Persoalan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak banyak sekali dan masih parsial. Beberapa hambatan tersebut antara lain adalah layanan visum yang masih berbayar, meskipun ada lembaga pendamping yang menyatakan ada kemajuan sebab hasil visum korban dibayar oleh kepolisian. Terkait rehabilitasi medik baik fisik dan psikis bagi korban juga masih berbayar, tidak diakomodir dalam JKN BPJS-KIS.
Kabupaten Sukoharjo lewat dinas sosial akhirnya memiliki kebijakan afirmatif penanganan medis/rehabilitasi korban pasca kekerasan baik fisik maupun psikis bahwa pembiayaan rehabilitasi bagi korban dijamin oleh Jamkesda. Hal itu tidak terjadi begitu saja dan tiba-tiba sebab harus melalui jalan terjal advokasi yang dilakukan oleh lembaga pendamping korban yakni Yayasan YAPHI. Kebijakan afirmatif ini bisa dinilai langkah baik, harapannya, tidak akan terjadi pada kasus per kasus, namun dalam bentuk aturan kebijakan.
Perspektif pemangku kebijakan yang masih belum berpihak kepada korban juga menjadi persoalan tersendiri, sehingga ketika di lapangan masih ditemui hal-hal yang jadi debatable, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Belum terintegrasinya pelayanan serta masih sepotong-sepotong dalam penanganan menjadikan alasan menyalahkan satu sama lain instansi yang menangani. Isu-isu penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak seharusnya bukan menjadi isu wilayah saja namun juga isu nasional.
Di Kabupaten Sukoharjo sudah terbit peraturan daerah (perda) nomor 16 tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan anak, perubahan atas perda nomor 3 tahun 2015. Namun perda ini belum menjawab kebutuhan di lapangan terkait penanganan kasus, karena seyogyanya perda memiliki aturan di bawahnya sebagai juklak dan juknis, aturan yang lebih rinci hingga menyentuh kepada ranah siapa melakukan apa, atau dinas apa melakukan apa.
Edy Supriyanto, Ketua Paguyuban Sehati Sukoharjo dalam kehadirannya di Focus Group Discussion (FGD) bertema penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang diselenggarakan oleh Yayasan YAPHI pada akhir Agustus 2021 menyatakan bahwa draft perbup, aturan turunan perda nomor 16 tahun 2016 pernah disusun tetapi ketika disampaikan ke provinsi dikembalikan. “Kami pernah menanyakan tetapi belum ada jawaban,”ujar Edy. Paguyuban Sehati dalam praktik sehari-hari, melakukan pendampingan kepada kelompok penyandang disabilitas, termasuk korban dalam kasus kekerasan seksual. Ada kasus yang ditangani oleh lembaganya yang terhenti di ranah kebijakan kelurahan/desa sebab dianggap aib. Bahkan ada desakan dari pemdes, jika kasus diangkat maka keluarga tersebut tidak mendapatkan dukungan administrasi.
Edy Supriyanto menambahkan bahwa di tahun 2017, Dinas Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) Kabupaten Sukoharjo memiliki tiga bidang, ada Unit Pelayanan Terpadu (UPT) tapi untuk Keluarga berencana (KB). Tetapi untuk penanganan kasus, ada tim penanganan kasus kekerasan berbasis gender yang dibentuk pada tahun 2010. Edy masih menjadi anggota tim di sana, karena juga memiliki program di sana. Hanya saja, beberapa anggota tim belum memiliki kapasitas terkait mekanisme dan perspektifnya belum ada.
Belum adanya integrasi lembaga alias masih minim terkait layanan pendampingan terhadap korban kekerasan juga disampaikan oleh Rita Hastuti dari Yayasan KAKAK. Ia pernah mendampingi korban yang harus diberi akses pendidikan. Kala itu, Rita melihat bahwa perspektif para guru belum berpihak kepada korban. Namun akhirnya ia menemukan sekolah yang memiliki kepedulian terhadap korban dan membolehkan korban tersebut untuk bersekolah. Yayasan KAKAK mendampingi anak korban kekerasan di Kabupaten Sukoharjo sejak 2002.
Praktik baik pernah dilakukan di Kota Surakarta dengan terbentuknya Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) yang diinisiasi oleh jaringan masyarakat sipil pada tahun 2000. Sekira tahun 2015 PTPAS berubah menjadi UPT PTPAS. Vera Giyantari, salah seorang inisiator saat kelahiran PTPAS itu, dalam FGD yang diselenggarakan oleh Yayasan YAPHI menyatakan bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, setelah 21 tahun PTPAS dibentuk, masih berkelindan dalam penanganannya. Menurutnya, mengapa ini terus terjadi? Sebab produksi kekerasan terus terjadi. Hukum, politik , pendidikan, dan media kita, tidak memiliki upaya pencegahan yakni pendidikan yang welas asih. Dan kalah cepat dengan yang memproduksi kekerasan itu. “Kita banyak informasi tapi tentang kekerasan jauh lebih banyak. Bagaimana akan mencegah jika kita tidak strategis dan cerdas?” serunya. (Astuti)