Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Konsep dan definisi kelompok rentan yang ada di Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 meliputi orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Aturan kelompok rentan juga termaktub dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,Pasal 55 yakni bayi, balita,anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga memua kelompok rentan yakni : Ibu, bayi, Anak Remaja, Lanjut Usia, Penyandang Cacat. Aturan terbaru tentang kelompok rentan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang RAN HAM 2021-2025 yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat adat.

Kategori kelompok rentan dan dampak eksklusi  sosial juga masuk dalam  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Sosial Eksklusi menggambarkan keadaan di mana individu tidak dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan/atau berpartisipasi dalam kehidupan komunitas dapat secara langsung memiskinkan kehidupan seseorang (Sen,2000).

Ada 26 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dan masuk 7 kategori menurut Permensos Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Maasalah Kesejaheraan Sosial (PMKS) yakni : Kesmiskinan, terpencil, keterlantaran, korban bencana, tuna sosial, korban kekerasan, disabilitas.Sedangkan 13 PMKS  dengan 7 kategori yang berhak mendapat Rehabilitasi Sosial  menurut Permensos Nomor 16 Tahun 2019 adalah Anak Terlantar, Tuna Sosial, Korban Tindak Kekerasan, Disabilitas, Korban Perdagangan Orang, Lansia dan Korban NAPZA.

Catatan tentang profil penduduk rentan di Indonesia, yang tidak memiliki jaminan sosial,dari kelompok disabilitas, laki-laki 41,7% dan perempuan 48,4%, anak laki-laki 45% dan anak perempuan 44%, lansia laki-laki 42% dan lansia perempuan 46%. yang tidak memiliki BPJS Kesehatan lansia laki-laki 16,1% lansia perempuan 18%, anak laki-laki 24,1% dan anak perempuan 23,2% serta disabilitas laki-laki 16,1% dan difabel perempuan 19,2%. yang tidak memiliki kartu keluarga sejahtera anak laki-laki 18,9% anak perempuan 18,3%, lansia laki-laki 15,3% dan lansia perempuan 17,3%. Serta difabel laki-laki 17,1% dan difabel perempuan 18,9%.

 Belum lama ini Bappenas melakukan pemanfaatan data Regsosek-Silani untuk difabel sebagai langkah upaya penjangkauan dan sistem rujukan. Registrasi sosial ekonomi dalam reformasi perlindungan sosial adalah  perlindungan sosial yang adaptif yakni integrasi perlinsos penguatan penyaluran, inovasi pendanaan. Reformasi perlindungan sosial dengan integrasi program perlindungan sosial dengan pemberdayaan sosial ekonomi, kolaborasi lintas program, dan kerja sama dengan bukan pemerintah melalui pengembangan registrasi sosial ekonomi.    

 

Urgensi Kebutuhan Difabel Sebagai Kelompok Rentan

Beberapa urgensi kebutuhan kelompok rentan di Indonesia :1. Pendidikan dan kesehatan. Belum semua fasilitas pendidikan aksesibel dan memiliki kurikulum vokasional yang diperlukan termasuk Sumber Daya Manusia (SDM) pengajar masih terbatas. Kebutuhan akan biaya tambahan untuk terapi dan alat bantu termasuk Perawatan Jangka Panjang (PJP), cek kesehatan rutin dan pemberi rawat. 2. Keuangan inklusi,ketenagakerjaan dan pemberdayaan : upah dan jenjang karir yang tidak diatur dengan jelas dan difabel cenderung sebagai pekerja informal, jaminan ketenagakerjaan dan pensiun yang rendah, akses keuangan yang terbatas akibat minim informasi dan infrastruktur yang memadai, jenis dan cakupan program masih rendah.3. Habilitasi dan rehabilitasi. Program habilitasi dan rehabilitasi yang terbatas dan belum terintegrasi, sistem rujukan tidak terpadu sehingga mempersulit akses. 4. Fasilitas publik, seni dan hiburan. Fasilitas publik minim akses bagi kelompok rentan, akses ke tempat rekreasi, wisata, dan hiburan lainnya tidak akses khususnya bagi difabel. Semua itu ada prasyarat yakni dokumen kependudukan (pendataan).

Yanu Endar Prasetyo dari BRIN dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Penabulu di akhir September 2022 memaparkan  riset. Berdasar pada temuan BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021, Catatan Media monitoring pemberitaan terkait bansos dari tahun 2020s.d 2022, Hasil Riset systematic review (32 artikel jurnal dari 150 artikel pertama di Google Advanced Scolars dengan kata kunci “COVID-19”and “Bantuan Sosial”, dan Catatan Webinar Indonesia Timur, Webinar Indonesia Tengah dan Webinar Indonesia Barat. Ada lebih dari 18 bantuan sosial yang tergolong baru, yang diberikan oleh Kementerian selama 2020-2022.

Sedangkan permasalahan klasik bansos adalah tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak tepat sasaran, tidak tepat mutu, dan tidak tepat administrasi. Temuan BPK RI tahun 2021 di Kementerian Sosial adalah penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Bantuan Sosial PKH dan Sembako /Bantuan Sosial Tunai tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 6,93 triliun. Hal ini disebabkan antara lain karena terdapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi dan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan  nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp. 1,11 triliun. (Astuti)

 



Penilaian: 3 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Saat ini masih saja ditemukan media yang melanggar kode etik jurnalistik atau kurang tepat dalam menggunakan kata atau diksi dalam penulisan kasus-kasus kekerasan sesksual pada perempuan dan anak. Beberapa pemberitaan bahkan masih menstigma korban. Penting juga bagi para jurnalis mencantumkan informasi erkait dengan bantuan yang bisa diperoleh oleh perempuan dan anak korban kekerasan.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Sekolah Pemikiran Perempuan seri ketiga sudah berlangsung di 22-24 Juli 2022. Salah satunya serialnya adalah Etalase Pemikiran Perempuan, Panggung Refleksi UU TPKS yang menghadirkan Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, seperti yang termuat dalam Youtube Sekolah Pemikiran Perempuan.

RUU TPKS menempuh perjalanan panjang sejak diusulkan secara formal pada 2012. Para pejuang HAM dan gerakan perempuan telah melakukan beragam cara dalam mengadvokasi pengesahan RUU ini. Salah satunya melalui budaya. Melalui panel etalase pemikiran perempuan, para peserta tidak hanya diajak merayakan pencapaian tetapi juga merefleksikan kerja-kerja yang telah dilakukan, terutama bagaimana merawat semangat, kekuatan, kerja sama, dan tindak lanjut pasca disahkannya UU TPKS pada 13 April 2022 lalu.

Andy menyelesaikan pendidikan di Fisipol UI dan magister program media and communication dari Goldsmiths University or London, Inggris. Salah satu ketertarikannya adalah mendokumentasikan cerita mengenai perempuan Indonesia, permasalahan dan perjuangannya bertahan. Ia juga merupakan salah satu pengelola Sekolah Pemikiran Perempuan sekaligus Etalase Pemikiran Perempuan.

Andy Yentriyani  menyatakan harapan dan memberikan  apresiasi kepada  sahabat peretas yang menjadi mitra penyelenggaraan, juga alumni Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) dan semua pendukung. Menurutnya UU TPKS ini banyak sekali terobosan berarti dalam upaya  memutus kekerasan seksual.  Di dalam undang-undang ini banyak ditemui pengakuan TPKS yang semula tidak dikenali atau diatur secara parsial dalam sistem pidana kita seperti pelecehan seksual, fisik dan non fisik.Pemaksaan sterilisasi, kontrasepsi dan pemaksaan  seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual,kekerasan seksual berbasis elektronik, juga ada terobosan hukum acara pidana yang kerap jadi penghalang untuk akses keadilan bagi korban, serta kewajiban pemenuhan hak korban yang diatur dalam undang-undang  ini.

Sebagai salah satu inisiator UU TPKS, Andy di Komnas Perempuan menyimak bahwa undang-undang ini secara intrinsik  memuat seluruh reformasi dan semangat gerakan perempuan di mana gerakan perempuan setidaknya ada lima penandanya yaitu : Pertama : UU TPKS merespon salah satu rekomendasi utama dan pertama salah satu dari Tragedi Mei 98 yakni untuk merombak hukum pidana tentang kekerasan seksual. Kedua ; Rumusan UU TPKS merujuk pada paradigma pemenuhan  HAM sebagai mandat konstitusi di mana tanggung jawab pemenuhan ada pada negara terutama pemerintah.  Ketiga : rumusan yang berangkat dari pembelajaran pengalaman perempuan korban kekerasan termasuk menerapkan  konsep sistem peradilan terpadu penanganan terhadap perempuan yang terus dikembangkan sejak 1998. Keempat proses  perumusan ini berangkat dari bawah atau bottom-up. (Ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komnas HAM menggelar diseminasi hasil kajian tentang Ratifikasi Konvensi ILO 189 terkait pekerjaan yang layak bagi Pekerja Rumah Tangga, Rabu (21/9). Kajian dilakukan oleh tim Komas HAM dan serikat pengajar HAM sesuai dengan mandat Komnas HAM terkait Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang HAM dalam hal ini kaitannya penting tidaknya ratifikasi Konvensi ILO 189. Menurut Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, menyatakan bahwa ratifikasi ini sebagai rujukan  RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang saat ini ada di Komisi IX DPR RI. Instrumen undang-undang  yang melengkapi karena ada mekanisme internasional. “PRT marjinal sejak puluhan tahun hingga berabad. Banyak hak mereka diabaikan, sehingga ketika ada ratifikasi akan lebih humanis,”ungkap Sandrayati Moniaga.

DR. Joeni  Kurniawan, salah seorang tim peneliti dalam paparan tentang Kajian Ratifikasi ILO 189 “Pekerjaan yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga” menyatakan bahwa penelitian ini lebih dari 40 halaman. Menurutnya, ada poin-poin penting saat ini ada RUU PPRT. Rumusan masalah yang dikaji antara lain problematika yang dihadapi PRT, pengaturan  konvensi ILO 189, pengaturan perlindungan PRT di Indonesia  dan Permenaker 2/2015 serta RUU PPRT.

Apakah Konferensi ILO 189 perlu diratifikasi Indonesia? Pekerja Rumah Tangga adalah pekerja. Sedangkan definisi pekerja : “Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan lainnya “ (vide pasal 1 angka 3 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Adapun relasi/hubungan kerja antara PRT dan Pemberi Kerja: Pemberi Kerja membutuhkan tenaga kerja dan PR, dan PRT membutuhkan upah atas pekerjaannya, sama persis seperti relasi kerja pada umumnya. Sehingga secara normatif, PRT seharusnya termasuk subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan  dan setara status serta hak dan kewajibannya  dengan pekerja pada umumnya.

Problematika yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga : PRT cenderung dianggap sebagai “pekerja rendahan”  oleh karenanya dianggap tidak setara (berada di bawah) dengan pekerja pada umumnya. Beberapa latar belakang yang berpengaruh pada kecenderungan di atas yakni kecenderungan PRT yang berlatar pendidikan  dan keahlian yang rendah , PRT cenderung memiliki bargaining position yang rendah di hadapan Pemberi Kerja, nature pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan domestik -informal dalam lingkungan privat, membuat pekerjaan rumah tangga dan PRT cenderung terisolasi dari pihak luar, pekerjaan rumah tangga cenderung dianggap bukan pekerjaan sesungguhnya,faktor budaya masyarakat Indonesia yang sebagian masih bercorak patriarki dan feodal/hirarkis.

Ada Urgensi Mendesak untuk Ratifikasi Konvensi ILO 189  (KILO 189)

Poin-poin perlindungan PRT yang diatur dalam KILO 189 antara lan : hak-hak dasar PRT, jam kerja dan waktu istirahat, pengupahan, keamanan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, usia minimum, opsi tinggal di rumah Pemberi Kerja, standar mengenai mengenai PRT migran, standar agen swasa penyalur pekerja rumah tangga dan, mekanisme penyelesaian sengketa.

KILO 189 vis a vis Permenaker 2/2015 vis a vis RUU PPRT, beberapa poin penting yang perlu dicatat terkait Pengupahan (1).Pada KILO 189 , pasal 11: Jika di suatu negara terdapat pengaturan tentang upah minimum, maka upah PRT harus sesuai dengan ketentuan upah minimum tersebut. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker  2/2015 oleh RUU PPRT. Hanya diatur bahwa upah  PRT didasarkan pada kesepakatan (vide: Pasal 7 Permenaker 2/2015 dan Pasal 11 RUU PPRT).

Terkait waktu kerja, pada KILO 189, Pasal 10 angka 1 dan 2: PRT memiliki waktu kerja  yang tidak berbeda dengan waktu kerja pekerja pada umumnya, dan harus memiliki hak istirahat minimal 1x24 jam dalam satu minggu.

Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT hanya diatur bahwa PRT berhak atas waktu kerja yang manusiawi dan Pemberi Kerja wajib memberikan waktu istirahat kepada PRT, tanpa informasi yang lebih rinci.

Terkait HAK atas Kebebasan, pada KILO 189, Pasal 9 huruf a dan b: PRT berhak untuk menentukan apakah akan tinggal di rumah si Pemberi Kerja (live-in) atau tidak, dan berhak untuk tidak berada di tempat kerja/rumah si Pemberi Kerja di saat waktu istirahat. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT.

Terkait batasan usia minimum, pada KILO 189, Pasal 4 angka 1: Usia minimum PRT tidak boleh lebih rendah dari usia minimum pekerja pada umumnya yang diatur oleh aturan hukum di negara yang bersangkutan. Pada Permenaker 2/2015, Pasal 4 huruf b: Usia minimum PRT adalah 18 tahun. Tidak ada pengaturan  sebagaimana demikian di RUU PPRT.

Joeni Kurniawan kemudian memberikan kesimpulan pada penelitannya bahwa pengaturan dalam peraturan nasional tentang perlindungan PRT,baik itu Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT, cenderung masih di bawah standar minimal yang ditetapkan dalam KILO 189. Beberapa hak fundamental dari PRT seperti upah minimum dan sistem pengupahan, batasan  waktu kerja, hak atas kebebasan dan batasan minimum bagi PRT justru masih belum diatur  dalam peraturan nasional yang ada (Permenaker dan/atau RUU PPRT).

Ada urgensi yang cukup mendesak untuk meratifikasi KILO 189. Ratifikasi KILO 189 ini tidak untuk menggantikan peraturan nasional yang ada, tetapi untuk melengkapi peraturan -peraturan tersebut. Fungsi KILO 189 adalah sebagai meta norma yang akan menjadi acuan standar minimal bagi pengaturan di tingkat nasional. Sehingga, pengaturan di tingkat nasional melalui peraturan perundang-undangan tersendiri masih diperlukan. Contoh atas praktik ratifikasi KILO 189 dan sekaligus pengaturan dalam perundang-undangan di level nasional telah dilakukan oleh Philipina (melalui Domestic Worker Act/DWA, yang  disahkan Januari 2013 setelah Philipina meratifikasi KILO 189 pada September 2012).

Beberapa rekomendasi digulirkan antara lain :  Meratifikasi KILO 189 yang bertujuan sebagai meta norma kerangka acuan dan standar  minimal terkait hak-hak PRT, mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KILO 189: dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya khususnya kepada PRT serta kelompok advokasi hak-hak PRT dan umumnya kepada masyarakat luas terkait penyusunan kebijakan perlindungan hak-hak PRT.  

Tanggapan dari Kemenlu dan Kemenaker  dan NGO

Syahda Guruh dari Kemenlu menanggapi bahwa instrumen hukum internasional yang akan diraifikasi dalam hal ini  KILO 189 adalah upaya kontributif yang baik dalam menyampaikan rekomendasi untuk memperluas perlindungan pada PRT. Dalam konteks  global upaya SDGs ada pada tema Gold ke8, tema yang sudah diadopsi oleh ratifikasi. Terkait instrumen hukum internasional, pihaknya melihat bahwa konferensi ILO adalah bagian instrumen hukum internasional mendorong penanganan reformasi hukum inernasional. Kalau  dilihat dari konvensi tersebut misal di pasal awal, konvensi ini dilihat lebih bersifat values. Artikel dua konvensi ini memerintahkan negara membuat kategorisasi,  mana kategori yang dieksplor dari konvensi ini. Dalam studi 4 juta PRT, 600 ribu di antaranya yang live-in dan apakah studi ini juga menulis terkait dampak? Mana yang lebih impacfull? Mana yang paling di-addresss? Lalu bagaimana isu peran dari agensi/penyalur?  Yang bekerja di rumah ini ada yang dari agensi atau tidak? Apakah ada eksklusion mana yang dari agensi mana yang tidak. Mana yang lebih impactfull untuk proteksinya.

Syahda Guruh kemudian menyatakan dalam rangka memajukan ini, K/L terkait perlu posisi yang sama untuk pengajuan masuk ke pemerintah. Untuk melengkapi studi ini, juga perlu ke ranah sosiologi dan ekonomi.

Dari Kemenaker memberi tanggapan kurangnya kajian PRT yang direkrut dari agensi terkait Permenaker 2/2015. Pihak Kemenaker melihat dari agensi/lembaganya karena kesulitan jika perlindungan dari mulut ke mulut. Harapannya dengan proteksi kepada agensi,perlindungan kepada pekerja akan mudah jika terjadi kekerasan, feodalisme, dan pekerja di bawah usia.Menurutnya pemerintah sudah konsen dalam pembahasan (tahap awal) RUU PPRT.

Lita Anggraini, dari JALA PR memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa  Konvensi ILO 189 didasarkan empat pilar hak dasar. Menurutnya konvensi ini konvensi yang longgar. Ada 35 negara yang sudah meratifikasi dan di Asia baru satu yakni Philipina. Hal yang memprihatinkan, jumlah PRT Indonesia nomor dua setelah China, nomor tiga adalah India. Konvensi ini harus jadi kerangka acuan untuk undang-undang baik PRT dalam dan luar negeri . Perjanjian MoU RI dengan negara lain harusnya juga mengacu kepada konvensi ILO 189 ini. Waktu kerja adalah 40 jam/seminggu. Di Philipina, ada tunjangan karena diikutkan jamsosek. Libur tidak hanya mingguan tapi tahunan. Akomodasi dipertegas dan K3 harus diatur. Kebebasan juga harus diatur,termasuk kebebasan berserikat, mekanisme sengketa juga harus diatur  dalam Undang-Undang. Soal pengawasan, di Philipina melalui kelurahan soalnya ada pendataan via kelurahan. Kalau di Afrika Selatan mereka datangi rumah-rumah, juga di Amerika latin ada inveksi terkait pajak. Di Philipina budaya politiknya lebih egaliter,mereka pemberi kerja adalah kelas menengah dan menengah atas. Juga di Afrika,mereka sudah punya undang-undang sebelum konvensi. Afrika selatan sudah sejak tahun 1997, juga di Amerika Latin. Ada yang memenuhi konvensi ada, yang 80% dari konvensi. “Di Indonesia semua mempekerjakan PRT. PRT di Indonesia masih berbasis kepemilikan dan bias itu ada di DPR, juga di pemerintah. Itulah inkonsistensi di Indonesia. RUU PPRT baru  membahas PRT dalam negeri. 50% hak-hak PRT sudah dicakup namun yang belum diatur salah satunya  hak berserikat. Yang jadi persoalan,resistensi terhadap masalah ini lebih besar dari konvensinya sendiri.” ungkap Lita Anggraini. (Ast)

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Siaran Pers STH Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat

Pengakuan kapasitas hukum penyandang disabilitas piskososial atau seseorang dengan gangguan jiwa kerap terabaikan. Hal itu menghasilkan stigma negatif sampai tindakan diskriminatif, sebut saja tindakan perundungan, pemasungan, sampai kehilangan harta benda karena proses pengampuan yang mengambil alih pengambilan keputusan atas diri penyandang disabilitas psikososial kepada orang lain tanpa persetujuan. Praktik-praktik itu harus dihilangkan dengan memperkuat jaminan hukum, khususnya dalam pelindungan hak kesamaan di hadapan hukum, serta membangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa memberikan dukungan penuh kepada penyandang disabilitas psikososial untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri atas dirinya sendiri.

Dalam diskusi yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikososial adalah bagian dari warga negara yang memiliki hak yang sama. Dalam hal itu, negara memiliki tugas untuk memastikan pelindungan penghormatan, dan pemenuhannya. Fajri juga menekankan bahwa UUD 1945 sudah menjamin kesamaan kesempatan dan hak di hadapan hukum bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas psikososial, termasuk hak dalam pelindungan harta benda pribadi untuk tidak diambil alih oleh orang lain. Namun begitu, masih ada berbagai peraturan perundang-undangan yang memandang penyandang disabilitas psikososial secara diskriminatif, misalnya ketentuan mengenai syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi calon angota DPD, DPR, dan DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; dan ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memungkinkan pemberi kerja memberhentikan pegawainya dengan alasan disabilitas.

Dalam perspektif hak asasi manusia, Asfinawati menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikosial merupakan subyek hukum, sehingga penyandang disabilitas psikososial tidak boleh didiskriminasi sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi oleh hukum, dan tidak boleh didiskriminasi di depan pengadilan atau badan-badan lain. Hak persamaan di hadapan hukum merupakan sifat dasar, sehingga tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apapun. Asfin menutup dengan memaparkan kewajiban negara dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia, secara prinsip dasar negara tidak boleh melakukan pembedaan apapun berdasarkan alasan apapun, disamping itu negara juga harus menjamin pemenuhan hak dalam sebuah legislasi dan berbagai kebijakan, dan negara harus bisa menjamin pelaksanaan putusan atau keputusan atas pemulihan hak asasi manusia.

Yeni Rosdianti kemudian menegaskan bahwa Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) telah menjamin bahwa negara-negara pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan. secara historis diungkapkan bahwa penyandang disabilitas telah ditolak haknya atas kapasitas hukum di banyak bidang dengan cara yang diskriminatif, termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni menegaskan bahwa praktik-praktik ini harus dihapuskan untuk memastikan bahwa kapasitas hukum harus diberikan kembali kepada penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Yeni menyampaikan bahwa negara harus memberikan akses terhadap dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum penyandang disabilitas psikososial, dukungan tersebut dapat berbentuk formal maupun informal dengan menghargai perbedaan. Dukungan ini juga harus tersedia bagi semua penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni memberikan catatan bahwa dukungan yang akan diberikan tidak dikaitkan dengan penilaian kapasitas mental sebab akan mengakibatkan penyandang disabilitas dinilai tidak memiliki kepasitas hukum.

Dalam diskusi ini Ati Maulin menyatakan bahwa penyadang disabilitas psikososial termasuk ke dalam disabilitas yang tidak kasat mata yang bisa pulih dan tetap memiliki kapasitas berpikir yang baik serta bisa melakukan aktivitas seperti biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ati Maulin mengungkapkan berbagai permasalahan yang masih menimpa kepada penyandang disabilitas psikosial diantaranya stigma terhadap penyadang disabilitas psikososial masih dipukul rata, penyandang disabilitas psikosial dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja, penyandang disabilitas psikososial dianggap tidak mampu mengelola keuangan, dan adanya masalah pemantian berdasarkan keputusan keluarga bukan kondisi orang yang dipantikan.  Ati Maulin menutup paparan dengan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus seharusnya pengambil keputusan harus mendukung dan mengupayakan agar penyandang disabilitas psikososial bisa mengambil keputusannya sendiri.

Dari diskusi itu diharapkan dapat terinformasikan dengan baik bagaimana masyarakat perlu bertindak dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas psikososial. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah juga perlu memastikan apa yang sudah baik sebagai jaminan dalam UUD 1945 dijadikan jiwa dan prinsip dalam menghasilkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, praktik pemasungan, pengurungan di panti, sampai pengambilan alihan harta benda secara sepihak tidak terjadi lagi terhadap para penyandang disabilitas psikososial seperti layaknya warga negara dan manusia lainnya.

 

Narahubung:

- Fajri Nursyamsi (STHI Jentera) 0818100917

- Richard F. Kennedy (PJS) 085790509333