Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Saskia Wieringa, seorang peneliti dan juga dosen dalam siaran diskusi publik memperingati Hari Perempuan Sedunia  dan disiarkan  YouTube bertanya mengapa gerakan perempuan dihancurkan? Dari dulu ia tertarik tentang ini. Saksia bercerita waktu  masuk gerakan perempuan Belanda yakni di tahun 1968, saat itu gerakan perempuan di Belanda baru dimulai. Sedangkan gerakan perempuan Indonesia sudah hancur. Di tahun 50-an gerakan perempuan di Belanda hampir tidak ada, lemah sekali. Tetapi sampai tahun 1965, gerakan perempuan di Indonesia sangat kuat, termasuk paling kuat di dunia. "Kita betul-betul harus sadar bahwa Gerwani waktu itu nomor tiga jumlah terbanyak di dunia, setelah China dan Rusia. Padahal kita bukan negara komunis," ujar Saskia.

Maka dari itu timbul pertanyaan yang terkuat, terbesar kok bisa kalah. Itu yang jadi bahan thesis S3 Saskia karena ia mau memahami. Saskia menulis buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan, dan  itu memang terjadi. Sekarang ia ingin menganalisis beberapa hal yang semestinya lebih mendalam. Satu hal yakni terkait konsep, konseptual, buku 'penghancuran' belum sampai pada itu. Sekarang zaman lebih maju. Yang kedua adalah apa yang terjadi dan mengapa organisasi Gerwani yang begitu kuat, bisa lemah. Dan perlu untuk dimengerti kelemahan Gerwani. Ia belajar dari pemilu presidensial di Indonesia pada tahun 2019, bahwa gerakan perempuan lemah.

Buku 'penghancuran' melihat dari sisi politik. Saat pemilu 2019 gerakan perempuan terpisah dan lemah padahal banyak perempuan memiliki kecerdasan. Kelemahan itu secara politis dan simbolis.

Gerakan perempuan mulai dari Indonesia merdeka, perempuan ikut serta bukan hanya sebagai penjaga dapur umum tetapi juga sebagai kurir untuk tugas utamanya. Waktu itu tidak ada internet atau pos. Kelompok gerilya saling menghubungi perlu peranan perempuan. Tapi sesudah itu peranan perempuan musnah. Membaca buku 'pergerakan', dimana peran perempuan? Saskia mengatakan jika Ben Anderson selalu menulis tentang pemuda, para laki-laki. Peranan perempuan hilang dalam buku sejarah, juga dalam kesadaran novel, dan puisi. Artinya yang jago-jago adalah laki-laki. Perempuan tidak diperhatikan. Kelemahan lainnya, ia membaca lagi buku penghancuran gerakan dan merasai buku itu lagi. Itu adalah gerakan perempuan muncul dari gunung, dari tempat gerilya. Mereka sangat feminis, sangat sadar ada perempuan yang sosialis, yang bekerja sama dengan gerakan-gerakan sosialis. Dari dulu sudah bekerja banyak tentang perkawinan, poligami, dan mereka yang betul-betul berjuang tentang itu. Itulah yang penting untuk perempuan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Perempuan dari diri sendiri tidak bisa untuk mengikuti garis perjuangan mereka sendiri. Mereka langsung ditangkap dan disuruh ikut serta program PKI.

Kata Soekarno waktu itu, nanti kalau ada sosialis Indonesia, itu istilah Soekarno, itu perempuan sudah bebas. "Itu bohong. Itu harusnya bisa belajar, di Rusia, di China yang sama sekali tidak sampai itu. Perjuangan perempuan tidak akan berhasil kalau perempuan sendiri tidak punya program sendiri maka dari itu kalau perempuan biarkan program mereka diambil oleh PKI atau oleh Soekarno, mereka akan kalah. Itu persisnya yang terjadi,"ujar Saskia.

Oleh karena Gerwani kuat sekali, gagah sekali dan tidak ada satu organisasi pun pergi ke desa manapun, pergi untuk membantu buruh petani, tetapi karena  mereka ikut program laki-laki atau mengikut janji Soekarno, mereka kehilangan cita-cita mereka sendiri. Lama-lama sudah tahun 1951, sudah kongres pertama.

Karena untuk PKI, perempuan itu penting. Tetapi bukan untuk kepentingan perempuan, tentang monogami atau perjuangan anak, atau prostitusi atau pembagian kerja di rumah tangga, itu PKI sama sekali tidak peduli. Aidit tahu dan mengerti, tanpa perempuan revolusi tidak akan terjadi sebab yang dia mau hanya jumlah perempuan. Bahwa perempuan menjadi satu juta, dua juta tetapi Gerwani tidak sampai satu juta, dan dia kecewa.

Gerwis, perkumpulan pertama itu sangat feminis. Tetapi dalam perjuangan untuk memperoleh anggota-anggota baru yakni pelatihan kader tidak bisa lagi dilakukan. Kalau tahun pertama  mereka melakukan pelatihan, mereka tidak bisa melaksanakan lagi karena terlalu banyak orang, terlalu banyak anggota. Mereka banyak terlibat praktik sehari- hari. Mereka kalah. Saskia merasa contoh yang Indonesia adalah contoh dimana bisa belajar bagaimana negara bisa hancur.

Menurut Saskia, kita bisa belajar dari peristiwa 65 itu sebagai salah satu contoh terpenting Indonesia tentang politik seksualitas.. Bagaimana negara bisa hancur dan gerakan perempuan, gerakan sosial pada umumnya bisa hancur dan dihancurkan oleh politik seksualitas para jenderal. "Saya lama tidak tahu, siapa yang mengarang Gerwani memotong alat kelamin tentara?" tanya Saskia.

Ia baru membaca buku bahwa di kelompok Soeharto disebutkan untuk menghancurkan negara dilakukanlah semua gerakan perempuan dengan politik seksualitas. Semua bisa belajar dari Indonesia dan Saskia menulis banyak tentang itu dan banyak orang percaya bahwa itu bisa terjadi

Mereka mengarang dan menguasai koran, radio, semua media. Itu merupakan program dari Soeharto. Merek lama menyembunyikannya lalu kemudian sekarang semua tahu. Itu yang kemudian dinamakan heteronormativitas.

Heteronormativitas adalah sistem beberapa perilaku dianggap sah dan diterima oleh masyarakat dan perilaku yang lain tidak diterima. Itu masuk dalam berkenaan moralitas dan masuk dalam agama. Jadi agama lebih luas dari agama yang biasanya dilihat dari agama yang dipakai politik.

Selain itu kita bisa belajar bagaimana kita bisa menentang itu semua dengan kuat, bangun- bangun wacana, untuk kuat. Untuk tidak jadi korban politik seksualitas militer maka Saskia membangun beberapa konsep. Yang pertama bukan heteroseksualitas yang penting tetapi heteronormalitas karena heteronormativitas adalah dua mata pedang yang bisa membunuh siapa saja di luar norma dan itu mengancam semua orang di dalamnya.

Kedua kita mesti mengerti bagaimana subversinya. Bagaimana kita bisa mensubversi heteronormativitas  bukan hanya aksi di jalan. Meskipun demonstrasi ke jalan penting seperti saat ini ada aksi dukung pengesahan RUU PPRT. Tetapi ada dari kita yang  memakai heteronormativitas tapi tidak melakukan aksi keras yakni aksi subversi simbolis.

Saskia sedang menulis LBT, transeksual. Itu adalah bentuk hubungan antara lesbian, banyak yang "seolah' heteroseksual  tetapi bukan heteroseksualitas. Menurutnya Feminisme dan maskulinitas tidak tergantung kepada tubuh, itu konstruksi sosial.

Saskia mengulangi bahwa kita mesti tahu bagaimana menentang sistem heteronormativitas yang begitu kuat. Dan kita mesti punya agenda sendiri. Kita belajar dari pemilu 2019. Ada kelompok perempuan yang ikut Jokowi dan ada yang ikut Prabowo, daripada mereka memiliki program bersama. Itu yang terjadi juga sebelum tahun 65, ada organisasi yang sudah tidak punya program sendiri lalu hanya melihat kepentingan parpolnya laki-laki, maskulinitas dari maskulin. "Kita harus keluar dari sejarah itu. Gerakan perempuan Indonesia menanti untuk pemilu mendatang dan tidak lagi terpecah. Bangun program sendiri dan tuntutan sendiri. Bukan dari partai," seru Saskia. 

 Jejak Langkah Gerakan Perempuan : Kita Menentang Politik Nativisme Pribumi dan Non Pribumi

 

"Saya temui Ibu Sulami yang kulit tangannya keriput seperti kulit tangan nenek-nenek di kampung saya. Sambil bergetar, ia memberi saya buku catatan saat di penjara.".

Apa yang kita catat dalam konteks reformasi? Yuniyanti Chuzaifah, purna komnas perempuan, melihat bahwa reformasi itu adalah ujung atau titik mula dan jangan dilihat hanya sebagai turunnya Soeharto. Proses demonstrasi berhari-hari saat itu  adalah akumulasi panjang dari gerakan perempuan Indonesia melakukan delegitimasi terhadap Soeharto.

Yuni ingat Bu Sulami, penyintas 65, keluar dari penjara keadaannya sangat miskin. Para perempuan saat itu melakukan delegitimasi Soeharto gagal dalam mengelola negaranya dengan adanya kemiskinan. "Kita juga melakukan delegitimasi yang dilakukan Soeharto. Kita mulai membikin serikat-serikat. Kalau ada demo, gerakan perempuan itu ada di depan. Tidak takut meski ada tentara. Kita berkacak pinggang dan yang kita lakukan pendekatan feminin dan feminis. Kita pakai bunga . Kita kasih para militer dan  kita kasih bunga. Bukan karena kita takut. Kita menentang dan bilang bahwa yang kita angkat adalah ini," demikian kata Yuni. Yuni membangun Solidaritas Perempuan (SP), waktu itu bukan dengan mengumpulkan perempuan atau memperbanyak massa. SP ke Makassar, Palembang, dan Sulawesi tidak dengan massa tetapi kita mentraining.

Untuk mendapat tempat di hati perempuan setempat mereka bertarung dengan maskulinisme. Itulah yang  menjadi konektor saat mereka membangun perserikatan dengan memberikan training kepada para kader. Untuk membangun Solidaritas Perempuan (SP) di daerah mereka izin ke CSO setempat. Nah,  kemudian menurut Yuni, yang terjadi dari reformasi adalah mereka merawat grassroot dengan menerjemahkannya misalnya ia diajak pergi menemui buruh-buruh.

Setelah melakukan pengorganisasian kemudian mereka melakukan pembelajaran hukum kepada buruh-buruh itu. Ada peristiwa tak terlupakan waktu itu mereka harus memasukkan sandal  di dalam ruang sebab ketua RT RW merangkap jadi intelejen. Mereka  memasukkan sandal agar tidak terlihat dari luar sehingga terhindar dari penangkapan. 

Yuni pada saat mahasiswa bahkan ingin belajar tentang feminisme. Waktu itu ia bergabung dengan Yayasan Perempuan Mahardhika. Menurutnya apa yang terjadi dengan Mei 98 dan peristiwa perkosaan massal pada perempuan Tionghoa dirasakan oleh semua aktivis perempuan hingga mereka berkata, "ini bukan tubuh mereka. Ini tubuh kita " dan politik seksual digunakan untuk mentarget perempuan. Yang kedua adalah merawat persaudaraan. "Kita menentang rasisme. Kita menentang politik nativisme pribumi dan non pribumi," ujar Yuni. (ast)

 

 

 

 

 



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa diharapkan menjadi payung hukum yang komprehensif dan memastikan dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak difabel sebagai korban. Namun begitu, pada layanan pengaduan, penjangkauan dan penampungan sementara (shelter/rumah aman) serta  layanan dasar lainnya. Dalam kesempatan webinar yang dihelat oleh Yayasan Sapda pada Kamis (16/3), Ratna Susianawati, Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bahwa kementerian tidak bisa melakukan sendirian sehingga diperlukan sinergitas pusat dan daerah. Kementerian juga berharap setiap layanan berperspektif disabilitas hadir di setiap layanan oleh lembaga lainnya.

Ratna juga memastikan bahwa perlindungan dari berbagai macam kekerasan harus diminimalisir bahwa  Zero Violence bisa diwujudkan. Saat ini data masih menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk disabilitas masih sangat tinggi. Pada 2016, ditemukan bahwa 1 dari 3 perempuan mendapat kekerasan dalam hidupnya. Lalu mengalami penurunan 1 : 4 di tahun berikutnya. Menurutnya meskipun sudah ada berbagai regulasi dan kebijakan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan, tetapi akses keadilan hukum dan pendidikan harus terus diupayakan.

Pada kesempatan yang sama, Nurul Saadah, Direktur Sapda menyatakan bahwa lembaganya menangani kasus perempuan dan anak difabel bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan  (FPL), Woman Crisis Center (WCC), pengada layanan dari pemerintah serta  kerja sama Aparat Penegak Hukum (APH) serta profesi yang lain. Menurut Nurul,  banyak cerita atau kisah suka duka dalam proses penanganan tetapi jarang dipublikasikan. Dan setiap pihak mengambil peran sesuai kedisiplinan masing-masing karena Sapda  tidak bisa bekerja sendiri. "Kami sudah bersama dengan FPL mencoba menulis catahu. Kami punya komitmen luar biasa. Dan ini yang kami catat, apa yang sudah kami lakukan," pungkas Nurul.

 

Catatan Kekerasan yang Dialami oleh Perempuan dan Anak  Disabilitas

Mengutip pers rilis yang dikeluarkan oleh Sapda, dari 81 kasus kekerasan yang terlaporkan, sebagian besar terjadi kepada ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, kemudian ragam disabilitas intelektual 22 kasus serta ragam disabilitas mental 14 kasus. Sementara berdasarkan bentuk kekerasan, jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi paling tinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual perkosaan 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga 15 kasus. Setiap penyintas/ survivor mengalami dua hingga enam bentuk kekerasan sekaligus.

Upaya pencatatan ini juga menghasilkan temuan tentang adanya hambatan berlapis yang menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mulai dari hambatan individu, keluarga, lingkungan, regulasi, hingga sarana dan pra sarana.

Pada hambatan di level individu, kondisi kedisabilitasan dan kendala komunikasi menjadi temuan kunci yang menyulitkan penyandang disabilitas mengakses layanan. Minimnya sumber daya ekonomi dan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan juga membuat mereka kurang memahami cara mendapatkan dukungan-dukungan yang diperlukan. Hal ini terbukti dari temuan data kasus yang menunjukkan mayoritas kekerasan menyasar penyintas tanpa pekerjaan (29 kasus) dan penyandang disabilitas yang sama sekali belum pernah mengakses pendidikan (14 kasus).

Pada hambatan di level keluarga, proses pendampingan kepada korban sering kali tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Lingkungan terdekat justru menjadi rintangan terbesar bagi sebagian penyintas untuk melapor, lantaran pelaku kekerasan adalah orang-orang yang seharusnya memberikan ruang aman, seperti keluarga (20 kasus) atau pasangan (14 kasus). Situasi ini dipertegas kembali pada data ranah kasus yang menunjukkan bahwa mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat (46 kasus).

Pada hambatan di level lingkungan, penyandang disabilitas terlanjur mengalami peminggiran dan diskriminasi akibat stigma negatif yang melekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya.

Terakhir, pada hambatan di level regulasi, berupa aturan-aturan yang mendukung pemenuhan hak penyintas kekerasan belum bisa terimplementasikan dengan optimal serta masih belum menyentuh penyintas penyandang disabilitasekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya. (Ast)

 

 

 

 

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Meski  sudah menjadi usul inisiatif DPR, RUU Kesehatan masih menyisakan berbagai catatan. Salah satu yang  menjadi perhatian dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas adalah ketentuan dalam Pasal 135, draft RUU Kesehatan per 7 Februari 2023, yang menyebutkan:

Ayat (1) “Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan psikologi.”

Ayat (2) “Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi.”

Ayat (3) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ketentuan Pasal 135 tersebut berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai; bersifat diskriminatif karena melanggar hak atas pekerjaan dan hak atas Akomodasi Yang Layak (AYL) bagi penyandang disabilitas. Hal ini bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif; dan berpotensi bertentangan pula dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan ketentuan undang-undang  lainnya.

Selain itu, Ketentuan Pasal 135 menjadikan RUU Kesehatan justru akan menegasikan peran Negara sebagai pengemban kewajiban dalam memberikan pelindungan hak terhadap warga negara. Undang-undang dibuat seharusnya menjadi alat bagi pemerintah menjalankan peran Negara, bukan sebaliknya.

Pada Pasal 135 ayat (1) RUU Kesehatan yang mengharuskan pengadaan pegawai atau pekerja melakukan pemeriksaan kesehatan fisik dan jiwa akan menambah beban kepada pemberi kerja. Seharusnya pemeriksaan kesehatan tetap menjadi opsi, karena pemeriksaan dalam praktiknya membutuhkan biaya. Bahkan bukan tidak mungkin biaya itu justru dibebankan kepada calon pekerja.

Pada Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan bersifat diskriminatif karena kondisi kesehatan seseorang diperintahkan untuk menjadi dasar penetapan kelulusannya dalam seleksi. Hal itu menunjukan bahwa RUU Kesehatan tidak menginginkan seseorang yang sakit untuk mendapatkan pekerjaan.

Padahal UUD NRI 1945 sudah menjamin hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali termasuk bagi mereka yang sedang memiliki penyakit, yaitu dalam Pasal 28D ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjamin bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

RUU Kesehatan seharusnya menjadi peraturan yang mampu mengelaborasi pelindungan terhadap hak atas pekerjaan yang tercantum dalam Konstitusi tersebut. Selian itu, informasi mengenai kondisi kesehatan pekerja atau pegawai seharusnya menjadi dasar bagi pemberi kerja untuk memberikan serangkaian dukungan agar pekerja taau pegawai tersebut dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, bukan justru menjadi alasan untuk membuatnya tidak lolos seleksi.

Pemerintah melalui RUU Kesehatan seharusnya dapat melindungi seseorang yang sedang menderita suatu penyakit untuk mendapatkan pekerjaan, agar seseorang itu memiliki penghasilan dan dapat berobat dengan baik. Atau bahkan aspek kesehatan seharusnya tidak menjadi faktor dalam seleksi pekerjaan karena sudah dipastikan pengobatannya dijamin oleh Negara, baik melalui skema asuransi atau difasilitasi oleh pemberi kerja.

Pada lingkup ketentuan mengenai kepegawaian, Pasal 135 ayat (2) bertentangan dengan Sistem Merit yang diterapkan, yaitu kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilakukan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Artinya  aspek kesehatan tidak dapat menjadi dasar penilaian untuk menentukan kebijakan dalam manajemen ASN, termasuk dalam proses seleksi.

Bahkan dalam ketentuan mengenai Manajemen ASN (Pasal 92 ayat (1) huruf a) dan Manajemen PPPK (Pasal 106 ayat (1) huruf a) diatur mengenai perlindungan bagi ASN dan PPPK berika jaminan kesehatan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tsal 135 ayat (2) juga termasuk dalam kebijakan yang diskriminatif.

Penyandang Disabilitas menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan apabila Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan diterapkan, karena dalam perspektif kesehatan kondisi disabilitas sama dengan adanya gangguan pada kesehatan fisikatau mental seseorang. Pasal 11 huruf a UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah menjamin bahwa Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pekerjaan. Sebagai pelaksanaannya, informasi mengenai kondisi hambatan seseorang bukan dijadikan alasan untuk melarangnya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi menjadi dasar pemberi kerja untuk dapat menyediakan Akomodasi Yang Layak sebagai bentuk fasilitasi atau dukungan bagi penyandang disabilitas yang bersangkutan untuk melaksanakan pekerjaannya (Pasal 50 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas). (ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Rapat Paripurna DPR tanggal 14 Februari 2023 resmi mensahkan RUU Kesehatan sebagai usul inisiatif DPR dan akan segera dibahas bersama dengan Presiden. RUU ini menggunakan format omnibus, yaitu tidak hanya akan mengganti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan saja, tetapi juga akan mencabut 8 UU lainnya. Kompleksitas substansi menjadikan proses pembahasannya memerlukan cukup waktu, sehingga diharapkan DPR dan Presiden tidak tergesa untuk mensahkannya.


Presiden melalui Kementerian Kesehatan sudah membuka kanal untuk masyarakat memberikan masukan, tetapi waktu yang diberikan sangat singkat, bahkan sudah ditutup pada jumat, 17 Maret 2023 lalu. Padahal ruang yang partisipatif dapat terus dibuka selebar lebarnya. Tidak hanya kemudian menjadi simbol yang akan menjadi justifikasi bahwa partisipasi publik sudah dibuka. Oleh karena itu, Koalisi yang beranggotakan organisasi penyandang disabilitas serta organisasi untuk penyakit kronis dan langka, menyatakan sikap agar Pemerintah membuka kembali ruang untuk masyarakat berpartisipasi. Bahkan seharusnya Pemerintah mempublikasikan pasal- pasal apa saja yang akan diatur dengan bahasa yang sederhana, tidak hanya membiarkan publik membaca draft RUU yang mencapai 400 lebih Pasal.


Secara Substansi, Koalisi yang beranggotakan organisasi penyandang disabilitas serta organisasi untuk penyakit kronis dan langka mendeteksi ada sejumlah Pasal yang bersifat diskriminatif, yaitu seperti Pasal 4 ayat (3) yang mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya.


Selain itu ada pula Pasal 135 ayat (2) yang mengatur bahwa Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan kelulusan dalam proses seleksi. Pasal itu memposisikan seseorang dengan gangguan jiwa atau Kesehatan berpeluang kecil mendapatkan pekerjaan. Ada pula Pasal 245 ayat (3) huruf c yang menjadikan surat keterangan sehat fisik dan mental sebagai syarat kepemilikan STR, sehingga bagi mereka yang tidak dalam kondisi sehat
fisik dan mental tidak dapat memiliki atau memperpanjang STR. Ketentuan yang hampir sama ada pada Pasal 259 ayat (1) huruf b yang menjadikan syarat sehati jasmani dan rohani untuk menjadi Calon anggota Konsil Kedokteran. Ketentuan lain yang pengaturannya masih menimbulkan ketidakpastian adalah terkait dengan Pasal 104 ayat (5) yang seolah olah mengembalikan hak seseorang untuk menentukan tindakan medis terhadap dirinya sendiri, padahal sejak awal seharusnya Negara melalui UU tidak mencabut hak seorang pasien untuk menentukan menerima dan menolak tindakan kesehatan atas dirinya.

Selain itu, Pasal 109 ayat (1) mengatur bahwa seseorang yang diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa. Dalam Pasal itu tidak dijelaskan apa fungsi dari pemeriksaan yang dilakukan, karena jika dilakukan untuk dasar menjadikan seseorang di bawah pengampuan, maka itu
adalah praktik pelanggaran HAM. Seharusnya pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan untuk menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh orang disekitarnya untuk
memastikan yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak keperdataannya.

Pasal lain yang perlu dikritisi adalah terkait dengan pengaturan mengenai obat- obatan. Kondisinya saat ini, ketersediaan obat untuk beberapa penyakit kronis, dan obat yang rutin dikonsumsi oleh Penyandang disabilitas mental jarang ada di Faskes Tingkat I. Ketentuan Pasal 334 dan 335 belum kuat untuk memastikan ketersediaan obat, ragam obat, batasan dosis yang ketersediaannya harus sama dengan yang tersedia di faskes tingkat kabupaten atau propinsi. Selain itu, obat-obat yang dimaksud perlu secara otomatis masuk dalam DOEN.


Pasal lainnya adalah terkait dengan adanya ketentuan yang mengatur perihal Rumah Sakit, khususnya yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Dalam Pasal 113 belum berhasil menjawab permaslaahan selama ini, dimana masih kerap terjadi kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental selama mendapatkan layanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam pasal 113 perlu untuk mengatur larangan terhadap pelayanan di rumah sakit untuk melakukan tindakan isolasi, pengurungan, penggundulan, dan/atau pengikatan terhadap pasien jiwa. Selain itu, sepanjang  memberikan layanan perlu dipastikan adanya persetujuan dari pasien jiwa.


Berdasarkan catatan tersebut Kami dari Koalisi mendesak DPR dan Presiden untuk:
1. Membuka ruang partisipasi bagi organisasi penyandang disabilitas serta organisasi penyakit kronis dan langka untuk memberikan masukan terhadap RUU Kesehatan
seluas mungkin, dengan tidak membatasi ruang dan waktu pemberian masukan tersebut;
2. Membuat materi-materi publikasi terkait ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam RUU Kesehatan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami, sehingga tercipta ruang transparansi yang baik;
3. Menghilangkan sejumlah Pasal yang bersifat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan orang dengan penyakit kronis dan langka dari RUU Kesehatan; dan
4. Memperkuat ketentuan-ketentuan yang masih belum tegas dalam menyelesaikan permasalah di lapangan.

Daftar Pendukung Siaran Pers:
1. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
2. PJS Sumatera Barat

3. SIGAB Indonesia
4. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia
5. Perhimpunan Jiwa Sehat Blitar
6. PJS Jakarta
7. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia
8. SAPDA
9. Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI)
10. FORMASI
11. ADF
12. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
13. DPP Gerkatin
14. OHANA
15. CIQAL
16. PPUAD
17. KASIH RUMALA Group

Narahubung:
Lutfy Mubarok (Perhimpunan Jiwa Sehat) 0822-4201-9117
Sylvia Sumargi (Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia) 0815-5332-8120
Fajri Nursyamsi (PSHK) 0821-1464-1745

19 Maret 2023


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia pada 2022. Angka ini menurun dibanding sebelumnya. Dalam kumpulan data tersebut, data laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah negara meningkat tajam dari tahun sebelumnya.

Pengaduan kasus kepada Komnas Perempuan justru mengalami peningkatan yakni 4.371 kasus. Rata-rata Komnas Perempuan menerima aduan sejumlah 17 kasus setiap hari pada 2022.

Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah negara mencapai 80 persen atau 68 kasus, yang naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, demikian dikatakan Andy Yentriyani dalam peluncuran Catahu Komnas Perempuan, Selasa (7/3).

Menurut data, kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH) sejumlah 35 aduan berupa kriminalisasi (18 kasus), pengabaian hak korban (9 kasus), penyiksaan (5 kasus) dan konflik agraria (5 kasus). Dari beragam kekerasan, kekerasan berbasis gender (KBG) menempati angka tertinggi, yang berasal dari personal 99 persen atau 336.804 kasus. Kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang terdekat yang memiliki relasi personal, yakni orang-orang yang seharusnya memberi perlindungan kepada perempuan dan anak justru menjadi pelaku. Catahu juga mencatat pola kekerasan di ranah personal yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, yakni tingginya kekerasan psikis yang dialami perempuan. Kekerasan psikis menempati urutan pertama aduan kepada Komnas Perempuan yang mencapai 40 persen. Kekerasan tersebut meliputi : ancaman, peretasan, pemalsuan akun media sosial, penyebaran foto, dan penyalahgunaan data pribadi.

Kekerasan psikis yang diikuti oleh kekerasan seksual baik di dunia nyata dan Maya sebanyak 29 persen, fisik 19 persen, dan ekonomi 12 persen. Berbagai hambatan dalam memeroleh keadilan ditemui oleh para perempuan korban kekerasan. Tidak adanya harmonisasi kebijakan  dan UU TPKS yang belum memiliki aturan pelaksana di bawahnya, menjadi penghambat dalam penanganan kasus kekerasan di ranah publik.

Sedangkan di ranah personal, Komnas Perempuan mencatat beberapa hambatan dalam penanganan kasus antara lain : lambatnya respons tempat pelaku kerja, penggunaan mekanisme pembatalan perkawinan untuk menghindari penghukuman pelaku kekerasan terhadap istri, perebutan hak asuh dan pembatasan akses terhadap anak, korban didiskriminasi dan mengalami perundungan, stigma kepada perempuan yang berhubungan tanpa status, manipulasi dari pacar atau mantan pacar, kurang bukti terkait keberadaan saksi. (Ast)


© 2023 All Rights Reserved.