Publikasi

Jaringan Visi Solo Inklusi bersama YAPHI Peringati HDI Gelar Diskusi HAM dan Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Hak-hak penyandang disabilitas termaktub dalam United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) dalam banyak pasal yakni pasal 10-31 (kecuali pasal 11). Pun di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016, hak-hak tersebut juga tercantum. Disebutkan bahwa Pasal 5 Ayat (1) Penyandang Disabilitas memiliki hak: hidup; bebas dari stigma; privasi; keadilan dan perlindungan hukum; pendidikan; pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; kesehatan; politik; keagamaan; keolahragaan; kebudayaan dan pariwisata; kesejahteraan sosial; dan Aksesibilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga mendapatkan hak dalam Pelayanan Publik, Pelindungan dari bencana; habilitasi dan rehabilitasi; Konsesi; pendataan; hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Demikian dikatakan oleh Purwanti, atau akrab dipanggil Ipung dalam Diskusi Kajian Hukum Kritis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Disabilitas, salah satu rangkaian pelaksanaan peringatan 16 Hari Anti  Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) oleh Yayasan YAPHI bekerja sama dengan Jaringan Visi Solo Inklusi, sebuah jaringan terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan organisasi penyandang disabilitas dan indivu pemerhati isu disabilitas. Jaringan Visi Solo Inklusi lahir pada saat pandemi COVID-19, saat itu untuk menyikapi lahirnya Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2020, mengalihwahanakan perda jadi produk hukum yang aksesibel  dan melakukan diskusi-diskusi secara daring.

Dalam diskusi yang juga diperingati sebagai hari penyandang disabilitas internasional  tersebut Purwanti juga memberi pemahaman terkait instrumen hukum yang menjadi dasar hak disabilitas  yang pertama UUD 45 pasal 28, Undang-undang  No. 19 tahun 2011 dan Undang-undang nomor 8 tahun 2016, meski menurutnya, masih ada undang-undang yang alami  disharmoni sehingga kekhawatiran ada hak yang diatur oleh undang-undang  yang satu  bisa gugur di undang-undang  lain. Hak hidup yang ada di UNCRPD bertentangan dengan UU KUHP larangan Aborsi dan Peraturan Pemerintah  mengenai aborsi di Undang-undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Ada lagi terkait pengakuan kesamaan di muka hukum. Ada perdebatan di dalam undang-undang adalah  pengakuan persamaan di muka hukum yang  akan dipertanyakan siapa ini orangnya, ketika ia mengalami disabilitas intelektual dan psikososial.

Juga akses terhadap keadilan mengalami  langkah progresif oleh negara tetapi beberapa hal yang sampai hari ini masih dipertanyakan seperti ketika pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) masih ada pertanyaan tentang  sehat jasmani dan rohani. Juga terkait pasal yang mengatur tentang bebas dari penyiksaan tetapi senyatanya masih ada pemasungan. Untuk hukum  spesialis ada dua yakni  khusus anak dan  perempuan dan dijelaskan di UNCRPD, diakui bahwa perempuan dan anak perempuan rentan terhadap diskriminasi berlipat-lipat.

Pada sesi tanya-jawab,  Galih dari organisasi Gerkatin Surakarta menanyakan apakah di dalam undang-undang juga sudah memuat aturan atau apakah ada anggaran khusus dari pemerintah terkait kebutuhan 3 orang ahli (pendamping khusus difabel, JBI dan psikiater) dan apakah ada edukasi dari awal sehingga para aparat penegak hukum tidak menjadikan alasan pergantian pimpinan sebagai alasan klise untuk menghindar. Lantas Purwanti menjawab bahwa ada aturan di Peraturan Pemerintah (PP) nomor  39, bahwa  anggaran untuk itu menjadi tanggung jawab  perangkat hukum. “Kalau proses di kejaksaan maka itu kewajiban Jaksa, kecuali kasus perdata itu kewajiban pengadilan untuk menyediakan Akomodasi Yang Langsung (AYL) termasuk ahli. Namun perubahan undang-undang  tidak secara otomatis mengatur perubahan anggaran bagi disabilitas,” terang Purwanti.

Menjawab pertanyaan terkait kasus-kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan difabel mental psikososial dan intelektual yang terjadi lantas dilakukan pembiaran oleh keluarga atau masyarakat di sekitarnya, menurut Purwanti yang perlu diperhatikan adalah apakah dia (si korban) mendapat penanganan yang baik? Terkait Akses kesehatannya, dan  akses ke terapinya. Menurut pengalaman Purwanti yang mendampingi disabilitas mental, dia (si korban) memiliki regulasi yang lebih baik. Pengalaman berikutnya pernah ada kasus difabel mental psikososial, lantas ada  petugas dari  karang taruna atas perintah kades turut mengawasi , dengan cara mencentangi siapa saja yang berhubungan dengan si perempuan difabel mental psikososial tersebut.  Kemudian kasus tersebut bisa diproses secara hukum dan pelaku  dijatuhi hukuman 12 tahun.

“Untuk kasus yang rumit pakai "ngindhik" (red_mengintip). Di Gunung Kidul juga, ada disabilitas mental sebagai korban,bahkan pelaku  ini juga di “indhik” dan pelakunya di tangkap polisi,”ujar Purwanti.