses, hingga tidak diakui. Pamitkasih juga menyampaikan bahwa arogansi kenormalan juga tumbuh dalam teman disabilitas maupun non disabilitas, sehingga belum memenuhi tiga unsur yang diperlukan untuk membangun  konstruksi sosial bagi disabilitas seperti struktur budaya, struktur agama, serta kubus kecerdasan. (Renny Talitha Candra/ast))