Publikasi

Difabel Masyarakat Adat dan Bagaimana Peluangnya di RUU Masyarakat Adat

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Maria Un, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan dalam diskusi oleh  Forum Diskusi Denpasar 12 bertema Masyarakat Adat, Rabu (6/8) mengatakan bahwa sejak tahun 2017 bekerja sama dengan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Program tersebut yakni melakukan pemberdayaan untuk  kawan-kawan difabel masyarakat adat di Kabupaten Maros,Kabupaten Sidrap, dan Kabupaten Sinjai. Dan pada  tahun 2023 masyarakat adat  pun memberikan usulan ketika ada pembahasan di Sulawesi Selatan terkait dengan Rancangan Undang-undang (RUU) masyarakat adat. Yang pertama adalah bahwa pihaknya  sangat setuju apa yang disampaikan oleh narasumber bahwa masyarakat adat tidak hanya membutuhkan pengakuan tetapi juga perlindungan sebagai warga negara. Bahwa RUU ini sebaiknya tidak hanya fokus kepada identitas, namun juga  berbicara tentang hukum adatnya.  Bagaimana kemudian memastikan perlindungan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat kalau kita berbicara tentang penyandang disabilitas. Maka kalau tataran kebijakan internasional  untuk penyandang disabilitas masyarakat adat itu diakui di Convention on the Right of Person with Disabilities (CRPD). Yang pada pembukaan mengakui bahwa difabel  masyarakat adat itu disadari bahwa  mereka akan mengalami diskriminasi yang jauh lebih berganda daripada difabel lainnya sehingga perlu  di beberapa pasal dalam RUU masyarakat adat sehingga memang perlu dipastikan bahwa dalam RUU ini itu juga berbicara tentang perlindungan difabel masyarakat adat.

Terkait dengan perlindungan tadi yang juga mencakup  perlindungan terhadap perempuan dan anak adat jangan lupa bahwa ada penyandang disabilitas masyarakat adat. Di tiga kabupaten seperti tersebut di atas, Maria Un dan organisasinya melakukan pendataan dan menemukan komunitas yang di situ ada lebih dari 50 difabel dari  semua ragam dan ketika pihaknya  berbicara tentang perlindungan,  mereka punya kebutuhan-kebutuhan yang spesifik berdasarkan ragam disabilitasnya.

Maria menambahkan bahwa  kalau  melihat dari proses perjalanan RUU ini yakni sejak tahun 2009, berarti sudah 4 periode DPR.  Ia memberi masukan  bahwa mungkin sebaiknya melibatkan lebih banyak organisasi masyarakat sipil untuk melakukan lebih dalam kerja-kerja advokasi dalam memberikan masukan untuk memperkaya RUU ini dan dilibatkan dalam proses-proses pengawalannya,   karena tentu tidak terlepas isu perempuan anak.

Maria  juga sangat berharap bahwa pihaknya  bisa diberikan akses memperoleh draft RUU masyarakat adat agar  bisa dibahas bersama-sama dengan kawan-kawan organisasi difabelainnya untuk memastikan bahwa RUU ini juga sudah memasukkan  perlindungan kepada difabel masyarakat adat.  (Astuti)