Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertema Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Peran, Masyarakat Adat di Indonesia dalam rangka Hari Masyarakat Adat, Rabu (6/8) mengatakan empat realitas mendasar ketika berhubungan dengan tanah atau wilayah adat.
Pertama yaitu adalah tanah air dan juga hutan wilayah adat itu sebagai satu aspek dari civitas mereka. Kedua adalah aspek histori, jadi ada hubungan panjang antara satu wilayah adat dengan adat lainnya seperti di Sumatera. Di banyak komunitas, menganggap bahwa tanah itu adalah ibu. Jadi kehilangan ibu itu seperti kehilangan semuanya. Artinya merusak tanah atau merusak hutan atau sumber daya alam itu seperti itu berbuat jahat kepada ibu. Kemudian yang ekologis itu memandang bahwa wilayah adat itu hubungannya dengan sosial dan seterusnya dan terakhir baru melihat dari aspek ekonominya. Cara pandang yang ada di masyarakat berbeda dengan cara pandang pembangunan hari ini. Seolah-olah bahwa semua hal bisa dilakukan tanpa memperhatikan aspek antara satu intensitas yang kita sebut dengan wilayah adat dan juga hubungannya dengan wilayah tersebut.
Lantas apa yang perlu dilakukan? Menurut Arman maka terkait RUU Masyarakat Adat yang setelah sekian lama. Lantas mengapa undang-undang ini menjadi sangat penting bagi masyarakat? Setidaknya ada beberapa catatan. Pertama, ingin memastikan bahwa masyarakat adat diakui sepenuhnya sebagai warga negara. Caranya bagaimana? caranya dengan proses pengakuan atau kemudian membalik itu menjadi proses tidak politis seperti hari ini, harus dengan Perda, kemudian mudah bagi pemerintah karena cukup dengan hasilnya legal dan juga mendapatkan legitimasi. Yang kedua itu adalah pihaknya menghendaki sebenarnya satu kelembagaan pada tingkat nasional yang mengurusi masalah adat karena selama ini pihaknya memandang bahwa pengaturan yang selama ini justru semakin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan pengakuannya.
Arman menambahkan undang-undang ini mesti bisa menjawab bagaimana penyelesaian konflik yang terkait dengan hak-hak dasar adat. Pihaknya ingin menaruh di kelembagaan tadi yang disebut sebagai bagian dari kelembagaan dalam menyelesaikan konflik. Bicara soal sektoralisme maka undang-undang ini harus mampu melakukan harmonisasi, misalnya ada kurang lebih 30 undang-undang yang mengatur tentang masalah adat yang punya kriteria atau cara pandang dan seterusnya. Pihaknya ingin menyatakan bahwa masyarakat adat itu sesungguhnya tidak anti pembangunan tetapi masyarakat adat ingin menjadi bagian dari bangsa, sebagai warga negara yang utuh yang dihormati, yang dipenuhi syaratnya dan dilindungi oleh negara. Kalau Indonesia itu dibangun sebagai negara yang beragam dan salah satu pondasinya itu adalah masyarakat adat maka dengan berbagai peristiwa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat dan kemudian mengikis, merusak atau bahkan merobohkan koneksinya maka percayalah seakan sedang menunggu robohnya bangunan rumah bangsa yang besar ini.
Lantas bagaimana partisipasi AMAN atau masyarakat adat secara umum dalam perumusan rancangan undang-undang dilibatkan? kalau yang berkaitan dengan RUU masyarakat adat yang dimasukkan, pihaknya selama ini banyak berkomunikasi dengan fraksi-fraksi terutama misalnya dengan fraksi pengusung dan juga ada PKB di dalamnya. "Di dalam pertemuan terakhir itu kami di AMAN bersama koalisi kawal RUU Masyarakat Adat itu sudah menyerahkan satu naskah akademik dan juga rancang undang-undang sebagai inisiatif dari DPR RI," terang Arman.
Ada negara lain yang memperlakukan masyarakat adat secara ideal, memadai misalnya Filipina. Filipina adalah negara terdekat Indonesia yang sudah punya undang-undang tentang masyarakat adat. Hal itu dibenarkan oleh Yance Arizona, narasumber lainnya. Di Filipina ada pengakuan HAM yang selanjutnya diatur dalam konstitusi tapi kemudian mereka lebih mengesahkan undang-undang masyarakat adat padahal Indonesia, kalau membaca konstitusinya cukup maju karena diletakkan di sana. Lalu bagaimana posisi masyarakat adat di Indonesia?
Yance menyatakan mestinya ada perubahan paradigma dari mengakui, menjadi melindungi. Barangkali bisa diakomodasi nantinya di dalam rancangan undang-undang. Pemerintahan Negara Republik Indonesia itu dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu karena masyarakat adat merupakan bagian dari Republik Indonesia yang bahkan keberadaannya itu sudah lebih dulu dan lebih cepat dari Republik Indonesia maka tugas pemerintahan Indonesia yang dibentuk kemudian itu salah satunya adalah untuk juga melindungi masyarakat.
Jadi kalau sampai hari ini setelah 80 tahun Indonesia merdeka masih ada banyak masyarakat adat yang tanahnya diambil, dirampas karena proses ekstraktif ataupun konservasi berarti pemerintah harus mengambil tindakan yang konkret. Di situ langkah untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat, salah satunya adalah dengan pengaturan undang-undang tentang masyarakat adat. Juga punya pondasi penting keberagaman karena sebagai satu negara yang beragam Bhinneka Tunggal Ika terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa Indonesia.
Untuk keberagaman itu juga membutuhkan warga di dalam satu undang-undang tersendiri khususnya untuk masyarakat adat. Secara yuridis sebenarnya juga sejumlah ketentuan di dalam undang-undang dasar juga mengatur tentang masyarakat adat antara lain 8 Pasal 18b Ayat 2 dalam bab tentang pemerintahan daerah yang di sana mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat serta tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan prinsip NKRI dan diatur dalam undang-undang pasal 283 contoh tentang hak asasi manusia mengatur identitas budaya dan masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban pasal 32 dan kontes Pendidikan dan Kebudayaan juga mengatur tentang masyarakat adat.
Ketika bicara masyarakat adat meskipun ketiga dasar konstitusional itu menggunakan terminologi yang berbeda-beda kesatuan masyarakat secara umum. Pada titik ini sebenarnya muncul gagasan karena seringkali dalam perdebatan untuk penyiapan RUU ini selalu muncul perdebatan, ini mengatur tentang masyarakat hukum adat atau masyarakat adat. 14 tahun terakhir itu selalu muncul dan sebenarnya kita perlu menghasilkan satu inovasi penafsiran baru dengan menggunakan terminologi masyarakat adat sebagai satu terminologi umum, genus. Sebab kalau hanya mengatur tentang masyarakat hukum adat maka hanya mengatur sebagai turunan dari pasal 18b ayat 2. Lalu bagaimana dengan pasal 28. Iya, jadi istilah masyarakat adat bisa ke depan, dikumandangkan, disampaikan sebagai satu istilah umum yang bisa punya landasan terungkap dari undang-undang dasar. Nah, program yang dihadapi oleh masyarakat adat tadi yakni menyampaikan banyak hal termasuk persoalan bahasa, budaya, konflik, yang dihadapi oleh masyarakat adat.
Itulah persoalan-persoalan sosial yang berujung pada ketidakadilan pada marjinalisasi, kriminalisasi, kemiskinan bagi masyarakat adat karena mereka banyak punya sumber daya. Sumber daya yang mereka miliki tetapi tidak bisa memanfaatkan sumber daya tersebut karena ada kontestasi resources. Terutama ketika pemerintah menjadikan wilayah-wilayah sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat adat yang bersifat sektoral nomenklaturnya berbeda-beda pengakuannya, yang bersyarat deskriptif, maka menghambat perlindungan hukum, prosedurnya rumit, biayanya mahal, melibatkan banyak pihak masyarakat jadi rumit sekali. Untuk mengurus masyarakat adat ini, dengan membuat rumit itu adalah hukum itu sendiri.
Sebenarnya ada sejumlah undang-undang yang sudah mengatur tentang masyarakat dan undang-undang ini belum sinkron satu sama lain bahkan istilah pun berbeda-beda proses untuk mengorganisasikan keberadaan dan keamanan masyarakat adat juga beda-beda jadi sebagai bagian untuk industri ekstraktif untuk pertambangan dan perkebunan.
Yance menjelaskan lagi bahwa RUU masyarakat adat sebenarnya perlu hadir untuk menyelesaikan program hukum juga. Jadi selain punya tanggung jawab untuk menyelesaikan problem sosial di masyarakat adat yang dialami oleh masyarakat adat tapi juga punya tanggung jawab untuk memperbaiki sistem hukum yang memuat dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Sudah ada banyak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melakukan koreksi tapi intinya adalah sudah ada banyak juga landasan konstitusional dari putusan MK bisa diturunkan untuk pengakuan masyarakat dalam administrasi kependudukan. Ada beberapa peraturan operasional dan juga sudah dibuat untuk merealisasikan masyarakat problemnya memang sampai sejauh ini realisasinya itu masih sangat terbatas karena proses untuk nama masyarakat adat itu yang sangat rumit prosesnya. Sebenarnya di beberapa daerah ada produk hukum daerah. Apakah itu Perda, SK, provinsi, kabupaten yang mengatur berbagai macam dimensi yang berkaitan dengan adat tetapi memang jika dilihat masih banyak juga problem-program yang sosial dan hukum yang dihadapi oleh masyarakat, saat ini satu kerangka hukum tersedia tidak sinkron satu sama lain dan terlalu menekankan pada proses politik daripada administrasi layanan publik.
Politik maksudnya adalah terlalu sibuk untuk menentukan, terlalu sibuk dalam upaya untuk menentukan subjek misalkan, masyarakat adat itu siapa, padahal ada banyak sekali problem yang dihadapi oleh masyarakat dan tanpa perlu penetapan subjek tadi, misalkan soal bahasa yang punah, maka kemudian pemerintah baru akan bertindak kalau sudah ada pengakuan. Ini sebagai masyarakat adat pada masanya akan punah. Harusnya bisa fokus kepada problem perlindungan terhadap hak-hak mereka tanpa terjebak dengan problem politik, pengakuan terhadap subjek masyarakat adat, pengakuan dan itu sejumlah problem hukum yang dihadapi saat ini untuk masyarakat adat yang sudah berlangsung lama. (Ast)