Saat ini masih banyak ketimpangan tentang hak atas tanah. Setiap konflik agraria selalu diiringi kekerasan dan intimidasi yang tidak hanya terjadi pada laki-laki tetapi juga perempuan. Berbicara agraria tidak hanya petani tetapi juga nelayan. Seperti diungkapkan oleh Nur Sia perempuan nelayan dari Sengka Batu, Makassar, dalam dialog publik bertema perlindungan hak perempuan berhadapan dengan konflik agraria dalam reforma agraria yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan akhir September lalu.
Dampak reklamasi di Makassar pendapatan Nur Sia jadi berkurang padahal kebutuhan tinggi. Sekarang ia harus mencari Ikan lebih jauh seiring dengan kebutuhan tinggi, penjualan berkurang, dan transportasi makin tinggi. Ia juga harus pandai memutar otak. Akibat dari itu banyak temannya beralih pekerjaan sebagai buruh harian untuk mencukupi kebutuhan. Sebagai nelayan, Nur Sia tidak diakui oleh pemerintah, karena ibu rumah tangga. Yang diakui hanya nelayan laki-laki. Bahkan PT Pelindo IV yang melakukan pelatihan kepada nelayan, yang dilibatkan hanya nelayan laki-laki. Nur Sia dan kawan-kawan nelayan perempuan akan mendatangi DPRD dan melaporkan ke Komnas HAM. Tuntutan Nur Sia dan kawan-kawan adalah pemulihan hak ekonomi dan menyerukan stop reklamasi Makassar.
Lain lagi pengakuan Fatimah dari Ogan Ilir Palembang, yang sebelum ada perusahaan hidupnya sejahtera dan 100 persen hidup sebagai petani. Ia membuat rumah dari hasil kebun hingga jadilah rumah panggung. Sejak ada perusahaan hidupnya susah. Dulu janji peusahaan mensejahterakan masyarakat tetapi tidak ada. Saat ini menyekolahkan anak susah. Tidak ada karyawan dari putra putri daerah masyarakat daerah. Mereka hanya sebagi buruh harian dengan gaji hanya 30 ribu rupiah . Dengan ada pandemi COVID-19 kebutuhan hidup meningkatkan. “Tuntutan kami adalah kembalikan tanah kami. Hidup mati kami perlu tanah,” ucap Fatimah.
Yeni Adrice Sandipu dari Transmadoro, Poso, sebagai perempuan pejuang meminta kepada pemerintah agar warga transmigran memiliki status tanah yang mereka olah. Sebenarnya ada tanah yang diberikan kepada masyarakat tetapi berhubungan dengan perusahaan pabrik sawit. Mereka berjuang sejak 8 tahun lalu dan pemerintah menjanjikan kepada masyarakat akan memberikan sertifikat dalam waktu lima tahun dan sampai sekarang tidak mereka terima. Ada dua pertanyaan yang Yeni ajukan, bagaimana perjuangannya dan teman-teman selalu ditentang oleh pemerintah. Kedua adalah terkait program Presiden Joko Widodo, mereka sudah 8 tahun berjuang lalu bagaimana ke-15 anggota kelompok lainnya.
Pola yang terjadi dalam konflik agraria
Arie Kurniawan, koordinator program Solidaritas Permpuan menyatakan bahwa peta sebaran kasus agraria yang saat ini menjadi dampingan solidaritas perempuan Bungojumpo Aceh yakni penghancuran dan penguasaan sumber air oleh perusahaan, solidaritas perempuan anging mammiri dengan kasus proyek pembangunan Makassar New Airport, dan konflik lahan dengan PTPN XIV di Kabupaten Takalar serta solidaritas perempuan Sintuwu Raya Poso dengan PLTA Poso dan kasus Palembang konfik agraria antara petani di Sumatera. Dan selama ini penyelesaian dilakukan dengan kekerasan dan intimidasi.
Konsep perkebunan skala besar warisan kolonial yang menggusur rakyat, merupakan konsep patriarki dan menyalahi reforma agraria yang sejati. Perusahaan dianggap lebih produktif sehingga perlu diberi lahan lebih luas, sementara rakyat hanya jadi tenaga kerja. Apalagi perempuan yang dianggap tidak memiliki kapasitas dalam pengelolaan tanah.
Proses pemberian HGU yang tidak transparan dan tumpang tindih, mengkhianati UUPA adalah faktor penting penyebab konflik agraria yang berkepanjangan. Ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh perempuan memperburuk situasi tersebut.
Penanganan konflik dilakukan dengan pendekatan kekerasan, intimidasi, penggunaan aparat bersenjata. Dan dalam upaya penyelesaian konflik pun, perempuan tidak menjadi perhatian penting dan tidak dilibatkan, termasuk mendapatkan haknya untuk perlindungan ataupun pemulihan akibat konflik.
Pendekatan formal-administratif oleh pemerintah, hanya mendasarkan pada dokumen legal untuk pembuktian hak atas tanah, namun tidak memperhatikan substansi/materi. Hal ini tentu lebih sulit bagi perempuan yang masih mengalami diskriminasi dalam hak atas tanah
Peningkatan jumlah konflik agraria, khususnya yang kaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk di wilayah pesisir. Di mana dalam PSN tidak ada komitmen mengenai Hak Asasi Manusia 9HAM). Tidak ada proses konsultasi bermakna yang melibatkan perempuan, terlebih analisis mengenai potensi dampak berbeda yang akan dialami oleh perempuan akibat peran gendernya.
Bagaimana tanggung jawab Negara? Dalam komitmen global, ada rekomendasi umum No. 34 Komite CEDAW yang menegaskan hak perempuan terhadap tanah dan sumber daya alam pada kebijakan pertanian maupun pertanahan; Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat Pedesaan menegaskan akses untuk pemanfaatan dan pengelolaan yang setara bagi perempuan, serta prioritas bagi perempuan dalam reforma agraria maupun skema penyelesaian konflik. Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menegaskan prinsip non-diskriminatif dalam setiap level sehingga terwujud no one left behind.
Sedang komitmen secara naisonal ada Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000
Agenda Perempuan untuk Keadilan Agraria
Menyelesaikan konflik agraria yang memperhatikan keadilan substantif bagi perempuan, dengan keterlibatan bermakna bagi perempuan dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia; Tidak menggunakan tindak kekerasan, militerisme dan kriminalisasi kepada perempuan yang tengah mempertahankan dan memperjuangkan sumber agraria sebagai ruang hidup masyarakat; Meninjau ulang izin-izin usaha yang berdampak pada hilangnya hak perempuan atas tanah, kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia; Wujudkan reforma agraria yang berkeadilan gender, yang berarti reforma agraria yang dijalankan harus menjadikan perempuan sebagai subjek, di mana perempuan teridentifikasi sebagai penerima tanah reforma agraria, dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait tanah yang diberikan, serta mendapatkan segala fasilitas pendukung, yang dibutuhkan untuk penguatan kapasitas, baik kapasitas terkait pengelolaan tanah, maupun kapasitas sosial. Hentikan kejahatan korporasi yang selama ini turut andil dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.
Sandrayati Moniaga Komisioner Komnas HAM dalam dialog publik menyatakan Permasalahan (draft SNP Tanah & SDA) bahwa perempuan memiliki seperangkat hak terkait dengan tanah dan SDA, di antaranya sebagai bagian dari hak untuk hidup dan berpenghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan, hak reproduksi, hak atas air dan sanitasi, hak atas kepemilikan tanah, dan sebagainya.
Hilangnya hak atas tanah dan rusaknya SDA bagi perempuan bukan semata hilangnya sumber ekonomi, tetapi dapat berakibat memburuknya kesehatan reproduksi, perlakuan diskriminatif, kekerasan seksual dan hilangnya pelindungan hak-hak dasar perempuan. Perempuan memiliki hubungan khusus dan kompleks dengan tanah dan sumber daya alam. Oleh karena itu, perempuan berhak untuk mendapatkan informasi yang transparan, mudah diakses dan jujur tentang tanah dan SDA di semua tingkatan, pusat, daerah, dan lokal.
Budaya patriarki yang masuk dalam semua segi kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta kebijakan yang menempatkan laki-laki sebagai satu-satunya kepala keluarga mengakibatkan perempuan berada pada situasi rentan, dalam mendapatkan hak dan perlindungan hak-hak dasar bidang tanah dan SDA.
Berbagai regulasi nasional dan internasional telah menjamin hak hidup dan mempertahankan hidup bagi perempuan. Selain itu juga perempuan berhak untuk mendapatkan keadilan atas kepemilikan tanah dan SDA tanpa diskriminasi. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan maupu orang dengan orientasis seksual dan identitas gender, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga membawa dampak sering kali dalam proses sertifikasi kepemilikan aset tanah dan SDA secara otomatis atas nama laki-laki, meskipun di dalam aset ada kepemilikan perempuan, bahkan terjadi klaim atas kepemilikan perempuan. Dalam proses negosiasi terkait pengadaan tanah, sering kali laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga mewakili perempuan .
Hak atas rumah atau kediaman yang aman juga menjadi hak perempuan, yakni tempat kediamannya tidak boleh diganggu dan apabila menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. (Dunung Sukocowati/Astuti)