Menarik sekali menuliskan tentang surutnya industri pers dan media di tengah gempuran Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) beberapa media seperti CNN, TV One, Kompas TV, Viva.co.id dan lainnya. Kompas TV memutuskan hubungan kerja 150 karyawan, CNN 200 karyawan dan TV One 75 tenaga kerja. Republika merumahkan 60 karyawan termasuk 29 wartawan.
Di sisi lain, Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Repubik Indonesia (TVRI) juga melakukan langkah serupa, memutuskan kontrak outsourcing dan non PNS sebagai langkah efisiensi. Salah satu penyebab utama krisis yang melanda industri media saat ini adalah menurunnya pendapatan iklan dari pemerintah sebab selama ini iklan menjadi satu sumber pemasukan signifikan bagi media terutama televisi. Namun beberapa tahun terakhir, pemangkasan anggaran pemerintah berdampak langsung pada berkurangnya belanja iklan publik.
Di saat yang sama, tekanan lain datang dari struktural dengan menguatnya dominasi oligarki dan pengaruh pemilik modal semakin besar lama industri media dan turut mengancam independensi redaksi. Laporan paling baru dari Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan drastis indeks kebebasan pers Indonesia di tahun 2025.
Menurut Xtudio dalam konten di Instagram, mereka para jurnalis bukan orang sembarangan. Setiap hari pekerjaan mereka menyusun berita, membaca realitas, dan membawa publik kepada fakta-fakta yang bukan drama. Namun hari ini mereka harus bilang, "Terima kasih atas kebersamaan ini " Lalu diam dan menghilang dari layar. Jurnalis salah apa? Wajah-wajah yang biasa publik temui tiap pagi di layar kaca satu per satu pamit. Buka karena skandal, kelalaian atau hoaks Tapi karena satu hal yakni : Dunia berubah terlalu cepat dan mereka jadi korban yang paling sunyi.
Kenapa begini? 1. Sebab gen Z tak lagi nonton berita pagi. 2. TV masih sibuk urus running dan rating. 3. informasi sekarang hadir 24/7 di TikTok, Instagram dan YouTube. 4. Semua orang bisa jadi media.5. Semua orang bisa jadi jurnalis. Sementara itu Newsroom masih percaya publik masih "butuh nonton berita". Ironisnya yang dikorbankan justru mereka yang paling dekat dengan esensi jurnalistik : melaporkan, memverifikasi, dan menyampaikan.
Saat pendapatan iklan jatuh, dan biaya tidak bisa ditekan lagi, yang dihapus bukan layar tetapi orang-orang di balik layar. Ini bukan sekadar soal industri tetapi soal identitas : Jurnalisme tak lagi eksklusif, Otoritas berita digantikan algoritma, "Berita" kini bersaing dengan konten 15 detik, publik tidak menunggu, publik digerakkan oleh notifikasi.
Misalnya dari pusat ke desentralisasi, faktor pemilik saluran Old Media (TV, cetak) dimiliki oleh korporasi sedangkan New Media (medsos dan digital) terbuka siapa pun bisa jadi penyiar. Alat penyiaran pun jika Old New butuh studio, lisensi dan frekuensi sedang New Media hanya butuh koneksi internet dan ponsel. Dan faktor produksi jika Old Media butuh kolektif reporter, editor, produser dan kameramen, tapi New Media bisa dilakukan oleh blogger, citizen, jurnalis dan konten kreator.
Dikutip dari Tempo.co, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetyo Utomo, tekanan yang dialami mayoritas media terjadi karena faktor kegagapan beradaptasi di tengah disrupsi digital. Menurutnya, kegagapan itu telah berlangsung lama dan diperparah oleh kombinasi krisis global, perubahan situasi politik, serta kebijakan efisiensi pemerintah yang memangkas anggaran belanja iklan media. Wisnu juga menyoroti perubahan pola konsumsi informasi masyarakat sebagai penyebab lain merosotnya ekosistem media. Ia menyebut bahwa media arus utama kini bukan satu-satunya sumber informasi.
Lantas Apa yang Perlu Dilakukan?
Mau tidak mau, kita harus menjawab tantangan itu maka, dibutuhkan transformasi yang sistemis dengan cara negara menghadirkan kebijakan yang melindungi industri media dan pekerjanya, bukan dengan intervensi politik tetapi jaminan atas keberlanjutan ekonomi dan menjaga independensi editorial. Langkah kedua yakni perusahaan media harus berinvestasi dalam pengembangan digital dari desain platform, model berlangganan, sampai menyuguhkan jurnalisme data. Ketiga, perlunya memberikan pendidikan literasi digital kepada masyarakat sejak dini agar mereka mampu membedakan mana informasi yang berkualitas dan mana yang disinformasi. (ast)