Publikasi

FISIP UI Adakan Seminar Bahas Eksploitasi MIneral Kritis, Pemenuhan Hak Masyarakat Adat dengan Kebijakan Luar Negeri

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Siaran Pers FISIP UI

Depok, 4 Juni 2025 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Center International Relations Studies (CIReS) dan Indonesian Instituteof Advanced International Studies (INADIS) mengadakan seminar “Ekploitasi Mineral Kritis, Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Sulawesi, dan Kaitannya dengan Kebijakan Luar Negeri Indonesia” pada Rabu (04/06) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI. Seiring dengan semakin kuatnya peran geopolitik Indonesia dalam rantai pasokan global terutama dalam ekspor mineral kritis seperti nikel dan kobalt. Indonesia saat ini telah menjadi salah satu pemain penting di dalam kancah global terkait isu energi baru dan energi terbarukan. 

Sumber Daya Alam dan Masyarakat Adat

Beberapa negara yang memiliki kepentingan besar terhadap mineral kritis di Indonesia. Salah satunya adalah Tiongkok, salah satu negara yang besar investasi sekitar 30 milyar USD dalam rantai pasokan nikel Indonesia termasuk yang terbesar adalah di Sulawesi yang merupakan salah satu pulau dengan cadangan kekayaan nikel yang sangat besar yang juga sudah mulai diekstraksi dan diolah  Sebagai keynote speech Dr. Atnike Nova Sigiro (Ketua Komisi Nasional HAM, RI) mengatakan, dampaknya terhadap masyarakat adat memang menjadi isu yang kompleks. Di satu sisi, investasi ini membawa peluang ekonomi dan infrastruktur, tetapi di sisi lain, seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta menyebabkan degradasi lingkungan, deforestasi besar-besaran akibat ekspansi industri nikel yang mengancam ekosistem serta sumber daya alam yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat. 

Lebih jauh Atnike menjelaskan dampaknya terhadap masyarakat lokal, khususnya suku-suku asli di Sulawesi. Kurangnya partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan menjadi masalah utama. “Negara wajib melindungi masyarakat adat dari pihak ketiga seperti perusahaan ataupun non negara lainnya yang dapat mengancam hak masyarakat adat.”Menurut Atnike, hal ini bisa dilakukan dengan mengawasi sektor bisnis maupun melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap masyarakat adat dan negara wajib memenuhi hak masyarakat adat dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap status ulayat maupun keistimewaan lain yang melekat pada keberadaan dan identitas dari suatu kelompok masyarakat adat. “Tanggung jawab negara ini telah diatur dan diakui di dalam UUD 1945 setelah amandemen UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Deklarasi PBB tentang hak hak masyarakat adat dan berbagai produk hukum internasional maupun nasional lainnya,” jelasnya. Masyarakat Adat dalam Ekploitasi Mineral Kritis. Banyak izin tambang diberikan tanpa konsultasi yang memadai, sehingga hak ulayat masyarakat adat seringkali terabaikan. 

Menurut Erasmus Cahyadi, S.H. (Deputi Sekjen Urusan Politik dan Hukum, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), aspek pelaksanaan di lapangan. perusahaan swasta (dalam negeri dan perusahaan asing) maupun perusahaan negara, mendapatkan sejumlah kemudahan, dari aspek legalisasinya. “Pemerintah, dan aparat keamanan cenderung berada pada posisi yang berseberangan dengan masyarakat adat jadi lebih banyak support ke perusahaan-perusahaan ini. Nah ini dibuktikan dari banyak sekali peristiwa kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat Adat,” ujarnya. “Januari sampai bulan Mei saja kami mencatat hampir 200 kasus kekerasan terhadap masyarakat adat, kemudian ada juga kelompok-kelompok yang baru muncul di masyarakat danmereka ini gencar sekali mempengaruhi masyarakat adat sampai masyarakat adat melepaskan tanahnya, dari situ kita melihat bahwa pembangunan yang dilakukan merusak tatanan sosial, merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat adat, terutama atas ruang hidupnya,” tegas Erasmus. Erasmus mengaatakan, “kehendak kekuasaan seringkali berbeda dengan kehendak rakyat, misalnya dalam banyak sekali pertemuan masyarakat adat diundang dan didengar tapi pendapat-pendapat mereka tidak pernah terefleksikan dalam teks kebijakan yang dibuat oleh DPR maupun lembaga pemerintah lainnya.” Selain itu, terjadi diskriminasi di dalam penegakan hukum. Kalau masyarakat melaporkan ke aparat keamanan tentang pencemaran lingkungan yang terjadi atau kasus kekerasan, seringkali diabaikan prosesnya. “Memang kebijakan yang menitikberatkan perspektif ekonomi atau pembangunan ini seringkali membuat posisi masyarakat adat tidak diuntungkan. tidak ada concern atau perspektif dari kebijakan yang berusaha untuk menjaga atau melindungi posisi masyarakat adat,” ujarnya.

Memahami Respon Masyarakat Terhadap Pembangunan

Rini Astuti, Ph.D (Ketua Tim Riset “Dampak Sosio-Ekologis Pertambangan Nikel di Indonesia Timur”), “bicara soal konsep keadilan, ada 3 yaitu soal keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan yang merekognisi soal hak-hak masyarakat adat. Memahami respon dari komunitas terhadap pembangunan  mineral kritis di lapangan tidak melulu bisa dilihat berbasis pada dikotomi melawan dan juga menerima karena ada banyak layer di diantara melawan dan menerima tersebut.“Ketika kita melihat bentuk ketidakadilan, masyarakat sendiri ketika didesak dari bawah didesak dari atas apa yang terjadi kemudian adalah mereka merespon dengan cara yang menurut mereka adalah extractivism of the poor gitu. Intinya adalah extractivism of the poor ini adalah masyarakat awalnya menolak perusahaan nikel tetapi segera beralih untuk berjuang dalam sengketa ganti rugi tanah. Respons masyarakat dibentuk oleh ketidakhadiran pemerintah dan ketidakpercayaan terhadap pengadilan, sehingga masyarakat melakukan caranya untuk mengambil keuntungan,” jelas Rini. Rini menegaskan bahwa keadilan harus berpusat pada masyarakat, perjuangan dan negosiasi sehari-hari untuk keadilan. Masyarakat di lindungi hak dan mata pencaharian melalui tindakan dan negosiasi sehari-hari.

Mineral Kritis dalam Lensa Kebijakan Luar Negeri

Makmur Keliat, Ph.D (Dosen, Departemen Hubungan Internasional FISIP UI) menjelaskan dari segi diplomasi. Ia menjelaskan bahwa Indonesia perlu secara aktif terus terlibat dalam konvensi internasional, utamanya untuk memastikan terpenuhinya kepentingan komunitas lokal, termasuk dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup. Makmur menambahkan bawah “perlu merenungkan kembali tentang ketentuan Permanent Sovereignty over Natural Resource yang diatur dalam General Assembly Resolution 1803 (XVII) of 14 December 1952 dan poin tiga pasal 33 UU 1945 bahwa segala kekayaan Sumber Daya Alam dikuasai oleh negara serta digunakan untuk kemakmuran rakyat.” Selain itu menurutnya, menempatkan kembali peran negara untuk mineral kritis terutama terkait konsekuensi yang ditimbulkan oleh komoditas ini dalam konteks keamanan, ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan.  Transisi energi memiliki konsekuensi terjadinya transformasi politik, sosial, dan ekonomi di tataran internasional. “Menitikberatkan pada pentingnya tata kelola mineral kritis, tidak hanya untuk proses ekstraksi dan produksi tetapi juga hingga tahap recycling. Selain itu, mengutamakan transparansi, termasuk aktor yang terlibat dan informasi yang perlu disampaikan atau dapat diakses oleh publik,” jelas Makmur. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam kebijakan luar negeri dan ekonomi, termasuk transparansi dalam perjanjian bilateral serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam regulasi pertambangan. Seminar ini bertujuan untuk menyoroti permasalah ekploitasi mineral kritis, pemenuhan hak masyarakat adat di Sulawesi dengan kaitannya dengan kebijakan luar negeri Indonesia, memastikan bahwa suara-suara lokal menginformasikan dan membentuk kembali cara. Indonesia terlibat dengan para aktor internasional di sektor mineral kritis. Sebagai pembicara lainnya, Richard Fernandez Labiro (Direktur, Yayasan Tanah Merdeka - Sulawesi Tengah), Dr. Siti Maimunah (Direktur Mama Aleta Fund (MAF),  

Sumber : WAG Mitra Media Komnas HAM