Wahyu Susilo dalam zoom meeting menyikapi persoalan penulisan ulang sejarah Indonesia yang dihelat oleh Migrant Care, Jumat 13/6, dan di selenggarakan secara daring dan luring di salah satu kafe di Solo menyatakan, mengapa Migrant Care ikut membincang? karena narasi yang dibangun dalam kerangka penulisan sejarah Indonesia tidak bergerak dan yang dibangun oleh negara adalah narasi sejarah istana sentris dan negara sebagai pemenang. Di sejarah tidak menyebut kontribusi kelompok marjinal, seperti sejarah buruh tidak mewakili buruh. Pada sejarah buruh migran, di film "Indonesia Calling" ada peristiwa penting yakni pemogokan pelaut Australia dan China yang punya kontribusi pada kemerdekaan Indonesia.
"Yang punya kehendak penulisan tidak memiliki niat membuka sejarah dan proses dialog. Maka kita ingin mendiskusikan ini, " ujar Wahyu Susilo. Ia menambabkan bahwa tidak ingin ada histiografi orang besar dan para pemenang. Memprihatinkan adalah ketika tidak ada penulisan sejarah komprehensif tentang pelanggaran HAM masa lalu, tentang perkosaan dan penculikan Mei 98.
Seperti diketahui, kementerian kebudayaan hendak menuliskan sejarah yang absen 26 tahun yakni sejarah yang dituliskan tanpa kontribusi dari pegiat gerakan perempuan, kaum buruh dan nelayan yang sudah berkontribusi.
Priyambudi Sulistiyanto, sejawaran dari Universitas Flinders menulis novel berjudul “Kapten Budiman” yang bercerita tentang nelayan-nelayan Indonesia yang sampai Australia.
Priyambudi mengatakan bahwa Solo ini memang kunci. 15 bulan lalu ia bekerja untuk Monash Indigenous menggantikan Lili temannya yang meninggal. Dalam pekerjaan itu ia diminta bermitra dengan teman muda di Sulawesi Selatan dan Wahyu Susilo ikut di group workshop Makassar. Ada 10 penulis dari perspektif mereka tentang hubungan masa lalu yakni Jalur Teripang. Ada histiografi tentang sejarah Australia dan diakui bahwa Kapten James Cook mendarat di Australia di abad 18.
Priyambudi menambahkan bahwa nenek moyang orang Bugis sudah berlayar di Kimberly sejak abad awal 18. Mereka adalah para pelaut yang mencari teripang yang waktu itu menjadi komoditas premium di Tiongkok. Priyambudi juga mengunjungi hampir semua universitas di Makassar. Ia membaca draft buku sejarah yang saat ini sedang ditulis yang tidak menceritakan kecerdasan karena tidak menyebut jalur teripang yang merupakan sejarah. Padahal para nelayan itu membuat sejarah karena mereka berpuluh tahun tolak balik sampai kemudian Australia menutup jalur itu di tahun 1905.
Cerita itu juga sudah hilang di Makassar. Ia lalu datang ke festival masyarakat indigenous dan mendapatkannya kembali kisah tersebut "Sudah saatnya generasi muda menuliskan sekarang tentang nenek moyang mereka sendiri, " ujar Priyambudi. Ternyata orang Aborigin sudah bertemu dengan orang-orang Makassar sebelum orang kulit putih datang. Bagaimana kemudian ini tidak diakui oleh pemerintah Indonesia.
Priyambudi juga menuliskan perjalanan yang sama dan sendiri hampir dua tahunan. "Kapten budiman" Menceritakan pertemuan pertemuan saya dengan orang biasa. Saya belajar bahwa hubungan Indonesia dengan Australia bukan dari pemerintah ke pemerintah tapi harus people to people. Karena ini terjadi sebelum dengan orang kulit putih. Lantas pada tahun 1966-1967 ada boikot kapal Indonesia. Sejarah tentang nenek moyang yang mencari teripang ini menunjukkan bahwa ada hubungan dengan pemilik benua yakni orang Aborigin dan orang Bugis dan ini bisa menambah khazanah.
Rumekso Setyadi, sejawaran yang menjadi narasumber mengatakan bahwa ada 130 orang sejarawan profesional yang bekerja akademis yang saat ini terlibat dalam penulisan sejarah versi negara. Ini sana saja menghilangkan sejarah yang dianggap sejarah. Kalau klaim ini terjadi maka bahaya.
Ini penafsiran ulang dari sejarah yang dicatatkan lagi. Apa sih yang diulang? Ada sejarah nasional tahun 1974 yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo. Sebenarnya proyek penulisan sejarah oleh Nugroho Notosusanto yang sejarawan ABRI yang oleh Jenderal Nasution sebelum peristiwa tragedi 65 diminta kerja ke perpustakaan tujuannya untuk menuliskan sejarah. Itu sejarah yang digodog dan mengabaikan sejarah yang di situ mestinya tertulis bahwa Indonesia dibuat karena proses politik.
Rumekso menerbitkan ulang buku "History of Uniform" . Ia mengatakan bahwa Indonesia sebagai gagasan muncul 1920-an. Sejarah dibangun dengan upaya militer yang di depan. "Itu memori yang dikonstruksi supaya kita percaya bahwa Indonesia ada karena militer, " jelasnya. Ia menambahkan bahwa penulis sejarah saat ini seperti balik ke Orde Barukarena disebut lagi G30S PKI. Padahal zaman Reformasi secara histiografi sudah lebih baik tapi ketika ada penulisan ulang sejarah, ini kembali lagi tafsir dari negara.
Ia juga memberi contoh dalam lukisan Diponegoro versi Permadi digambarkan diponegoro tunduk dan orang-orang kecil memegang kaki seperti pasrah tidak bisa berbuat apa-apa. Versi kedua, Raden Saleh melukis Diponegoro dengan gagah dengan wajah yang menengadah. Maka menurutnya, harusnya sejarah publik semua bisa terlihat dan semua bisa menulis, kebalikan dari sejarah resmi oleh negara. Harusnya ada partisipasi dan afirmasi bahwa sejarah ini bukan hanya milik kaum sejarawan akademik. Harusnya sejarah milik setiap rakyat Indonesia.
"Kita dalam negara demokratis semestinya kita boleh menulis. Sejarawan itu hanya tukang. Harusnya pengetahuan bukan penghidupan. Itu hanya sejarawan negara atau administratur negara kalau jadinya begini, "pungkasnya.
Narasumber lainnya, Dewi Candraningrum membuka pernyataan dengan mengatakan bahwa ia bukan sejarawan. Permintaan Wahyu Susilo, dari Migrant Care mengingatkannya lagi pertemuannya dengan Saskia Wieringa, yang menerbitkan buku berbentuk novel dengan kaver lukisannya.
Menurut Dewi, apa yang terjadi sekarang ini perlu ditarik kembali apa itu histiografi bahwa penyelundupan-penyeludupan narasi yang jujur tidak melulu harus dalam bentuk tulisan tapi lukisan, puisi, bahkan film.
Ia menambahkan bahwa sejarah kalau mencantumkan keadilan maka penting untuk diusung bersama, kalau tidak maka lahirkan narasi tanding. Sastra dan seni bisa untuk sejarah tanding dengan menyundupkan.
Dewi mengimbuhkan kalau semua mengaca penulisan keadilan dari pinggir, ada kasus di Solo dengan kasus PT.RUM yang ada di Kecamatan Nguter yang penvemarannya melebar sampai ke mana-mana, ada tokoh perempuan lokal, namanya Mbok Sarmi, yang menjadikan rumahnya sebagai posko. Juga rumah Sukinah, perempuan aktivis Kendeng. Sejarah mereka ditulis normal saja dan tidak ada. Apalagi yang menekankan tentang peran para perempuan .
Dewi berharap proyek "nafas tanding" akan tumbuh subur maka proyeknya nanti bukan penulisan sejarah tapi pembacaan sejarah dan membaca adalah proyek abadi. "Coba ini sejarah oleh Pak Prabowo lantas ini sejarah yang ditulis oleh Migrant Care, misalnya, " Kalau proses membaca menjadi komunikasi maka wacana dibangun. Ia mengingatkan siapapun sejarawan atau penulis, maka berlomba dengan waktu jika terkait Ianfu. Contohnya seperti Mbah Tugiyem dari Karanganyar. "Saya menugasi diri saya harus melukis wajahnya, " ujar Dewi.
Dewi menambahkan bahwa ia baru sadar bahwa studionya adalah tentang sejarah. Ia kagum dengan kawan-kawannya dari NGO karena bersama-sama membuat memorialisasi di makam Tuminah, ianfu di makam Untoroloyo. Kenapa penting dan memberi monumen? Tuminah ianfu pertama yang meminta Jepang meminta maaf. Ada sejarah hotel heritage. Di makam Tuminah, ia memberi tulisan.
Memorialisasi di Solo juga ada tentang peristiwa tragedi Mei 98. "Kita berkonsultasi dengan keluarga mas Widji tukul. Ini kemajuan meski ini tidak resmi. Ini akan jadi proyek seumur hidup. Krisis penulisan sejarah di Indonesia adalah krisis ketidakadilan, "pungkas Dewi.
Bonnie Triyana,, anggota DPR RI yang sejak awal mengkritisi proyek ini mengatakan bahwa, awalnya di DPR, Kemendikbud mengajukan anggaran penulisan buku. Ia sendiri baru tahu kalau ada penulidan buku sejarah dari media ketika menteri kebudayaan bilang mau ada penulisan sejarah resmi indonesia. Ia lalu usul agar proyek ini dibuka tetapi ternyata tidak. Pantas ia menerima tim Ita F. Nadia, Marzuki Darusman dkk.
Menteri kebudayaan kemudian dipanggil DPR dan ada perdebatan. Pada akhir rapat disepakati : ini bukan penulisan sejarah resmi. Proyek ini bukan sejarah resmi dan bukan sebagai rujukan. DPR minta kementerian agar pekerjaan ini jangan tergesa gesa.
Menurut Bonnie ada tiga hal penting : secara prinsip dan prosedural dan substansial. Apa hak negara, apakah ada mandat dari pemerintah untuk menulis sejarah berdasar versi dan tafsir sendiri. Sebab tidak ada mandat negara menukis sejarah berdasarkan tafsir sendiri.
Kalau mau dibikin buku sejahtera untuk mendokumebtasi eksistensi Indonesia sejak zaman orde baru, sampai hari ini mestinya ada proses yang dilakukan berdasarkan kaidah ilmiah dan transparansi publik. Lantas yang juga penting adalah tranparansi proses penulisan dan tujuannya apa.
Sebab belakangan ini publik lewat media disuguhkan komentar menteri ahwa sejarah mestinya memiliki tone positif, ada juga disebut bahwa penulisan ini untuk memberi penghargaan kepada pemimpin.
"Jika sejarah elitis dan mengglorifikasi, maka kita tidak belajar apa-apa dengan sejarah maka buku ini disfungsi. Sejarah bukan tentang mengajari anak muda. Yang lebih penting elite belajar. Bukan rakyat, " terang Bonnie.
Bonnie menambahkan bahwa ini seperti mendaur ulang yang ada pada saat itu, padahal sebenarnya butuh banyak peristiwa yang lebih penting dituliskan, maka menurutnya secara pribadi, butuh histiografi kritik. Sehingga sama-sama belajar.
Kedua, ia juga khawatir bahwa penulisan sejarah ini akan jadi kompilasi sumber sekunder. Ketiga timbul kekhawatiran usaha yang percuma untuk mengulangi dulu karena saat ini negara masih di otoritarianisme.
Bonnie juga khawatir karya ini akan tersisa sebagai produk generasi boomers yang mengalami romantisme di zaman keemasan . Lantas pertanyaannya di zaman sekarang apa mungkin monotafsir akan berhasil mencuci otak? "Ini hanya proyek buang-buang uang. Ini seperti orang kaya beli ensiklopedia, beli banyak dan dipajang tetapi akankah dia membaca buku-buku itu? Ingatlah, generasi Z lebih pintar, "pungkas Bonnie.
Sesi Diskusi dan Tanya Jawab
Wahyu Susilo menegaskan kembali bahwa dalam draft buku, tidak ada penulisan Konferensi Asia Afrika padahal dari itu ada konferensi wartawan Asia Afrika, konferensi pelajar Asia Afrika, peristiwa Marsinah juga tidak masuk, kasus sekuel tentang film Indonesia Calling tidak ada. Peristiwa Nunukan tidak ada padahal ini pijakan bagi kebijakan tentang pekerja migran.
Sedangkan Rumekso menanggapi terkait pertanyaan, apakah kita percaya bahwa sejarah itu objektif? Ja mengutip Soesjatmoko, kalau kita masih percaya bahwa obyektif maka kita gagal dalam pengetahuan sejarah. Menurut Soedjatmoko tujuan pengetahuan sejarah adalah terciptanya kesadaran tentang sejarah. Kesadaran sejarah itu adalah kenapa peristiwa itu tidak terjadi, bukan sesuatu yang terjadi. Kalau kita sudah mempertanyakan atas peristiwa, di situlah sejarah.
Sedangkan Dewi menanggapi, kekhawatiran para perempuan karena tubuh mereka dikhianati. Kedua kekhawatiran anak, bagaimana rezim ini dinaikkan oleh vote-vote. Bagaimana menggaet imajinasi anak-anak dengan AI dan bahaya algoritma yang jadi tantangan tersendiri karena mesin-mesin itu bisa dikuasai.
"Harapan kita, perlu merawat pertumbuhan tentang penulisan tanding luka dan tanding narasi tanding terhadap peristiwa yang kita alami, " pungkas Dewi.
Terakhir Bonnie menyampaikan pesan butuh spirit teman-teman di pinggiran Indonesia, pesisir, terpencil dan perlu dimobilisasi untuk menulis sejarah mereka yang di pesiisr dan pedalaman. Memang harus ada tandingan naratif sebab selama ini sejarah mereka tidak pernah diakui. "Sejarah itu milik masyarakat dan ia pemilik saham terbesar. Maka penting untuk mengepung narasi yang melegitimasi, "pungkas Bonnie. (Ast)