Banyak hal yang dihadapi oleh difabel mental psikososial saat mendapat tantangan untuk bersuara seperti stigma sosial yakni takut dicap negatif, kurangnya pemahaman publik, diskriminasi struktural dan minimnya ruang partisipasi publik. Namun begitu, difabel mental psikososial perlu sadar bahwa keberanian bersuara itu penting sebab dengan bersuara, ia telah menjadi subjek mandiri bagi dirinya sendiri untuk menyuarakam hak-haknya.
Mengapa keberanian bersuara itu penting? Untuk menghapus stigma dan miskonsepsi, mengklaim hak-hak sebagai warga negara, membangun solidaritas, dan menginspirasi perubahan kebijakan publik. Demikian dikatakan oleh Haryati Panca Putri, S. H, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI yang menjadi narasumber sekaligus fasilitator pada pelatihan kemandirian difabel mental yang diselenggarakan oleh Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) dengan dukungan penuh dari Program GOOD Sigab, pada Jumat (16/5). Pelatihan diikuti oleh 35 penyintas skizofrenia dan 10 relawan bertempat di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI.
Selain itu keberanian bersuara juga bermanfaat dalam advokasi baik advokasi secara personal dengan berbagi pengalaman hidup, juga advokasi dalam komunitas atau organisasi dengan berkampanye. Serta advokasi kebijakan dengan melakukan petisi atau audiensi dan advokasi digital lewat media sosial seperti WhatsApp, Instagram, blog, podcast, YouTube, Twitter, Facebook dan lainnya.
Sementara itu, menurut Haryati Panca Putri, dalam hal advokasi, banyak dukungan yang dibutuhkan oleh difabel mental psikososial antara lain : akses layanan kesehatan mental, lingkungan inklusif dan suportif, pelatihan keneranian dan komunikasi serta adanya peran keluarga dan komunitas. "Lantas, apa peran masyarakat di sekitarnya?"tanya perempuan yang kerap dipanggil Putri tersebut.
Peran masyarakat adalah dengan mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang untuk berbicara, mendapatkan edukasi terkait isu disabilitas dan mendukung gerakan advokasi inklusif.
Pada sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan dan pernyataan yang disampaikan oleh para peserta, termasuk bagaimana memupuk keberanian ketika penyintas harus berhadapan dengan hukum misalnya menjadi saksi dalam kasus tindak pidana.
Menariknya sebuah pernyataan disampaikan oleh salah seorang penyintas bipolar ketika ia menerima perilaku menyakitkan hati tatkala sedang berinteraksi di media sosial. Ia mendapatkan kata-kata kasar dan saat itu sedang tidak siap untuk menerimanya. Kata-kata komentar dari warganet tersebut berhubungan dengan stigma yang dialami penyintas sehingga ini bisa saja digolongkan menjadi sebuah perilaku kekerasan berbasis gender online. Dari diskusi dan tanya jawab yang digelar di akhir acara. Kemudian oleh Fithi Setya Marwati, S.E, M.M, Ph.D, Ketua KPSI Solo Raya, lantas didapatkan petakan kebutuhan pelatihan berikutnya, sebaiknya para anggota KPSI Simpul Solo Raya mendapatkan pendidikan dan pelatihan, salah satunya tentang bijak bermedia sosial dan advokasi pencegahan penipuan berbasis online, literasi tentang pencegahan judi online dan pinjaman online. (Ast)