Publikasi

Catatan dari Diskusi Tematik ke-8 Tentang Perlindungan Sosial pada Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Diskusi Tematik seri ke-8 dalam rangkaian Temu Inklusi ke-6 bertema Perlindungan Sosial bagi Difabel dihelat oleh Sigab didukung program INKLUSI pada Selasa (5/8).

Dimoderatori oleh Sri Kusumastuti Rahayu, dari Proaktif menghadirkan beberapa narasumber. Narasumber Asahel Bush, mengatakan dalam paparannya ada beberapa poin :  1. Kajian melihat jaminan sosial  inklusif dan bagaimana rekomendasi bisa menjadi arahan kebijakan, yakni Kajian Literer . 2. Mengadakan Focus Group Discussion (FGD) online supaya cepat dalam  mempengaruhi OPDis, pengalaman mereka terkait jaminan sosial, kajian kerangka global, contoh negara, dan analisis berdasar keahlian yang dimiliki serta kajian literatur lainnya. Sedangkan pertanyaan penelitian, maka pertama adalah bukti dan praktik baik secara global dalam hal jaminan sosial inklusi untuk difabel. 3. Bukti apa sistem jaminan sosial.4. Apa saja resolusi dari negara lain yang untuk cakupan perlindungan bagi indoensia. 5.Apakah ada kesenjangan sosial terkait jaminan sosial untuk difabel Indonesia dan bagaimana jaminan sosial ini untuk kesempatan di jangka pendek maupun panjang.

Sedangkan Daniel Mont menyampaikan tujuan perlindungan sosial dan bagaimana difabel di Indonesia. Tujuannya yakni penghapusan kemiskinan atau supaya tidak ada yang hidup dalam kemisinan. Kedua adalah rasa keamanan terkait pendapatan, yang dapat diandalkan, tidak fluktuatif, stabil, serta perlindungan terhadap kejadian mengejutkan misal kehilangan pekerjaan, sakit, bencana alam, mitigasi dampak-dampak, sampai ketika memberikan jaminan sosial.

Dan mengatakan bahwa ketika bicara disabilitas, maka seiring perlindungan sosial yang tidak bekerja secara maksimal. Program-program perlindungan yang ada tidak menghitung biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh keluarga dengan disabilitas misalnya biaya pengobatan, dan  biaya renovasi rumah. Ketiga adalah stabilitas dan keamanan pendapatan. Terkait bekerja, apakah program perindungan sosial tidak memperhatikan ini.

Keempat adalah perlindungan terhadap kejutan-kejutan seperti kebakaran, bencana alam. Menurut Dan, kalau lingkungan berubah, maka kemampuan adaptasi berubah, sehingga perlindungan sosial harus aksesibel bagi difabel dari berbagai ragam. “Kita ingin bergeser dari sistem institusi. Baik dalam kondisi disabilitas fisik atau psikososial, disabilitas ringan atau berat, harus memastikan adanya aksesibilitas dan dukungan yang berbeda yang tersedia bagi mereka,”ujar Dan.

Narasumber berikutnya, Aissyah Ardani mempertanyakan terkait jumlah difabel, apakah data  memiliki kesamaan, sebab realitanya, jumlah difabel perempuan lebih banyak dari pada laki-laki karena kesempatan hidup. Kaitannya dengan kemiskinan, sebab analisis menunjukkan difabel cenderung masuk dalam kemiskinan ekstrem dibanding non difabel.  Ini dalam  perhitungan tradisional. Data yang ada saat ini adalah perkiraan yang sangat rendah karena tidak memunculkan biaya yang ditanggung oleh penyandang disabilitas. Misalnya tempat kerja, mereka tidak bisa menggunakan motor, dan biaya tambahan lainnya seperti  penyediaan alat bantu, tingkat atau sistem dukungan. Seperti diketahui bersama bahwa kajian Prospera, setelah mempertimbangkan exstra cost, anggaran rumah tangga berubah. Kalau fokusnya anggota keluarga yang memiliki difabel berat, maka bertambahnya lebih banyak,

Nah, pertanyaannya adalah apakah program perlindungan sosial yang sudah ada saat ini sudah melindungi mereka? Secara umum pemerintah Indonesia sudah memiliki sistem perlindungan sosial , ada yang langsung menyentuh difabel : contoh Atensi, juga perlindungan, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Nasional  Panerima Bantuan Iuran (JKN-PBI), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan lain sebagainya. Bantuan-bantuan tersebut, ada yang hanya menargetkan  difabel usia lansia saja. Dan  KIP hanya untuk usia sekoah, sedangkan untuk lansia bsa mengakses PKH. Sebuah catatan bahwa di program umum kepesertaan, angka difabel jauh lebih kecil dari non difabel. Ini artinya program bantuan untuk difabel jauh dari maksimal, meski sudah ada bantuan tunai untuk difabel. Namun pada tahun 2020 program ini bergabung untuk PKH. Catatan lainnya,  ada 13, 3% difabel belum masuk JKN PBI.

Program Atensi oleh Kementerian Sosial yang secara spesifik adalah  bantuan layanan atau barang bagi difabel, tidak ada angka pasti kesepesertaan seluruh nasional dan apa manfaat yang diberikan. Difabel cenderung lebih miskin, dan menanggung biaya tambahan yang belum diperhitungkan dalam perlindungan sosial.

Dan kemudian menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi bahwa harus diperbaiki sistem penerimaan karyawan difabel dalam mengakses pekerjaan, kalau kita melihat bahwa kita berfokus dengan biaya bahan oleh keluarga dengan difabel, oleh sebab itu, butuh, Kemen Pendidikan dengan dampingan Kementerian Pendidikan, di Indonesia, difabel masuk di sistem pendidikan dan perlindungan sosial, dan juga bahasa isyarat ini lagi-lagi biaya tambahan yang diperlukan. Keluarga harus mempekerjakan  juru bahasa isyarat bagi kebutuhan anggota keluarga mereka, juga terkait transportasi umum yang aksesibel, meski bisa diusahakan dengan ponsel pintar,  meski dengan biaya tinggi. 

Cucu Saidah  seorang konsultan independent CBM Global menyampaikan  hasil dari Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan Bersama Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis), dari beragai wilayah,Jakarta Jawa dan Jawa Tengah dan Timur. Beberapa temuan dari hasil diskusi adalah : 1. Berbagai perlindungan sosial diakses oleh penyandang disabilitas. Di Jakarta dan kota besar, pemenuhan hak masih rendah. Eksklusi atau gap yang sangat tinggi dalam perlindungan sosial terutama dialami oleh perempuan difabel. Minoritas etnis dan difabel yang tidak terlihat dan juga penting dirasa pengadaan bagi rumah tangga yang memiliki anggota difabel yang lebih dari satu. “Bagaimana pengalaman sebagai perempuan, difabel, dan minoritas, mengalami hambatan terhadap akses terutama terkait pendidikan dan sangat sulit bersekolah dan tidak ada akses terhadap informasi,”terangnya.

Cucu juga menyampaikan beberapa faktor kunci : 1. Kesadaran program antara anggota OPDis dan group marjinal, infra struktur dan layanan informasi yang tidak aksesibel. 2. Kesadaran dan keterampilan dari yang menanggapi  perlindungan social. 3. Orang dengan difabel yang tidak terlihat tidak teridentifikasi karena stigma. 4.  Proses DTKS, belum mempertimbangkan kebutuhan support dan tidak mengakses, masih ada hambatan yang dialami oleh anggota keluarga. 5. Perlindungan sosial yang seharusnya diterima difabel oleh mereka transparan terkait kriteria. 6. Rendahnya kesadaran petugas di perlindungan sosial.

Sedangkan M.Joni Yulianto, penanggap diskusi menyatakan Hambatan perlu dihitung untuk menjawab perlindungan sosial dalam konteks Indonesia, banyak hal yang harus dilihat dalam perspektif Indonesia, bahwa perlindungan sosial tidak harus tertuang dalam bentuk bantuan sosial. Maka perlu melihat dalam konteks Indonesia bagaimana perlindungan sosial ini diberikan.  Menurut Joni, sayangnya konsesi sebagai perlindungan sosial, kurang menganalisa secara luas, berapa persen difabel yang akan mendapat manfaat itu dan berapa persen yang tetap terpinggirkan meski ia dapat perlindungan sosial. Hal lain yang menarik untuk disoroti adalah bagaimana menempatkan secara spesifik dan universal caverage.

Aisyah Ardani menyetujui perkataan Joni, bahwa exstra cost bisa beda antara antara  rural dan frugal, termasuk penelitian yang dilakukan Prospera, keluarga yang memiliki penghasilan tinggi, kebutuhan disabiltasnya cenderung  besar dibanding orang-orang yang  memiliki penghasilan rendah. Ia mengungkapkan sebuah penelitian, bahwa konsesi menimbulkan gap (disparitas), contohnya : konsesi potongan harga, masalahnya tidak semua orang punya uang jumlah tertentu.

Asahel Bush menanggapi pertanyaan peserta diskusi, bahwa apa yang dipaparkan oleh Cucu yakni adanya  kesenjangan yang jadi kebutuhan berbagai disabilitas yang berbeda. Ia juga ingin menyampaikan sebuah informasi kualitatif kajian yang dilakukan oleh mereka, tim CBM global, dengan sampel terbatas berupa diskusi dengan peserta 20 orang dari difabel yang berbeda dan dari wilayah Indonesia yang berbeda sehingga menjadi memberi sumber informasi, halangan dan tantangan apa yang ada. Memperlihatkan kepada publik atau masyarakat bahwa metodologi dalam proses bermakna, bahwa pengumpulan data semaksimal mungkin,  bahwa kelompok marjinal ini berpartisipasi secara maksimal.  “Ini bukan tentang jumlah sampel yang besar atau kecil. Jumlah sampel besar bisa memberi data, tapi representatif atau tidak. Yang memuat kisah berbeda dari kelompok berbeda. Penelitian kualitatif dan representatif lainnya bisa jadi solusi. Maka partipasi bermakna sangat penting,”ujar Asahel. (Ast)