Ita F. Nadia, dalam webinar yang diselenggarakan oleh Perempuan Mahardhika 28/5, mengatakan saatnya kaum perempuan untuk bangkit dan merumuskan kembali arah perjuangan karena saat ini perempuan tengah melalui pembungkaman sejarah gerakan perempuan oleh negara.
Ita mewakili Ruas Indonesia, ruang arsip dan sejarah perempuan yang menghimpun dokumen dan arsip-arsip gerakan perempuan yang selama ini dihilangkan atau selama ini dihapus dalam narasi sejarah. "Kami mencoba memanggil kembali memori tentang gerakan perempuan dan tokoh-tokoh perempuan yang dihilangkan dalam sejarah. Kami sudah melakukan satu advokasi atau kampanye untuk menolak penulisan sejarah yang dilakukan atau revisi sejarah yang dilakukan oleh kementerian kebudayaan Indonesia,"katanya.
Aksi yang dilakukan terdiri dari sejarawan, aktivis,cendekiawan, ada tokoh HAM dan bermacam-macam, yang berfokus pada bagaimana menolak segala bentuk penulisan yang menamakan dirinya adalah sejarah resmi. Ita ingin membagi tentang perspektif perempuan, perspektif feminisnya sebagai seorang sejarawan. Ia. ingin membagi tentang bagaimana melihat penulisan sejarah perempuan oleh kementerian kebudayaan dari perspektif perempuan, bagaimana mereka menghilangkan. Kenapa itu dihilangkan?
Mengapa Ita dan kawan-kawan menolak penulisan sejarah kementerian kebudayaan ini? karena penulisan sejarah ini dilakukan tanpa konsultasi publik, tertutup dan dengan waktu yang sangat singkat tujuh bulan. Tidak mungkin menuliskan satu sejarah besar tentang sejarah Indonesia dan mulai dari awal dari prasejarah sampai pada pemerintahan saat ini dalam tujuh bulan.
Bahwa penulisan sejarah Indonesia ini untuk melegitimasi rezim yang berkuasa ini. Mengapa? karena kalau dilihat konsepsi atau gagasan penulisan sejarah Indonesia ini sangat khusus sekali, bagaimana empat presiden yaitu Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudoyono kemudian Jokowi dan Prabowo ini adalah presiden-presiden yang sangat berperan besar terhadap bangsa ini artinya memiliki kekuasaan.
Berikutnya adalah sejarah ini disebut sebagai sejarah resmi atau sejarah nasional. bahwa sudut pandang sejarah itu tidak untuk klarifikasi kekuasaan tapi konsepsi sejarah yang sedang ditulis ini akan menjurus pada satu klarifikasi kekuasaan dari empat presiden tersebut.
Konsepsi yang disediakan adalah konsepsi penulisan dari jilid 1 sampai jilid 10 dan yang paling krusial adalah jilid 6. Jilid 5,6,7,8, 9 dan 10 ini sangat khas sekali bagaimana glorifikasi kekuasaan. Padahal hakikatnya, sejarah adalah milik warga bangsa. Dan kebenaran sejarah harus kebenaran yang dimaknai selama ini oleh penguasa, harus ditulis ulang tapi harus melalui gerakan klarifikasi sejarah, ini tidak ada. Tidak ada namanya klarifikasi sejarah. Tidak ada yang namanya perempuan rakyat. Tidak ada sumber-sumber yang digunakan itu menegaskan suara korban dan sumbernya adalah sumber sekunder. Kalau sumber sekunder untuk apa ditulis kembali? Tidak ada yang baru, kemudian secara resmi Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat tidak akan ditulis dalam sejarah resmi ini.
Ini menarik karena kemudian dia menegaskan pelanggaran HAM berat dan juga meningkatkan suara korban. “Ketika saya secara khusus melihat dari jilid 5 6 7 8 9 ya, misalnya Maria Ulfah yang punya peranan besar. Maria Ulfah adalah tokoh tengah yang tidak begitu radikal tetapi juga itu ditulis hanya sebagai Maria Ulfa adalah yang begini-begini.”ujar Ita. Tapi bagaimana Maria Ulfah menjadi bagian dari gerakan perempuan internasional dan solidaritas internasional itu hilang keduanya, apalagi Fransiska Fangidae. Itu tokoh-tokoh itu hilang periode emas dari gerakan perempuan di dalam gerakan solidaritas internasional.
Lalu bagaimana Indonesia menjadi macan di dunia internasional itu tahun 43, 45 sampai 65 dihapus semua. Jadi ini adalah waktunya sebagai aktivis perempuan melihat kembali perumusan pemikiran negara tentang posisi politik perempuan. Mengapa argumentasi penolakan ini penting? sebagai aktivis perempuan yang bekerja tentang gerakan perempuan, karena tulisan sejarah yang digagas oleh kementerian kebudayaan dilihat atau disampaikan sebagai sejarah resmi. Kalau sejarah resmi dia mempunyai arti sebagai tafsir tunggal. Tafsir tunggal berpretensi memiliki kata akhir tunggal, tidak ada yang lain. Jadi ada kata akhir di mana kata akhir itu menentukan merumuskan kehidupan bangsa, identitas bangsa, siapa kita, siapa orang perorangan, siapa kita sebagai kolektif itu akan ditentukan oleh pemerintah yang merasa mempunyai legitimasi. Ini sebuah sistem sangat berbahaya karena dia merasa mempunyai legitimasi untuk menentukan identitas kita sebagai individu, sebagai kolektif, sebagai perempuan, sebagai bangsa. Siapa yang memberi hak dan legitimasi kepada pemerintah untuk merumuskan identitas kita? siapa ini? kok mereka bisa mengatakan ini sejarah resmi?
Argumentasi penolakan ketiga adalah bahwa ide pemerintah menulis sejarah bangsa ini adalah sebuah ilusi bahwa mereka merasa mempunyai hak untuk menentukan kehidupan dan identitas. Ini juga berbahaya. Ilusi untuk mengatakan bahwa aku yang menentukan identitasmu. Lah siapa kamu? Yang berikutnya legitimasi ilusi yang menurut mereka itu, sejarah menjadi tafsir tunggal adalah bahwa mereka tidak punya hak untuk menentukan siapa kita. Tafsir tunggal itu hanya berlaku dan biasanya dilakukan atau sebagai kebijakan dari negara-negara yang mempunyai sistem politik yang totaliter dan negara itu adalah negara totalitarian dan otoriter. Ini penting untuk gerakan perempuan. Tafsir tunggal biasanya adalah kebijakan dari negara yang otoriter dan totaliter maka sejarah yang digagas oleh menteri kebudayaan mempunyai sifat yang selektif dan manipulatif. Apa itu selektif dan manipulatif? Dia akan menentukan mana yang akan ditulis, mana yang tidak ditulis, mana yang bisa dipakai untuk memperkuat pemerintah, untuk memberi kekuasaan yang sedang berlaku dan manipulatif.
Karena sejarah harusnya dari bawah, menegaskan suara perempuan, menegaskan suara korban, menegaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bagian dari rezim yang otoriter dan totaliter itu adalah pelanggaran HAM berat. Itu adalah crimes against humanity dan sejarah ini akan menguntungkan rezim yang berkuasa. Partisipasi politik perempuan dirumuskan berdasarkan ideologi fasisme dan militer.
Ini akan berbahaya sebab sejarah resmi, sejarah nasional dan militerisme itu sama dan sebangun dalam konteks dari rezim yang otoriter yang mengagungkan militerisme. Ita mengambil satu penulis atau feminis radikal yang melawan militerisme yaitu Cynthia Enloe dalam bukunya yang mengatakan bahwa nasionalisme sesungguhnya bersumber dari memori dan harapan maskulin. Jadi militerisme itu atau nasionalisme itu bersumber dari mimpi yang dibangun bersumber dari harapan dan memori maskulin militerisme, merujuk pada ideologi yang mengagungkan kekuatan militer, simbol-simbol militer, penggunaan kekerasan sebagai sarana utama untuk penyelesaian konflik untuk mempertahankan kekuasaan.
Apakah ini masih berlangsung berlangsung? di Papua terjadi pada tahun 65, di Aceh, pada saat Timor Timur masih dikuasai Indonesia, Poso 98 dan bagaimana militerisme menggunakan simbol-simbol dan kekerasan untuk menundukkan mereka yang dianggap melawan. Bagaimana mempertahankan kekuasaan, bagaimana hubungan militerisme dan maskulinitas hegemoni jadi militerisme sangat erat dengan sifat maskulinity. Yang maskulinitas dan hegemoni nanti akan diinternalisasi ke dalam pandangan kepercayaan orang perorang, warga negara, khususnya yang laki-laki menjadi sesuatu yang dinormalisasikan.
Cynthia Enloe dalam bukunya menulis dengan baik bahwa dari beberapa negara, dia mencontohkan bagaimana negara dibangun bersumber dari memori- memori dan harapan maskulin apalagi sesudah kemerdekaan. Itu biasanya para perempuan yang ikut terlibat dalam kemerdekaan akan ditarik untuk ditempatkan dalam sebagai ibu bangsa. Seakan-akan dia hebat tapi sebetulnya Ibu Bangsa itu adalah domestifikasi perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan karena tanggung jawab dia ada di rumah, mereproduksi bangsa, merebut produksi warga, menjadi apa untuk melindungi keluarga. Itu semua sebagai bagian dari maskulin hegemoni dan dikuatkan dengan militerisme.
Pemerintahan yang sekarang sudah akan ke sana, bagaimana perempuan jadi institusi negara bersifat maskulin, termasuk kebijakan-kebijakan dan aktivitasnya perempuan sering digunakan sebagai alat sementara perempuan juga mempromosikan agenda militeristik ikut berbaris-berbaris pakai baju-baju militer perempuan. Ini adalah sebagai objek, sebagai alat dari militeristik itu bisa terjadi dan bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan sekarang ini sudah bukan milik kita. Tapi sudah akan dirumuskan menjadi bagian dari, karena nanti setelah RUU TNI, yang akan menguatkan ini jadi sejarah nasional. Ini adalah sebuah basis ideologi yang akan menjadi dasar untuk menguatkan seluruh perubahan politik sosial kebudayaan yang menuju kepada penguatan militerisme dan otoritarian. Ini adalah sebuah perubahan politik yang sangat besar.
Bagaimana struktur militer yang bersifat hirarkis yang mencerminkan patriarkal dengan laki-laki sebagai sosok penguasa tertinggi sementara perempuan di posisi koordinat, subordinat, sebagai objek yang harus dilindungi. Ini menjurus ke sana, material yang militer sedang perang dengan hegemoni untuk memperkuat kontrol terhadap peran gender. Jadi nanti peran gender ini akan berubah dan sekarang sudah mulai berubah di bawah kontrol hegemoni.
"Saya sedikit mengatakan pada saat Oktober ketika Prabowo dilantik jadi presiden dan sesudah itu, sekian menteri dibawa ke Magelang. Saya seminggu itu gelisah. Saya menunggu para aktivis perempuan berbunyi bersuara menentang,hanya Vivi yang menyambut kegelisahan saya.Sangat kuat karena ini adalah bagian dari dimulainya militerisme fasisme dan bagaimana perempuan ada di dalam seluruh lokasi politik fasisme Indonesia,"terang Ita.
Akhirnya Ita menulis kegelisahannya dan ia kirim ke Kompas dan dibuat oleh Kompas tanggal 22 November tahun 2024 yaitu dengan judul perempuan militeristik dan poligatif. Gagasan penulisan sejarah belum dimulai tapi ia sudah gelisah ini pasti ada apa-apa. Betul, Kompas Januari mengumumkan penulisan revisi sejarah Indonesia oleh kementerian kebudayaan. Lantas Ita mencari konsepnya lama dan tidak ada lantas ada teman yang baik, lewat Bonnie Triyana ia mendapatkan konsep itu dan Ita dan kawan-kawan bedah bersama-sama di Amnesti International. Ada teman sejarawan, cendekiawan, ada Sulistyowati Irianto, Jaleswari, Mardjuki Darusman. Mereka dan sejarawan lain duduk bersama membedah konsep itu dan terjawab bahwa ini adalah sebuah awal dari implementasi rezim militeristik dan itu ditambah dengan tulisan pengerahan militer sesudah RUU TNI.
Pengerahan militer sekian ribu sekian Batalyon di sana-di sini sampai kepada tingkat apa kabupaten. Ini baru satu sisi saja, dan Ita akan mengatakan bahwa masyarakat sipil dibangun dikonstruksikan tidak hanya berdasarkan pada kontrak sosial tetapi juga pada kontrak seksual oleh sistem patriarki dan maskulin yang militer, artinya nanti seksualitas kita akan menjadi milik dari kontrak seksual, tidak hanya pada akses tubuh perempuan, tetapi juga untuk mengontrol pikiran dan imajinasi perempuan, juga imajinasi lewat konstruksi penulisan sejarah yang menghapus peran perempuan. Jadi kontrol itu tidak hanya pada seksualitas perempuan tapi kontrol itu juga pada imajinasi nanti, ada orang tidak boleh ikut begini tidak boleh begini tidak boleh begitu.
"Ini harus kita waspadai. Sebagai aktivis perempuan, saya juga mewakili terkait kemampuan untuk melawan ketidakadilan dan stigmatis adalah narasi membuka ruang dan sejarah baru untuk kebenaran dan keadilan,"ujarnya lagi. Menurutnya perempuan punya kemampuan untuk merumuskan itu dan ini dianggap tidak ada, maka ini harus dibuka. Dihapuskannya pergerakan perempuan Indonesia tokoh-tokoh perempuan yang dihilangkan dari narasi sejarah Indonesia.
"Di Ruas itu kami sedang menyusun periodisasi pergerakan perempuan tokoh-tokoh yang luar biasa, keterlibatan perempuan dalam gerakan solidaritas internasional dan perdamaian, serta demokrasi dunia, femisida pembunuhan terhadap aktivitas Gerwani pada tahun 65.Tidak ditulisnya kekerasan perkosaan massal pada bulan Mei, tidak ditulis kekerasan terhadap perempuan di Aceh Papua, Timor Timur, Poso dan Kongres perempuan, sangat mencederai," pungkasnya. (Ast)