Publikasi

Mengapa Orang Muda Harus Menolak Penulisan Ulang Sejarah Resmi?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Seperti kita ketahui bahwa  pemerintah saat ini, lewat Kementerian Kebudayaan sedang dalam proses penulisan sejarah. Penulisan tersebut akan selesai pada Agustus 2025.

Namun banyak penolakan terhadap penulisan ulang sejarah tersebut. Sebab penulisan sejarah bukan  berangkat pada asumsi tetapi  akan lebih baik bila sejarah dibiarkan tumbuh dari masyarakat,  dari hasil penelitian dan penelusuran para peneliti maupun akademisi sehingga melahirkan pandangan yang beragam, tidak mengacu kepada satu tafsir tanggal yang justru berpotensi mendistorsi  sejarah atau justru meminggirkan peran perempuan dalam sejarah.  Lebih lanjut, mengapa perempuan dan orang muda harus menolak penulisan sejarah resmi tersebut? dalam siaran IG Live yang dimoderatori Dianah Karmilah, Indonesia Woman Coalision dan Ruas Indonesia  mengundang  Astrid Reza.

Astrid Reza, dosen sejarah UGM, dan  juga di Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, pernah meneliti tentang  perempuan di tahun 1950 sampai 1965 dengan cara menganalisa memoar. Menurut Astrid, aksi menolak keterbukaan sejarah selama ini ditemukan di negara-negara otoritarian untuk membuat versi tunggal. Kata  "resmi" adalah kata jebakan yang jadi  barometer sehingga yang lain dianggap ilegal.

Juga masih terjadi  di negara otoriter maka penulis itu  jadi proyek.  Lantas siapa saja yang turut  menulis ini dan  mengapa harus digugat. Proyek penulisan ini sangat ambisius namun  komisi 10 DPR RI tidak tahu. Tidak ada diskusi publik, padahal harusnya ada diskusi dulu, debat dulu. "Hari ini kami juga dapat revisi draft- draft sebelumnya yang banyak memuat catatan saya,"ujar Astrid.

Astrid menambahkan bahwa dalam proyek ini tidak ada penulisan sejarah perempuan, padahal seharusnya penulisan sejarah sangat bertumpu pada perempuan. Saat ini bahkan pelajaran sejarah tidak lebih maju, mengerikan dan  ada multi problem. Dalam sejarah revolusi, tidak ada sejarah perempuan. Padahal kita tahu Maria Ulfah,  Menteri Sosial pertama tahu 1947 tidak muncul. Menurut Reza,  di slide 10 tiba-tiba ada penulisan tentang  Komnas Perempuan Dan  di draf awal, sejarah Kartini tidak ada, kongres perempuan juga tidak ada. Sejarah tentang buruh dan tani di SI tahun 1926-27 tidak ada. Padahal di media bisa diakses tentang sejarah Asiyiyah, Wanita Katolik  (WK)  yang di draft ini tidak ada. Yang ada adalah sejarah  ibu PKK,  Dharma Wanita yang  seolah-olah dengan narasi "resmi".

Padahal penting di ketahui bahwa gen Z saat ini bisa bersekolah karena perjuangan dari  nenek-nenek mereka yang  berjuang. Pada zaman dulu agar bisa berkesempatan bisa bersekolah bagi laki laki dan perempuan melalui perdebatan. Saat ini sejarah kritis dilarang, sejarah perempuan pun juga dilarang. Padahal sebenarnya tidak bisa melihat sejarah dengan mata separo.

Padahal ada perempuan yang berjuang terkait  soal ketahanan pangan perempuan dan di draft buku ini tidak diangkat. Banyak perempuan perannya dikecilkan dengan domestifikasi PKK.

Seolah olah gen Z perlu disuapi seperti zaman orde baru yang dalam logika pemikiran tidak masuk. Sejarah perempuan mencatat bahkan Gerwani di di tahun 1954 sudah memiliki tempat penitipan anak.

Dari perbincangan di IG Live ini yang kemudian tercetus adalah jangan-jangan korban literasi sudah sampai ke Kementerian Kebudayaan,  yang tidak ada pendidikannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa produk penulisan ulang sejarah hanya mengglorifikasi saja.

Lantas bagaimana  cara menyembuhkan luka batin dari negara yang brutal? sebab saat ini ada satu proses penghancuran sejarah gerakan perempuan yakni Gerwani, kongres wanita yang sangat progresif. Dan bagaimana  32 tahun rezim orde baru menjadikan  perempuan kanca wingking. Sejarah mencatat Indonesia jauh lebih progresif di tahun 1950-1965.

Jawaban dari  menyembuhkan luka batin panjang yakni dengan mengakui peristiwa itu dulu. Mengakui bahwa ada peristiwa  65, mengakui tragedi perkosaan 98 yang kenyataannya negara tidak pernah minta  maaf. Kemudian yang menjadi kekhawatiran adalah 30 tahun ke depan anak-anak saat ini  akan  seperti apa jika tidak tahu sejarah bangsa sendiri. Mengapa tidak menyelesaikan dulu persoalan-persoalan masa lalu? Padahal seharusnya  penulisan sejarah adalah inklusif dan  milik semua orang. "trust kita sangat rendah jika  sejarah hanya milik satu orang  dan berseragam," pungkas Astrid. (Ast)