Pendidikan kontekstual yakni pendidikan yang berorientasi kepada konteks sebenarnya bukan hal baru karena sudah dilakukan oleh pondok pesantren, yang menyiapkan penghidupan bagi santri-santrinya. Juga ada di agama lain seperti sekolah pastoral di agama Katolik. Pendidikan kontekstual bersumber pada pengalaman anak dan bukan mata pelajaran.
Fenomena pendidikan saat ini, sistem pendidikan masih berorientasi pada standar. Kalau tidak cocok standar maka dianggap melanggar dengan acara formalitas, materi seragam padahal apa yang dipelajari anak Surakarta tantangannya berbeda. Selain itu, pendidikan di Indonensia saat ini menjadi arena pacuan yang meminggirkan anak dari keluarga miskin. Mereka yang tertinggal di PAUD dan menjadi anak dari orang tua miskin akan tertinggal di SMP, SMA lalu perguruan tinggi.
Demikian dikatakan oleh pakar pendidikan Bukik Setiawan, narasumber diskusi kajian kritis tentang pendidikan bertema pendidikan kontekstual yang berkemanusiaan yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) didukung Yayasan YAPHI, di Rumah Anawin Yayasan YAPHI, Jl. Nangka 5, Laweyan Surakarta.
Menurut Bukik, pengabaian terkait kewenangan pendidikan pada pemerintah daerah sesungguhnya terjadi sekira 30 tahun terakhir dan ada yang tidak sesuai. Hal ini bisa dibaca pada Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yang menjadikan tujuan pendidikan adalah individu, bukan tujuan bangsa. Semestinya pendidikan kontekstual itu juga mencakup komunitas jadi bukan hanya individu-individu.
Kaitannya dengan kurikulum, saat ini masih berotientasi kepada hasil. Maka perlu memilah mana urusan pendidikan dan mana urusan administrasi pendidikan. Sehingga pendidikan kontekstual niscaya bisa dilakukan misalnya pada anak di usia SD, kelas 1 sampai 5 berorientasi pada proses. Di kelas 6 mereka mempersiapkan menjadi 'korban' ujian nasional, yang menurut janji 'bimbel', dan sebenarnya sekolah bisa melakukan itu.
Peluang Pendidikan Kontekstual
Peluang pendidikan kontekstual saat ini bisa dilakukan oleh pemerintah meski masih bersifat standar yakni pada Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Meski P5 termasuk baru namun banyak disalahpahami bahwa pendidikan bukan keterampilan.
Ada pula Pembelajaran Berbasis Projek (PJBL) model pembelajaran berbasis projek yang berpusat di siswa dan muatan lokal. PJBL bisa diarahkan misalnya anak-anak diajak dalam program revitalisasi pasar tradisional dengan melakukan riset kecil seperti bagaimana sistem perparkiran, dan desain. Ini artinya program daerah bisa menjadi percakapan semua masyarakat karena peserta didik telah melakukan wawancara sehingga menjadi partisipasi konkret dan niscaya bisa disinkronkan dengan program prioritas pemerintah daerah. Kemudian bisa disisipkan lewat muatan lokal (mulok) dan ekstrakurikuler yang dilakukan secara konteks, meski dengan waku yang terbatas.
Pada sesi diskusi, pertanyaan mencuat dari salah seorang peserta dari BEM FKIP UNS, bahwa selama ini pendidikan sering menjadi korban politik. Dan dijawab oleh narasumber bahwa pendidikan justru harus berpolitik karena dengan berpolitik bisa membuat pendidikan kontekstual dapat dimiliki oleh yang memiliki anggaran dan orangtua. Hal itu bisa direbut lewat mekanisme musrenbang.
Beberapa hal menjadi 'PR' misalnya anggaran besar di sektor pendidikan terbesar guru. Besarnya anggaran ini harusnya memiliki dampak hubungannya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terkait literasi dan numerasi. Meski agak berat pertarungan dan negosiasi-negosiasi, masalahnya adalah banyak guru dan sekolah yang terjebak pada orientasi hasil sehingga hal itu tidak sinkron.
Komponen lain yang berpengaruh yakni orangtua apalagi di perkotaan, misalnya kota Surakarta yang memiliki aspirasi tinggi sehingga jumlah berdebatnya tinggi. Sebab tidak ada kompetensi untuk orangtua, yang tidak terlatih untuk mengedukasi sehingga dinas di perkotaan sulit untuk menjangkau. (Renny Thalita/Ast)