Nursyahbani Katjasungkana dalam konferensi pers yang diselenggarakam oleh Koalisi Perempuan Indonesia yang dimoderatori oleh Mike Verawati, Selasa (17/6) menyatakan bahwa ia menolak narasi tunggal penulisan sejarah. Selama 32 tahun rakyat selalu dicekoki militer tentang 65, pemaknaan sebuah peristiwa politik yang hanya satu sisi oleh negara. Ia juga mengemukakan bukti bahwa peristiwa perkosaan Mei 98 selain ada lampiran laporan, juga kekerasan dan perkosaan di Indonesia tentang laporannya yang dipresentasikan ke PBB ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Menurut Nursyahbani, peristiwa perkosaan Mei 98 adalah peristiwa politik. Setelah itu harus menindaklanjuti laporan- laporan dari PBB dan lembaga HAM di Indonesia dan tim relawan oleh TGPF. Harusnya pemerintah melakukan investigasi secara hukum namun kenyataannya Wiranto pun menolak adanya perkosaan. Roesmanhadi, Kapolri saat itu juga menolak. "Setelah sekarang 27 tahun mestinya kita sudah bisa ambil keputusan untuk menindaklanjuti kejahatan kemanusiaan. Kalau membaca laporan-laporan yang dibuat PBB,"ungkapnya.
Dengan pernyataan Fadli Zon, artinya ini makin memperpanjang impunitas. Kalau itu tidak dilihat maka mengabaikan selama 32 tahun dalam sejarah Orde Baru.
Melihat konteks politik dan penegakan hukum di Indonesia, Fadli Zon alami misleading dalam melihat peristiwa Mei 98. Padahal rekomendasi TGPF adalah meminta pemerintah melihat kembali peristiwa perkosaan Mei 98. Nursyahbani menyampaikan ada bukti provokator. Di Solo provokatornya adalah militer. Dan itu terjadi bersamaan Jakarta, Palembang, Makasar, Surabaya dan Malang.
Narasumber kedua, Usman Hamid dari Amnesty Internasional menyatakan terkait sikapnya terhadap pernyataan Fadli Zon terbaru yang mengatakan ia mengutuk dan mengecam keras perundungan dan penyiksaan perempuan di masa lalu dan masih terjadi sampai hari ini. Menurut Usman ini positif, namun sayangnya masih belum clear soal perkosaan Mei 98.
Pernyataan menteri kebudayaan terkait sikapnya bahwa perkosaan adalah masalah rumor malam itu yang sangat tergesa kemudian ingin direduksi dengan masalah dan pertanyaan "Dimana, kapan??
Menurut Usman ini omongan feminis yang misoginis. Perempuan korban perkosaan dilabeli negatif dan Fadli Zon punya latar belakang rasis di masa lalu. Seharusnya menteri menyadari bahwa seseorang yang mengalami kekerasan, mereka mengalami trauma.
Gang Rape istilah yang digunakan untuk perkosaan massal. Perkosaan bisa dikatakan massal jika serangan tersebut membuat trauma penduduk sipil. Terkait jumlah pelaku, kalau korban satu pelaku banyak itu perkosaan massal.
Eva Sundari, narasumber lainnya menegaskan bahwa perempuan tidak boleh dihilangkan dari narasi sejarah. Para korban ada gambarnya. Dia istri, ibu, kakak, dan adik.
Eva menyampaikan bahwa saat itu Gus Dur sudah minta maaf. Presiden Habibie pun juga minta maaf. Menurut Eva, keadilan dapat ditegakkan jika kebenaran dibuka. Eva mengusulkan penulisan sejarah juga harus berperspektif korban.
Andi Achdian, narasumber lainnya mengatakan bahwa penulisan sejarah harus dibarengi dengan etika. Terkait pernyataan Fadli Zon, berarti apa yang selama ini dikhawatirkan terjadi. Kenapa pemerintah tidak saja menerbitkan karya penelitan itu bahwa tubuh perempuan dijadikan objek. "Kita akan melihat bagaimana mereka menulis saat ini. Harusnya ada satu kesadaran etis yang harus dipegang dalam proses penarasian sejarah. Ada problem yang belum selesai pada peristiwa Mei 98. Penulisan sejarah ini kita tolak saja, " ujar Andi Achdian.
Kanti W. Janis, menceritakan tentang peristiwa 98, bahwa ayahnya, Roy BB Janis banyak dimintai tolong kawannya yang beretnis Tionghoa. Menurut Kanti pernyataan Fadli Zon adalah penistaan sejarah, pernyataannya fatal. Usahanya terstruktur untuk menghilangkan ingatan kolektif. Orang-orang pelanggar HAM lalu adalah orang-orang yang saat ini menjabat.
Ia menambahkan bahwa Fadli Zon adalah karyawan yang baik bagi Cendana. Kanti berpesan bahwa para aktivis terus saja gaduh karena tidak ada satu atau dua kali menafikan sejarah yang begitu jelas. Ia tegas menyatakan agar Fadli Zon diberhentikan sebagai pejabat dan hentikan pula penulisan sejarah, sebab bagaimana sumber literasi hanya tunggal, sementara kita disistemkan supaya rendah literasi. (Ast)