Publikasi

Catatan dari Panggung Rakyat, “Petruk Nagih Janji” Sejarah yang Terjarah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Komunitas Reog Singo Kerti, Dulu dan Kini

Kedatangan saya dan dua teman panitia lainnya di sore hari itu di sebuah rumah dua lantai, beralamat di Kelurahan Kerten, sejak awal diterima dengan baik. Setelah sebelumnya komunikasi dilakukan oleh Daniel, teman yang didapuk menjadi ketua panitia. Bahwa acara puncak peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (HAKTP) akan melibatkan partisipasi masyarakat Kerten. "Tapi, anak-anak yang dulu bergabung dalam reog sudah pada bekerja menetap, Mas. Kami sudah lama tidak berkegiatan. Terakhir itu ya pas pandemi COVID-19," ujar laki-laki yang akrab dipanggil "Pak Mul", pengasuh Komunitas  Reog Singo Kerti yang berdiri tahun 2017, pensiunan ASN di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Arif Zainudin sambil melihat-lihat layar telepon genggamnya.

Tak ingin komunikasi yang sudah kami bangun berbuah sia-sia, saya lantas bertanya pengalaman Pal Mul sewaktu dulu masih bekerja di RSJD dan ternyata juga seorang pegiat di komunitas peduli skizofrenia. "Saya mendirikan kesenian reog ini kan bertujuan untuk menyatukan anak-anak muda itu, supaya mereka tidak terjerumus kepada hal-hal negatif seperti narkoba dan minuman keras. Bahkan mereka banyak yang sudah bekerja formal, "jelasnya. Tak menunggu berapa lama, Pak Mul sekiranya telah menemukan nomor kontak yang ia hubungi. Seketika ia menelpon sambil menyebut satu nama. Setelah berbincang beberapa saat, Pak Mul lantas dapat memastikan keterlibatan komunitas Reog Singo Kerti di panggung rakyat.

Dan benar juga, ada 7 personil yang turut berpartisipasi dalam pentas reog Singo Kerti, beberapa di antaranya memainkan musik. Sisanya adalah penampil reog. Dengan durasi tampil sekira 40 menit, penampilan Reog Singo Kerti malam itu mampu membius seluruh penonton_mayoritas anak-anak_ dan membuat mata mereka tiada berkedip, seolah-olah, timbul kelegaan atas "rasa kehausan" mereka akan atraksi budaya yang relatif lama tidak mereka tonton. Antusiasme anak-anak yang tinggal di sekitar Lapangan Segitiga Kerten benar-benar mewujud, terbukti beberapa di antaranya bahkan telah bersiap sejak sore hari selepas bedug Asar. Setelah diberitahu oleh panitia bahwa acara akan berlangsung malam hari, mereka lantas kembali ke rumah dan berjanji akan datang lagi nanti. Dan nyatanya, animo anak-anak ini ditunjukkan dengan mereka berada di deretan  barisan penonton paling depan.

Seperti kita ketahui bahwa seni tradisional Reog Ponorogo kini resmi masuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) UNESCO, tepatnya dalam kategori In Need of Urgent Safeguarding. Penetapan itu terjadi dalam Sidang Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage Sesi ke-19 yang berlangsung di Asunción, Paraguay, pada Rabu (3/12/2024). Maka ketika menyaksikan anak-anak dan segenap masyarakat Kelurahan Kerten malam itu yang takzim dengan pertunjukan Reog Singo Kerti, kita boleh berbangga karena dari lokalitas masyarakat Kelurahan Kerten, potensi itu ada.

 

Sanggar Semarak Candra Kirana yang Mendunia, Membumi di Lokal Sendiri

Semarak Candrakirana Art Center telah berdiri sejak 31 Juli tahun 1998. Ribuan siswa didik sudah menjalani latihan tari nusantara klasik dan kontemporer di sanggar tari ini. Semarak Candrakirana adalah mitra penting dalam penyelenggaraan Solo International Performing Art (SIPA), sering menjadi wajah pembuka yang memukau penonton internasional dan nasional. SIPA menjadi panggung bagi Semarak Candrakirana untuk menunjukkan kreativitasnya dan memperluas jangkauan seni mereka, sementara Semarak Candrakirana menambah autentisitas dan kemegahan acara.

Yayasan YAPHI juga menggandeng Sanggar Semarak Candrakirana dalam aksi Panggung Rakyat. Selain beralamat di Jalan Kedasih, Kerten yang notabene adalah sumber daya lokal, peran partisipasi warga sanggar juga membuktikan kecintaan mereka terhadap seni tari yang mewujud dalam performa sejati.

Lewat Ratna, salah seorang guru pelatih tari, komunikasi intens dilakukan oleh panitia. Dipilihlah lima sajian tari yakni Tari Tani, Burung Pisen, Gambyong Calung, Gambyong Mari Kangen, dan Wiro Tamtoro Sindoro. Kelima tari, masing-masing memiliki makna yang adiluhung seperti Tari Tani, representasi dari kehidupan masyarakat petani, juga Tari Burung Pisen yang menggambarkan keindahan alam lingkungan.

Tari Gambyong adalah tarian klasik Jawa dari Surakarta yang terkenal dengan gerakan anggun, gemulai, dan luwes, awalnya untuk ritual pertanian (kesuburan Dewi Sri), namun berkembang jadi tarian selamat datang dan hiburan, ditampilkan oleh penari perempuan.

Tari Gambyong merupakan tarian yang awalnya berkembang di luar lingkungam keraton. Kemasyuran tari ini membuat pihak Keraton Kasunanan Surakarta mengembangkan tarian ini dan disesuaikan dengan pakem-pakem tarian yang ada di keraton.

Dalam perjalanannya, Tari Gambyong memiliki banyak ragam. Salah satunya adalah Gambyong Mari Kangen. Tari ini merupakan tarian kreasi baru dari Tari Gambyong. Sedangkan Tari Gambyong Calung  sebagai penggambaran tari yang berasal dari Banyumas dengan iringan musik Calung.

Sajian berikutnya adalah Tari Wiro Tamtomo  Sindoro, tarian membawa tema alam dan masyarakat lokal di sekitar lereng Gunung Sindoro, yang sering kali mencerminkan ketangguhan atau kehidupan tradisional warga setempat atau bercerita tentang kepahlawanan.

Dorkas dan Yosi dari Yayasan YAPHI yang menjadi pembawa acara Panggung Rakyat menyebut satu per satu para penari, lantas menarasikan sebuah video pendek sebagai profil Sanggar Semarak Candra Kirana. Mereka juga menginformasikan di hadapan 500-an penonton bahwa acara disiarkan secara langsung lewat kanal YouTube Yayasan YAPHI.

Seperti yang ditunjukkan oleh para penari yang tampil pada Panggung Rakyat malam itu, mereka benar-benar menjadi satu-satunya pusat perhatian bagi masyarakat Kerten yang didominasi oleh anak-anak.  Kegembiraan yang hadir bukan hanya ditunjukkan oleh para penonton, sebab ada beberapa testimoni dari para orangtua penari bahwa kegiatan yang anak-anak mereka lakukan mendapat manfaat banyak sekali selain bisa berkarya seni juga sebagai arena bersosialisasi. "Dengan berlatih menari kemudian tampil di panggung, anak-anak akan lebih sering berinteraksi lewat dunia nyata. Mereka akan istirahat dari penggunaan gawai, dan fokus dengan seni yang didalami, " ujar seorang Ibu.

 

Kelompok Bermain Bakat : Totalitas dalam Berkarya, Serukan Suara Rakyat

Naskah Naar De Republik adalah sebuah naskah teater yang ditulis oleh DS. Aji, seorang budayawan asal Surakarta. Naskah ini sudah dibawakan oleh Teater Kelompok Bermain Bakat di berbagai tempat.  Salah satunya adalah pada acara yang dihelat oleh Yayasan YAPHI dalam puncak rangkaian 16 HAKTPA yakni Panggung Rakyat, yang bertema "Petruk Nagih Janji, Sejarah yang Terjarah".

Mengulik lakon ini sama halnya meneroka sejarah panjang bangsa Indonesia saat mengalami berbagai proses menuju kemerdekaan yang sarat dengan diplomasi-diplomasi. Sengaja mengambil kemiripan latar belakang cerita seperti pada kisah Ashabul Kahfi, orang-orang muda yang mengalami tidur panjang di dalam gua. Bisa saja ini adalah metafora bahwa selama ini kita telah dininabobokkan alias dibuat tidak sadar dengan keadaan. Seperti halnya peristiwa Mei 98 yang seakan mengentak kesadaran masyarakat Indonesia  untuk meruntuhkan tembok tirani yang sangat berlumuran darah selama 32 tahun. Maka adegan keluar dari gua menjadi adegan timbulnya kesadaran bersama.

Iringan musik yang syahdu, yakni Cello dan Gitar serta vokal dari Yosi menghipnotis para penonton di awal cerita. Lagu “Mentari” karya Iwan Abdurrahman mengalun dengan sangat merdu. Masih dengan iringan Gitar dan Cello, kolaborasi ini juga mewujud saat tampilan lagu “Bersuka Ria", yang liriknya ditulis oleh Soekarno. Lagu yang dirilis tahun 1965 ini sebagai sarana hiburan sekaligus pendidikan politik yang mengandung makna mendalam tentang kehidupan, persatuan, dan ke-Indonesiaan, serta sering dikaitkan dengan semangat perjuangan bangsa.

Menarik ketika adegan sidang BPU PKI, pengejawantahan dari bentuk akomodir dari berbagai masalah, utamanya adalah gagasan-gagasan yang dilontarkan  oleh para "peserta sidang" yang hadir mewakili organisasi dan melibatkan banyak penonton untuk berinteraksi.

Sidang dibuka oleh Cholili, diringi tepuk tangan para peserta, dilanjutkan pembacaan tata tertib. Gagasan pertama datang dari tokoh Xiao dari Balong. Ia  menginginkan Republik yang akan berdiri nanti mengakui hak-hak etnis Tionghoa terutama, dan etnis minoritas pada umumnya. Menurutnya, hal ini disebabkan bahwa Republik yang akan lahir nanti dibentuk dari kesamaan nasib bangsa-bangsa terjajah dan bukan milik satu bangsa saja.

Amir, perwakilan dari Christelijke Studenten Vereeniging (CSV), berharap bahwa negara ke depan memfasilitasi warganya yang berkebutuhan khusus, sebab negara bukan hanya milik dari mereka yang dianggap "normal" saja.

Kasman, tokoh santri, berharap negara yang baru nanti tidak mempersekusi aliran kepercayaan dan mahzab pemikiran yang berbeda.

Tinah, seorang Ianfu, sebagai perempuan ia menghendaki Republik yang baru nanti mengarusutamakan kesetaraan. Sebab selama ini hak-hak perempuan selalu dirampas oleh imeperialis dan kolonial. Selain menyerukan hak pendidikan dan pekerjaan yang setara, ia juga menyerukan adanya perlindungan kepada anak-anak.

Sidang berlangsung semakin  memanas, namun kendali masih ada pada Cholili. Masyarakat umum sebagai peserta sidang tak kalah mengemukakan  gagasan-gagasannya dan meminta Cholili sebagai penyambung inspirasi menyampaikan kembali kepada pemegang kekuasaan. Bahwa banyak petani yang menginginkan hak atas tanah mereka bisa mereka kuasai kembali. Selain juga seruan untuk tidak menutup tempat ibadah, apalagi membakarnya. Jeritan masyarakat adat juga disampaikan oleh salah seorang peserta sidang. Serta protes buruh yang mengharap sistem pengupahan yang berpihak kepada mereka.

Seruan juga datang dari dunia  pendidikan yang semestinya memerdekakan anak-anak, yakni pendidikan yang memanusiakan dan tidak hanya mengejar angka-angka sebagai nilai. Soal aksesibilitas bagi difabel, juga menjadi suara yang sengaja diberisikkan oleh para peserta sidang, dari akses pada layanan publik serta akses bahasa isyarat. Sidang malam itu, benar-benar milik seluruh masyarakat.

Adegan sidang kemudian diakhiri tiba-tiba  ketika mereka dikejutkan oleh suara dari luar yang menimbulkan kekacauan yakni serangan tentara Jepang.

Pagelaran Naar De Republik menjadi sajian penutup panggung rakyat malam itu. Beberapa warga yang kami wawancarai di tengah-tengah acara, semuanya menunjukkan respon positif atas gelaran malam itu. Ada yang berharap, helatan acara bisa dirutinkan setiap tahun karena menurutnya acara ini benar-benar bentuk refleksinya sebagai warga negara. Ada yang berucap bahwa dengan diberinya kesempatan  anak-anak muda untuk berekspresi seni, maka itu juga mengalihkan hal-hal buruk supaya tidak terjadi pada mereka seperti pengaruh narkoba dan adiksi game.

Seperti yang disampaikan oleh Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI dalam sambutan pembuka, berharap bahwa acara ini akan memberi banyak hiburan dan manfaat serta menjadi ajang refleksi dari masyarakat.

Malam itu, Sabtu (13/12),  tanah di Lapangan Segitiga Kerten sama sekali tak basah oleh hujan. Hujan yang menderas, turun satu jam setelah panggung ditutup. Dan kedatangan puluhan anggota polisi yang turut mengamankan, saat acara tengah berlangsung, tak menyurutkan para pelakon teater untuk bermain secara total. Para penonton, kebanyakan anak-anak, banyak yang sudah pulang seiring kedatangan orang-orang berseragam tersebut. (Astuti)