Publikasi

Kajian Hukum Kritis : Diskusikan Pelanggaran HAM Berat 65/66 Bersama Organisasi Kepemudaan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

"Dunia memang tidak adil. Hal-hal buruk mungkin akan terus terjadi tapi kita harus tetap berani untuk bersuara. Perubahan akan terjadi. Kita bisa ciptakan ruang aman untuk kamu, kita. Organisasi  dan bersolidaritas itu adalah kunci." -Rangga Purbaya

Membincangkan tentang peristiwa tragedi pelanggaran HAM Berat 65/66 memang tiada habisnya, karena kisah-kisah itu semestinya terus disuarakan. Kalau saat ini kita sedang kalah dengan narasi-narasi yang dibangun dan sejarahnya ditulis kembali oleh pemerintah lewat Kementerian Kebudayaan, tetapi setiap diri kita adalah jembatan untuk menyampaikan kebenaran.

Seperti kisah nyata yang disampaikan oleh Katri, penyintas asal Klaten, dalam kajian hukum kritis helatan Yayasan YAPHI dalam rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuam dan Anak, pada 9/12 lalu. Diskusi kajian kritis HAM 65 dihadiri oleh dua narasumber yakni Katri dan Rangga Purbaya dan para penyintas serta puluhan pemuda dari komunitas dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) pada Selasa, (9/12).

Katri baru mengandung tujuh bulan, di usianya yang masih sangat muda dan suatu saat didatangi oleh tentara. Waktu itu ia di rumah dalam keadaan santai. Ada tujuh orang tentara datang. Mereka mencari kakak dan suami Katri yang saat itu sedang tidak ada di rumah. Rumah orangtuanya diobrak-abrik dan mereka hendak mengambil sesuatu namun setelah mencari tidak ada. Komandan tentara meminta kepadanya  supaya mencari barang yakni uang yang sudah ia siapkan untuk keperluan melahirkan sang anak, dan hilang begitu saja.

"Mbak.. Gini saja. Bilang kalau uangnya sudah ketemu," bujuk sang Ibu agar persoalan tidak jadi memanjang. Lantas ibunya menemui tentara dan berkata, "Mas, uangnya sudah ketemu. " Padahal waktu itu uangnya sangat berarti, satu juta. Waktu ia kompromikan, ada anggota yang tidak mendengar. Mereka masuk dan mereka marah-marah dan bilang katanya Katri memfitnah, lantas ada adu mulut.

Dalam waktu bersamaan, ada tembakan peringatan. Tapi ada yang menodongkan moncong senjatanya ke pipi Katri lantas peluru itu pun meletus, menembus pipi melewati rahang, melewati langit-langit mulut sehingga rongga mulut pun terbuka. Dalam kondisi wajah berdarah-darah dan perut  hamil,  ia lari keluar sampai ke ujung rumah. Ia ambil sehelai kain untuk menampung darah yang menetes.

Saat ia lari tersebut, ternyata seorang komandan mengejar Katri lantas menembak tetapi pistolnya macet. "Ah, macet", kata komandan lirih namun sempat didengar Katri.  Katri  baru sadar, ternyata ia ditembak lagi dan tembakan yang tidak meletus itu ia rasakan pedih dan berbau mesiu. Darah keluar banyak dari pipi dan wajah Katri, lantas ia kembali pulang ke rumah untuk menemui ibunya yang ia kira ditembak. Ternyata ibunya masih hidup karena arah tembakan melesat ke genteng dan lemari.

Setelah peristiwa itu Katri  lari menemui ibu dan bapaknya dan berpesan jika  sewaktu-waktu ia meninggal, minta dimaafkan "Ora Ndhuk, kowe selamet, " kata Bapak. Katri menunggu andhong yang tidak segera datang. Lantas ia mengambil handuk dan berlari 500 meter serta bertemu Daryanto yang sedang bersepeda, ia minta tolong diantar naik sepeda dari rumah saya ke rumah sakit yang berjarak 4 KM-an.    Butuh perjalanan 30 menit dalam kondisi luka. Sesampai di rumah sakit rombongan tantara yang ke rumah Katri ada di sana. Ia  sempat berpikir jangan-jangan akan ditembak lagi.

Rambut Katri yang dulu terurai panjang sampai berdarah-darah lalu keluarga meminta ia pindah ke rumah sakit yang lebih bagus, RS Panti Rapi. Dari RS Panti Rapih dipindah lagi dan dikonsultasikan ke RS Gadjah Mada/ RS Sardjito dan dikira peluru masih bersarang lalu kembali ke RS Panti Rapih. Di RS  Panti Rapih, Katri didoakan pastor dan dokter yang menangani adalah Profesor Salim.

Suatu saat Pastor bertanya kepada Ratri, "Mbak, bagimana nanti kalau anaknya tidak selamat? " Pertanyaan Romo lantas dijawab oleh Katri. "Jangan, Romo. Anak saya harus selamat."

Lantas ayah Katri berkata,"Jabang bayi, aja gawe susah," Lalu  Katri pun mengambil kelinting, penanda kalau mau melahirkan anaknya bernama Yudi.

Setelah melahirkan sampai genap 40 hari ia diperbolehkan pulang. Sebelumnya pihak rumah sakit bilang jika anaknya boleh dititipkan di sana, tetapi kenyataannya tidak boleh. Katri dijemput orangtua selanjutnya pulang ke rumah. Semalam di rumah, ia kemudian dijemput dan ditahan di Camp Cenderawasih. Anaknya  diajak masuk ke camp. Anak tidurnya di meja untuk dua orang. Jadi meja besar itu isinya dua anak dan dua ibu. Katri belum fasih merawat bayi. Di situ ada bidan yang berstatus tahanan juga. Ia banyak membantu.

Katri bercerita, saat itu kalau ada seorang petugas datang dengan membawa selembar kertas, panggilan itu bernama "panggilan gelap". Hampir setiap hari muncul istilah "dibon" atau malaikat pencabut nyawa. "Bapak saya dipanggil lantas dibawa kantor Corp Polisi Militer (CPM). Orang-orang bilang, "mbah kakung bejo tidak dibon".Saya belajar dari segala situasi yang saya hadapi dan selalu ada keajaiban. Dua tahun disitu, lantas pulang lagi ke rumah selama delapan bulan lantas ditahan lagi. ia digunduli. Di tahanan ia kerap dinamai "Katri Penting. "

Saat menjawab pertanyaan peserta yang sebagian besar adalah pemuda, Katri memperingatkan sebagai generasi muda jangan mengeluh. Apalagi perempuan, jangan banyak mengeluh.

Kisah kedua tentang Rangga Purbaya. Hadir sebagai narasumber diskusi kritis, ia yang seorang seniman mengaku jika lahir dari keluarga penyintas dan relasinya dengan keluarga amat kompleks. "Ayah saya ditangkap karena berafiliasi dengan suatu organisasi, kakek saya dari pihak ayah hilang. Beliau ditangkap dan dijemput dari rumahnya, selama seminggu pertama masih bisa ditemui, tapi setelah itu hilang tak ada kabar. Kakek dan nenek dari ibu saya ditangkap karena kakek saya anggota PKI. Ibu saya anggota Gerwani bareng Bu Katri selama 8 tahun."

Cerita mengalir dari tuturan Rangga bahwa sebelumnya ia tidak tahu. Ada beberapa hal yang banyak menggantungkan pertanyaan terutama sebelum peristiwa 98, misalmya ketidakonsistenan  jawaban  terkait kuburan ayahnya. Di saat Soeharto jatuh tahun 1998 ia berusia  22 tahun. Momentum itu dimanfaatkan oleh orangtuanya pergi ke Jogja. Mereka datang untuk memberitahu kakeknya bahwa semua keluarga mereka terafiliasi peristiwa 65. Ibunda Rangga anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). 

"Tahun 1965, Ibu  saya berumur 13 tahun dan kami pindah dari Cilacap ke Kroya lalu tinggal di rumah nenek saya. Ayah saya selain PKI juga aktif Front Nasional, " jelas Rangga.

Tahun 2012 ibunya ikut semacam gathering yang diikuti oleh para penyintas, tiba-tiba dihentikan. Peristiwa itu menjadikannya berpikir kenapa peristiwa ini masih dianggap ancaman. Dari situ ia lantas berpikir bahwa ini masih penting untuk disuarakan.

Sebagai seniman, Rangga bekerja dengan media fotografi teks performance dan instalasi juga. Ia juga memiliki platform. Ketika bekerja terkait 65 ia lebih mudah. Ia juga bekerja di dua kaki : di aktivisme dan seni. Karya-karyanya  di galer sangat eksklusif. Ia juga berkesempatan berpameran dengan kawan aktivis yang bekerja dengan tema yang sama dan kolektif memori serta transformatif memori yang mempertemukannya dengan orang di belahan bumi yang lain. (Ast)