Publikasi

Dari Advokasi hingga Sensitivitas: Jaringan Visi Solo Inklusi Perjuangkan Aksesibilitas dan Kesetaraan bagi Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Sunarman Sukamto, inisator jaringan lembaga dan individu pemerhati dan peduli  isu difabel, dalam pertemuan diskusi dan Koordinasi Jaringan Visi Solo Inklusi pada Rabu (18/6) menceritakan terkait isu disabilitas yang saat ini tidak begitu menarik di sebagian orang dikarenakan tertutup dengan isu lain.

Permasalahan berikutnya diungkapkan bahwa komunitas peduli disabilitas hanya bergerak sendiri-sendiri dan tidak memiliki jaringan untuk mendorong kebijakan. Gerakan organisasi hingga NGO bergerak dalam kepentingan pragmatis dan parsial yang dikendalikan oleh kekuasaan, sehingga perlu untuk menguatkan jaringan-jaringan agar aktif dalam mendorong gerakan disabilitas.

Bahwa masih adanya ketidakhadiran negara dalam upaya memajukan Indonesia yang Inklusi dengan ditandai adanya pemangkasan anggaran yang disebut sebagai efisiensi dan berdampak pada dipangkasnya layanan untuk publik. Efisiensi ini bertujuan untuk membiayai Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, hingga “overdosis” jabatan.

Sunarman dalam penyampaian terbaru mengatakan, permasalahan yang sering terjadi dalam pergerakan aksi nasional disabilitas adalah sulit terealisasi karena pergerakan yang begitu lambat dalam pelaksanaan RPJMD yang hanya efektif kurang lebih dua  tahun, dimana perlu untuk mendorong pengarusutamaan dalam RPJMN agar bisa disegerakan. Sunarman pun menanggapi bahwa posisi difabel saat ini berada dalam posisi 50:50 antara optimis dan pesimis dengan harapan bahwa Jaringan Visi Solo Inklusi nantinya akan ada gerakan untuk mendorong kebijakan Solo yang Inklusi dan melakukan berbagai strategi seperti  pertemuan rutin, melakukan advokasi, melakukan jejaring, dan pengkritisan terkait RPJMD tingkat kota hingga edukasi lewat media.

Adi C. Kristiyanto selaku anggota Jaringan Visi Solo Inklusi menanggapi bahwa hal-hal seperti mendorong kebijakan dan layanan-layanan bagi disabilitas sangatlah penting. Perlu melihat peluang yang ada dalam keterbatasan lingkup 50:50 yang diungkapkan Sunarman. Perlu juga untuk melihat kembali bagaimana kebutuhan teman difabel, bukan hanya sebagai kewajiban untuk pemenuhan proyek, namun berbasis kepada yang menjadi kebutuhan teman difabel. Adi menjelaskan juga bahwa masih ada tanggapan dari salah satu pihak pemangku kebijakan jika pemberian bantuan dengan uang kepada teman difabel, maka kewajiban negara sudah usai begitu saja, sehingga perlu ada diskusi lebih lanjut.

Adi C. Kristiyanto menambahkan  bahwa baik teman relawan maupun teman-teman muda perlu untuk mengikuti kelas khusus sensibilitas dan apabilitas untuk belajar terkait sensitivitas disabilitas, Pembelajaran bersama perlu untuk mereka supaya  memiliki kesadaran dan  belajar bersama tanpa menganggap sebagai business (urusan bisnis/projek_red) saja, sehingga perlu untuk membuat kurikulum dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) terkait sensitivitas disabilitas.

Pamitkasih selaku Koordinator  Jaringan Visi Solo  Inklusi dan pegiat disabilitas juga mengungkapkan bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan jaringan visi inklusi sudah mulai terasa dengan adanya, hingga sekarang  masih ada kebutuhan di beberapa sekolah hingga universitas terkait sensitivitas disabilitas dan ada pembicaraan juga tekait sensitivitas disabilitas yang akan masuk ke dalam kurikulum. Pentingnya sensitivitas disabilitas untuk menjawab kegelisahan teman disabilitas.

Kegelisahan-kegelisahan terkait ketidaktahuan sensitivitas disabilitas sering sekali dirasakan baik pendamping teman disabilitas maupun disabilitas sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Astuti selaku anggota Jaringan Visi inklusi dengan menceritakan pengalaman rekan disabilitas yang sulit untuk menikmati dan masuk di area Sekaten baru-baru ini. Bukan hanya itu, dalam even yang bertajuk kegiatan ekonomi inklusi pun,  yang seharusnya sudah inklusi, teman difabel masih sulit untuk mengakses. Pagelaran UMKM tersebut dihelat di Pagelaran Keraton. Padahal hal ini sudah disampaikan saat peluncuran  Komisi Disabilitas Daerah (KDD) dan advokasi kepada keraton, namun nyatanya Solo yang dianggap sebagai kota Inklusi juga tidak tampak inklusi. Astuti juga menyampaikan terkait pengalamannya mengenai acara yang diadakan di Beteng Vastenburg, panitia menutup fasilitas guidingblock atau jalur pemandu untuk netra dengan tenda, lalu ia menegur vendor, bahwa perlu untuk terjun langsung dengan menegur dan meminta hak disabilitas kepada penyelenggara acara.

Sunarman pun ikut menanggapi bahwa pemilik hak harus mempertahankan haknya dan perlu memberikan pelatihan terkait sensitivitas disabilitas kepada vendor-vendor untuk mengubah dinamika bekerjanya.

Pamitkasih menyampaikan bahwa perlu untuk mengundang vendor untuk belajar sensitivitas disabilitas karena vendor sendiiri butuh dan terbuka untuk belajar mengenai sensitivitas disabilitas Adi C. Kristiyanto menanggapi juga bahwa bukan hanya vendor saja, namun juga dinas-dinas diundang untuk pentingnya belajar terkait sensitivitas disabilitas.

Bukan hanya belajar terkait disabilitas, Jaringan Visi Solo Inklusi nantinya akan melakukan gerakan secara langsung dan konsisten baik dilakukan secara tatap muka maupun online, dengan melakukan audiensi kepada pemerintah untuk mendorong hak disabilitas hingga melakukan kampanye melalui media sosial guna memunculkan narasi untuk kota Solo yang inklusi. (Renny Talitha)