Sorot

Normalisasi Kekerasan Seksual , Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Aliansi Laki-laki Baru (ALB) dibentuk untuk mengajak kelompok laki-laki kemudian mengajak laki-l aki  lainnya sadar gender,  memahami isu gender, keadilan gender, serta mengkaji definisi ulang tentang konsep maskulinitas. Laki-laki kadang suka bingung, saya kok marah melulu bawaannya. Demikian dikatakan Wawan Suwandi, Koordiantor Nasional pada Aliansi Laki-Laki Baru  (ALB). Ia salah satu dari lima koordinator, yang saat ini  bekerja di Yayasan Pulih, salah satu organisasi pendukung pada IG Live Bincang ALB bertema Fenomena Normalisasi Kekerasan Seksual, Kamis (9/9) bertepatan ulang tahun ALB ke-12.  

Pada talkshow IG Live tersebut mereka mengangkat tem a tentang fenomena normalisasi kekerasan seksual.  Apa sih yang bisa  kita lakukan terutama kelompok laki-laki untuk mencegah kekerasan seksual? “Kita tahu ada banyak laki-laki yang secara, jadi pelaku, apa benar laki-laki ditakdirkan menjadi pelaku?”tanya Wawan Suwandi.

Kekerasan seksual adalah peristiwa traumatik bagi korban, tetapi mengapa pada situasi yang ada, ada perbedaan yang jelas, antara korban dan pelaku. Korban tetap terpuruk terutama jika dia tidak menjalani pemulihan yang tepat, dia akan mengalami trauma dan perkembangan cukup lambat untuk pulih. Di sisi pelaku ada semacam glorifikasikasi :  Sudah berapa banyak kamu nidurin perempuan? dan sudah berapa banyak  dianggap bukan suatu yang salah. Baru-baru ini kita melihat bahwa pelaku disambut dengan gegap-gempita di televisi.  

Menghadirkan narasumber Nur Hasyim, salah seorang founder ALB yang memiliki panggilan sayang Boy. Sehari-hari ia mengajar di prodi UIN Walisongo Semarang, juga dewan pengawas di beberapa komunitas, salah satunya tercatat Pokja PKBI Jateng. Menurutnya tantangan terbesar sebuah gerakan adalah endurance, daya tahan, tantangan sejauh mana ALB bisa bertahan dengan visinya berama nilai yang diperjuangkan. Dan sepertinya belum akan usai dalam waktu dekat terkait gerakan yang dilakukan oleh ALB dan daya tahannya harus kuat.

Syafirah Hardani narasumber lainya yang juga salah seorang founder ALB menyatakan bahwa mereka di ALB punya panggilan sayang untuk semua orang.  ALB yang digagas di rumah Syafirah di rumahnya  Bandung tak disangkanya akan bertahan hingga 12 tahun dengan berbagai tantangan dan dia berharap yang sudah berkomitmen sejak awal bahkan sampai hari ini akan terus menggulirkan ke teman lain, kelompok lain. Kegiatan Syafirah saat ini lebih banyak fokus ke advokasi. Profesinya sebagai advokat dan seorang pengacara publik di YLBHI.

 

Apa sih yang mendasari laki-kaki menganggu perempuan di jalan dianggap wajar?

Pada segmen kedua, IG Live membahas tentang bagaimana pemikiran yang mendasari jika ada laki-laki yang mengganggu perempuan di jalan adalah wajar. Hal ini berkaitan dengan keyakinan norma kelelakian/maskulinitas, bahwa laki laki adalah subjek. Kalau dilacak berkaitan dengan persoalan cerita tentang sprema yang berlomba-lomba untuk membuahi sel telur. Dalam praktik misalnya, atau dalam relasi perempuan, laki-laki memiliki otoritas, dalam hubungan seks menginisiasi sedangkan  perempuan hanya menunggu.

Ini anggapan bahwa laki-laki adalah subjek, penakhluk, yang membuat tendensi laki-laki dianggap normal kalau menggoda, catcalling, dan melakukan pelecehan seksual. “Karena itu dianggap segala sesuatu yang dilakukan oleh laki-laki dianggap lumrah saja, laki laki lho. Perlakuan yang seperti itu memiliki kaitan keyakinan di masyarakat bahwa itu lumrah dilakukan oleh laki-laki. Jika perempuan mengalami pelecehan catcalling mereka anggap normal saja dan ini yang kemudian mempengaruhi mengapa laki-laki yang melakukan pelecehan seksual bentuk kekerasan seksual yang cenderung dianggap sesuatu yang normal,” ujar Nur Hasyim.

Wawan menambahkan jika menggunakan terminologi masyarakat secara umum, biasanya laki-laki yang takut dibilang bukan laki-laki akhirnya ikut ikutan, apalagi ada tekanan kelompok/peer pressure. Teman bisa mengubah diri kita sebagaimana kultur yang membangun pertemanan tersebut.

“Teman-teman laki laki saya bilang menggoda perempuan salah satunya sebagai bentuk keramahan sebagai laki laki dalam melakukan komunikasi yang saat itu digoda. Bagaimana dalam perspektif perempuan yang alami catcalling dari orang?”

Syafirah menjawab mungkin banyak perempuan yang menganggap itu hal biasa/normalisasi, bahwa catcalling itu lebih ke bahasa komunikasi pergaulan yang seringkali menyerang ketubuhan atau seksualitas walaupun dengan verbal. Menurutnya, jika kita hidup di budaya patriarki yang masih mengistimewakan laki-laki, maka struktur sosial pun mengacu pada yang maskulin. Maka hal-hal seperti itu sudah membudaya, dan ada semacam normalisasi.

Syafirah secara pribadi, ketika ada yang catcalling, bahkan, dengan gestur mengarah ke pelecehan, “saya biasanya akan freeze (beku). Tidak tahu bagaimana rasanya malu, merasa dilecehkan iya, direndahkan iya. Saya sering temui dari beberapa korban/klien, perempuan, ketika alami kekerasan seksual, verbal, kerap mereka akan freeze,”ungkap Syafira. Banyak sekali  yang menanggapi “kok lu gak teriak sih, gak melawan sih?”

Kembali ke masalah budaya patriarki bahwa maskulinitas sudah mengakar. Meski budaya bisa diajarkan, tapi terus berulang lagi sehingga masyarakat tumbuh dengan nilai maskulin dan menormalisasi hal-hal tentang kekerasan seksual dan banyak yang tidak bisa melawan.

Laki-laki yang melakukan kekerasan seksual, melecehkan, atau kekerasasan lainnya seperti  memperkosa bahkan dalam konteks rumah tangga tadi yang disebut pemberani, dalam masyarakat kita diberi value atau nilai. Ketika ada laki-laki yang berani melakukan itu, maka dia akan diberi valuing atau nilai. Mereka memiliki posisi dan kedudukan di atas, di dalam hirarki kelelakian, laki-laki itu hidup dalam hirarki atau piramida kekuasaan dan kontrol.

Mereka yang dianggap berani melalukan kekerasan diberi nilai, di dalam piramida kekuasaan dan kontrol. Ini yang membuat perilaku kekerasan terus terjadi karena laki-laki cenderung terus diberi value atau nilai lebih, kata pemberani itu nilai positif. Ada yang menyebutnya rape culture. Di kalangan laki-laki mereka diberi nilai.

Dampaknya bagi laki-laki sendiri adalah dia melakukan dehumanisasi karena laki-laki dalam hati kecil, memandang bahwa melecehkan orang itu tidak baik, tetapi karena nilai yang berkembang tentang nilai maskulinitas di masyarakat tadi, bahwa laki laki mengingkari hati nurani mereka tidak hanya melakukan dehumanisame atau merendahkan martabat perempuan tetapi dia juga merendahkan martabat dirinya sendiri.

Yang serius adalah ketika perilaku laki-laki yang merendahkan atau melecehkan itu mempengaruhi laki-laki lain misalnya melakukan hal serupa akan membuat laki laki itu terus saja melakukan tindakan- tindakan yang tidak manusiawi. Itu dampaknya terkait piramida, kontrol dan kekuasaan. Kekuasaan itu bisa terjadi kepada perempuan tapi juga laki laki lain yang posisinya berada dalam lapisan bawah. Mereka yang tidak kuat secara  fisik, mereka yang orientasi seksualnya berbeda. Contoh kasus kekerasan seksual yang di Komite Penyiaran Indonesia (KPI), bahwa kekerasan bisa dilakukan  siapa saja, termasuk laki-laki yang ada di lapisan bawah piramida kuasa dan kontrol. (Astuti)